Thursday, May 19, 2016

Karena Kakek Saya Masuk Kristen dan Marahlah Lingkungan Itu




Pengantar
Pendeta I Wayan Sunarya lahir di Blimbingsari tahun 1945. Dia terlahir sebagai orang Kristen, mengikuti agama orangtuanya. Ayahnya berasal dari Desa Sading Badung, bersama dengan kakeknya tergabung kelompok perintis berdirinya Desa Blimbingsari  tahun 1939. Saya datang ke rumah beliau dan menginap selama dua malam, untuk bisa mengamati secara langsung kehidupan komunitas Kristen Protestan di Desa Blimbing Sari, tata cara mereka bersembahyang di gereja. Gereja berada persis di depan rumah Pendeta Sunarya. Berikut ini adalah cerita Pak Pendeta Sunarya. Di sela-sela itu, saya sempat berbincang-bincang dengan Pendeta I Wayan Sunarya sebagai berikut:

Bagaimana asal-usul keluarga Pak Pendeta Sunarya?

Kami adalah mempunyai kakek tiga orang dan yang menerima kekristenan itu hanya tiga orang. Kakek saya sendiri namanya Wayan Rike, satu lagi pekak Sukir atau sering dipanggil pekak Giri. Semua saudara kakek saya ini adalah laki-laki dan hanya tiga orang yang masuk Kristen.
Tentang keluarga saya, sewaktu kakek saya masih kuat, ia agak kurang memperhatikan persawahan, tetapi dia itu memang termasuk kuat didalam mengambil kebiasaan kesenangannya itu, seperti menyabung ayam, mekelesan (judi yang menggunakan uang kepeng sebagai media), dan ini bukan saja di Denpasar saja, tetapi juga di Soka juga dan malahan orang disana itu meminta kakek saya itu menjadi anak angkatnya, karena begitu pintarnya dia di dalam mengkoordinasi orang main (makelesan). 

Dimana kakek saya ini sering meninggalkan keluarga, dan kakek saya ini mempunyai tiga orang anak, seorang itu laki yaitu ayah saya sendiri, yang namanya Wayan Gendri, dan adiknya paling kecil adalah Nyoman Candra, dan satu lagi saya lupa. Yang kecil-kecil itu diajak kakek itu bepergian, sebab selain kakek saya sebagai penjudi yang dikenal orang, nenek saya itu menjual uang (pedagang pis [uang] di dalam judi) kalau orang menukar uang dan kekurangan uang itu dari nenek saya,  sehingga ayah saya yang sudah menginjak remaja yang mau naik SMP tidak mau disekolahkan.
Lalu ayah saya itu seperti orang bilang ngulang lampah (pengelana) pergi ketempat lain dari sading pergi ke Abianbase, lalu di Abianbase itu dia mencari pekerjaan dan diterimalah dia ditengah seorang keluarga, dan disuruh bekerja menjadi pengangon kebo (penggembala kerbau). Karena jarak antara Sading dan Abianbase itu dulu jauh dan sekarang dekat sehingga dulu dia jarang pulang, kalau dia won, capek tinggal dia di Abianbase. Tinggal menginap di rumah orang yang memberikan pekerjaan itu. Lalu latar belakang ayah saya yang ingin sekolah, di tengah keluarga yang dia tinggal itu sebelum mereka tidur, dia melihat dan mendengar orang tua yang tinggal di sana itu, membacakan buku pada anak-anaknya dan lalu menyanyi dan setelah itu berdoa.
Nah dari situlah ingin mencari tahu, kok ada keluarga begini dan saya kok ditinggal keluarga, begitu dia membandingkan. Jadi berdasarkan pengalaman itu akhirnya ayah saya itu menerima kekristenan sehingga ayah itu sebenarnya lebih dulu dibaptis menjalani Kristen dari kakek saya. Kakek saya wayan Rike belum Kristen waktu itu hanya anaknya Wayan Gendri yang Kristen. Dan dia menemukan Kristen itu di Abianbase. Waktu tinggal dia Abianbase di rumah Gurun Luh Purna (nama aslinya Wayan Sela) jadi orang tua ibu saya, yaitu nenek dari ibu saya.
Jadi sewaktu kakek saya sekali pulang ketemu ayah saya, dan ayah sayalah yang cerita kepada kakek dan nenek saya, menceritakan bahwa ada keluarga begini-begini. Itu menceritakan  orang tua itu baik,  nuturin (menasehati) anaknya membaca kitab, dia kan tidak tahu kitab suci, diajak megending (bernyanyi), ngidem (memeramkan mata) seperti ngestawa (berdoa). Jadi, artinya semacam arti lain dari keluarga itu, sehingga ayah saya itu ikut mendalami, dan dia menerima kekristenan disitu.
Lalu dikasi tahu kakek saya diajak berkenalan, karena saya kakek yang satu ini dari ibu ini memang dalang, bekas dalang. Yang namanya aslinya Wayan Sela. Di situ yakinnya mereka berkenalan dan kemudian keluarga dari wayan Sela ini, juga ada yang menjual atau ngeleder babi istilahnya, pedagang uang sehingga cocok dengan nenek juga. Sehingga ada hubungan baik hingga akhirnya dia mau datang ketemu kesitu. Hingga akhirnya Wayan Sela dengan Wayan Rike bertemu, yang diketemukan oleh ayah saya.
Akhirnya dari perkenalan itu, kekristenan itu dikenalkan ke Sading. Ayah saya pertama kali waktu remaja dibaptis tahun 1935 dan kakek saya dibaptis tahun 1937, ini ayah saya yang cerita selang waktunya dua tahun. Lalu barulah mereka dikoordinasikan karena ramai karena kakek saya masuk Kristen dan marahlah lingkungan itu karena kehidupan sosialnya diganggu dan saudara-saudara dekatnya marah sekali. Pengkristenan yang terjadi di Sading adalah di Karang Suwung. Kemudian perkembangan yang berikutnya ke Blimbing Sari , dan di Sading juga ada tokoh yang lain yaitu Bapak Gede Sadra yang sudah almarhum yang lebih muda dari kakek saya dan dia jadi pendeta. Kalau keluarganya namanya I Gede Rai Gangga.
Ayah saya Wayan Gendri dibaptis sebelum menikah semasih remaja. Ini cerita lain dari ayah saya, karena begitu keras ayah ditinggal sama kakek dan nenek dia cari makan sendiri dengan menjual gedebong (batang pohon pisang) yang harganya mahal dan dia jual ke Sempidi, dia ngurus makan sendiri. Saya, pada tahu 1952 diajak nyebrang dari Abianbase ke Sading jauh sekali dan saya dipikul oleh ayah saya. Dulu katanya kakek dan nenek saya senang nyari “luh-luh atau muani-muani” (WIL dan PIL) mereka dua-duanya sama, ini kan biasa pada jaman dahulu.
            Kita bercerita tentang Abianbase, ayahnya bapak saya, menginap di Abianbase di rumah Wayan Sela, dan beliau menjadi mertuanya jadinya dan menikahnya di Blimbing Sari. Yang saya ketahui tentang ayah saya di Blimbing sari, bahwa mereka kedua-duanya ini kakek kakek ini, sebelum ayah saya menikah, mereka menjadi orang pertama yang masuk ke Blimbing Sari. Kakek saya ini masuk Kristen tahun 1937 dan di Blimbing Sari tahun 1939. Ketika di Abian base tahun 1931 dan mereka tramsmigrasi ke Blimbing Sari atas koordinasi perintah Kolonial Belanda.
Mereka ini semacam dicarikan tempat, dari pada mereka mengacau di kampung masing-masing mengganggu situasi sosial budaya dia dipindahkan ke Blimbing Sari dan buka hutan disana. Dan cerita dari ibu saya, waktu kepergian mereka itu ditangisi seperti orang mati, karena dianggap tidak akan kembali lagi. Karena di sana itu harus merambah hutan itu yang istilahnya Jimbar Wana (hutan belantara), hutan yang dikatakan tenget (angker)  yang ada kaitannya dengan Pulaki. Sampai akhir-akhir ini orang yang meboros (berburu), temen-temen saya dulu kalau sudah lewat Gunung Klatakan itu, pasti mereka mendengar bunyi harimau, dan mereka pulang dan tidak berani lagi meneruskan berburu.
Lalu ayah saya cerita bagaimana dia merambas hutan, ada cerita-cerita menarik dia ceritakan, bagaimana mereka menangkap kera, dengan merambas hutan itu mereka bisa menangkap kera atau pun kidang. Dulu pertama kali dia datang ke Blimbing Sari itu, mereka dibuatkan bangsal yang panjang yang tempat orang menginap itu. Konsep latar belakang pembentukan desa itu adalah masih sebenarnya dilatar belakangi dari apa yang mereka bawa dari kampung. Dulu sebenarnya sekolah itu adalah tempat gedung gereja, sekolah yang sekarang.
Di sini (Blimbing Sari) sebelum datang seorang guru pada tahun 1947atau 1948, guru-guru pendeta Pak Sueca dengan Pak Made Sungkung semua sekolah itu disitu dan gerja disitu yaitu konsep kaja kangin itu. Lalu setelah datang pendidik guru-guru sekolah itu berobah, disitu dibuatkan sekolah dan  gedung gerejanya ditaruh di bukit. Di sini saya kira ada konsep latar belakang konsep Bali juga, tetapi disisi lain seoerti yang dikatakan bahwa Yerusalem itu di bukit Sion, Maitnala itu dibukit Sion dan sampai sekarang menjadi persoalan.
Dulu di sini gereja di sini bale desa tempat pemerintahan. Sebelumnya ayah saya sudah akrab dengan orang-orang yang tinggal di sini sehingga ketika sudah bersama-sama disini sudah menjadi lebih akrab. Katanya dulu, ayah saya bilang, mertua dari ayah saya itu rasanya sudah terpikat dengan ayah saya. Sebab ceritanya sampai merabas hutan pun ikut mengambil bagian mermbas hutan di tempat mertuanya sampai sejauh itu.
Setelah dia di rumah, dia pun akhirnya mengambil bagian ditempat mertuanya. Ayah saya meninggal lima tahun yang lalu yaitu tahun 1996. Ayah saya memang menjadi juru tulis dari kakek saya karena kakek menjadi kelian (kepala) gereja tetapi dia tidak tahu huruf, tulis menulus dia tidak tahu. Dulu sebenarnya beliau sekolah di Sading sampai kelas 3 SD. Tetapi dia tidak mau disekolahkan padahal kalau dia mau sekolah kakek itu tidak kena biaya apa-apa.
Masalah denah dilanjutkan lagi, prebekel (kepala desa)-nya namanya Pan Sapreg Almarhum yaitu prebekel pertama di Blimbing Sari. Cerita kesukaan mereka disana banyak yaitu karena mereka mencari tanah ke sana dan setelah setahun hasilnya sudah kelihatan tanam pisang jadi. Sampai dia berhasi disana dia sampai membawa hasil itu ke Sading, Abianbase. Dia ini jalan menuju Abianbase dan dia mencari bulan purnama atau bulan gede jika pulang, dia jalan siang malam dan kalau cape baru dia berhenti tidur kalau tidak dia terus menelusuri pantai. Kesulitanya pada waktu jaman Jepang, hasil-hasil itu tidak boleh di makan, dikumpulkan di alun-alun yang ada disebelah rumah saya.
Di alun-alun ini (menunjuk pada lapangan di Blimbing Sari) ditimbun makanan ada beras, jagung tak bisa dimakan. Ayah saya cerita bahwa dulu orang-orang di Blimbing Sari menggantung berasnya di pohon nangka pada masa Jepang, sehingga Jepang itu mengira itu buah nangka. Sampai-sampai beras itu rusak dimakan tetani (rayap) sampai dia tidak makan begitu katanya sengsaranya bapak. Pada jaman Jepang sengsaranya ayah, dia kerja rodi ke Gilimanuk, semua orang-orang muda yang belum nikah itu dikirim ke sana.
Setelah kakek itu menerima Kristen. kakek tidak pernah saya diceritakan. Kakek meninggal tahun 1964. Saya adalah cucu yang paling disayangi yang paling besar. Nenek meninggal dalam umur 86 tahun. Yang saya tahu ketika saya kelas 5 dan kelas 6, kakek saya bisa baca dalam bahasa Bali, itu kumpulan tua-tua yang ada di Blimbing sari yang sama-sama kesana itu adalah kelompok PI (Pemberitaan Injil). Setiap minggu mereka bertemu setelah kebaktian, dan biasanya membicarakan hal kitab, membicarakan bagaimana kita menyampaikan injil itu kepada orang lain. Disanalah kakek saya itu belajar sehingga akhirnya dia itu bisa membaca.
 Ada yang menjadi bekas pemangku (pelaksana upacara di sebuah pura)  jadi orang Kristen itu dia mekekawin (menyanyikan puisi dalam bahasa Kawi dengan bentuk jumlah kata-kata dalam setiap baris serta guru lagu yang tertentu) yaitu mekekawin tentang kejadian langit dan bumi. Kekawain itu dikarang oleh Pak Pendeta Ayub. Dari pertemuan-pertemuan itu mereka membicarakan injil. PI itu masih hidup sampai tahun 70-an dan sekarang sudah tidak ada lagi. Hari sabtu mereka bertemu, hari minggu mereka berjalan memberitakan injil sampai ke Adnyasari sebelah timur Blimbing Sari, ke Melayang dan bapak saya ikut.
Setelah ada orang-orang yang percaya (beralih ke agama Kristen) itu ayah saya menjadi majelis, sehingga dengan teman-teman majelis lain berkotbah memberitakan injil ke Melaya dan saya dibonceng dengan sepeda. Kalau tidak bisa turun di sana kan memang jalannya jelek. Begitulah aktivitas kakek saya selain jadi kelian gereja dan juga kakek saya bersama teman-temannya yang lain dengan namanya Pan Data, mencari  kelapa ke Tukad (sungai) Aya yaitu bibit nyuh di tanah bukti gereja.
Yang kedua kakek juga mencari bibit bambu yang ditanam di pinggir kali di Blimbing Sari ini dan sekarang saya lihat ditanam dengan kayu-kayu lain dan terkhir ketika saya pulang itu ditanam tanaman Manggis di pinggir kali. Begitulah aktivitas kakek yang saya dengar menjadi kelian gereja dalam proses membangun Blimbing Sari itu menjadi sebuah desa. PI ini semacam study club yang kemudian ada prakteknya, biasanya hari sabtu dia belajar dan besoknya mereka memberitakan tentang injil.
Pada waktu Blimbing Sari itu dibuka, penginjil-penginjil tamatan Ujung Panjang yang nama sekolahnya adalah Kemah Injil. Pada waktu itu belum ada pendeta hanya penginjil. Penginjil yang pertama itu bernama Gurun Luh Sudardi, dia adalah orang Abianbase. Yang satu lagi Pan Luh Kasna yang dari Ujung Pandang lalu kemudian Pan Namrig. Hanya Gurun Luh Sudardi yang mau melayani, maksudnya dia diberikan tanggung jawab untuk memberikan kerohanian pada umat, untuk membimbing mereka untuk kbaktian, mengajar alkitab, ibadah-ibadah agama, karena tidak ada pendeta waktu itu supaya tidak terputus pembinaan waktu itu.
Pembina umatlah yang dimaksud sekarang. Kalau PI khusus kelompok saja, tetapi kalau ini umum untuk semua orang, semua umat baik remaja, kaum ibu dan lainnya keluarga-keluarga Jema’at. Sebenarnya pelayanannya seperti pendeta tetapi dia belum dianggap pendeta. Cerita kakek setelah jadi orang kristen saya kurang tahu tetapi saya tahu dari bapak saya. Begini cerita bapak saya dulu “beh aget kakek jadi orang Kristen yen sing keto meh be pelung tulange di jumah di Sading” (syukur kakek menjadi orang Kristen kalau masih tinggal di Sading, pasti akan sakit keras) Itu saya kurang tahu bahasa apa, mungkin bahasa black magic seperti basang pelung (secara harfiah berarti perut berubah warna menjadi biru, dipakai untuk menyebut orang uang mati secara tidak wajar) atau yang lainya. Kok begitu, ya kakek menyame ajak lelima (bersaudara lima orang) dengan tanah warisan 48 are, ajak onyangan sing pegelindeng jeleme (semua orang akan hilir mudik jadinya) gitu dia bilang, engkenen raga sing iri hati (bagaimana kita tidak merasa iri hati jadinya) antara satu dengan yang lain. Itu ayah saya yang cerita seperti itu, saya tidak tahu, mungkin apa penghayatan yang dalam dari ayah saya. Yang sering saya ingat adalah motivasi dari bapak adalah gayanya itu selalu dia tiru dari mertuanya.
Kalau malam itu kami mesti dikumpulkan dan ada bunyi tawa-tawa (gog kecil), tutup hari jam tujuh kemudian bunyilah tawa-tawa-nya,dan itu berarti orang kristen di Blimbing Sari itu berhenti bekerja dan menutup hari dengan alkitab, menyanyi dan berdoa. Itu terjadi jam enam sore dan kemudian pertama kali kita dikumpulkan, bagaimana kita harus hidup, dalam arti sebagai petanilah, kemudian setelah agak malam, kita yang besar-besar diajak bercerita. Motivasi ayah saya itu adalah dia tidak ingin anak-anaknya sebagai petani.Sehingga bapak bilang “sesidan-sidan bapak nyekolahang pang sing bin pidan dadi petani susah hidupe cara bapak.” (ayah akan berusaha berusaha keras menyekolahkan kalian supaya nantinya tidak menajdi petani, yang hidupnya susah seperti ayah).
Dan kemudian dari situlah kita mendapatkan motivasi, sehingga bapak katakan seperti ini “ kalau kamu sudah besar-besar sekarang siapa yang mau nikah sekarang silahkan nikah sekarang tidak sekolah tetapi kalau mau sabar ya sekolah, tak usah nikah, makalukan (kacau) nanti, silahkan konsentrasi dulu” begitulah cerita yang saya dapat dari ayah saya. Memang kalau jadi petani itu susah, karena kita menikmati hasil jadi petani itu setelah tiga bulan. Selama tiga bulan itu kita bekerja keras, kita minjem uang untuk makan. Setelah tiga bulan kita cabut (panen) apakah itu kacang, jagung, sela, semuanya sudah habis tidak bisa beli pakaian kita bayar utang. Bapak saya tidak suka melihat saya bermain judi, dulu kalau bapak melihat saya menonton balih-balihan begitu, bapak sudah marah saya dipentil, dari situ bapak mengingatkan jangan sampai begitu lagi.
Bapak itu kan sudah mengalami yang begitu amat sulit sehingga dalam agama kristen dalam alkitab memang tidak ada larangan untuk main judi, menggunakan segala sesuatu tidak benar itu bapak tidak setuju. Dia yang mengajarkan bagaimana kita jadi orang Kristen, menasehati kita selaku anak-anak beliau. Memang di Blimbing Sari itu ada aturan kesepakatan yang berdasarkan keyakinan yaitu pagi buka hari berdoa untuk bekerja, malam kita tutup untuk berterima kasih kehadapan Tuhan. Disini tidak ada aturan harus mandi dulu sebelum sembahyang tetapi setelah bangun tidur kita kan biasa berdoa sebelum keluar kamar dan itupun masih berlaku pada orang kristen sampai sekarang. Kalau di Blimbing Sari itu malam lagi dilaksanakan secara bersama-sama dengan di bunyikan kentongan malam-malam jam enam.
            Setelah bunyi kentongan jam enam itu kita itu bernyanyi dan berdoa di kebun karena kita masih bekerja di kebun. Setelah itu baru kita ulang lagi bekerja. Ada biasanya nyanyian dalan bahasa Bali yang namanya kidung penguji. Nyanyiannya seperti ini : Suryane sampun surup dinane mangkin puput rare rawuh peteng anake sinamian puputan pekarian saha liang suhu seneng (matahari sudah hampir tenggelam, hari ini akan segera berlalu, sebentar lagi akan gelap, semua orang mengakhiri pekerjaannya), dan seterusnya dan ini sampai ada ayat 3. Dan ada juga yang seperti ini : “mangda di kala buta katundung antuk ide saking upah titiang mangda tan wenten baya rikala titiang pules kasayubin antuk ide.”(semoga semua makhluk jahat terusir oleh Tuhan sebagai anugrah saya, semoga tidak ada aral melintang di saat saya tidur, dilindungi oleh Tuhan) Begitulah baitnya, lengkaplah dengan bakti syukur dan juga mohon  pertolongannya seperti lagu tadi. Untuk berdoa, untuk pagi tidak ada nyanyian, dan masing-masing berdoa bila memulai aktivitas baik itu membaca alkitab ataupun menyanyi.
Dulu sebelum saya sekolah, saya sempat dibesarkan oleh kakek di Sading, oleh kakek yang Hindu, saya berumur sampai disekolahkan, kira-kira tahun 1948 atau tahun 1950 sebelumnya memang di rumah sekolah Minggu dengan teman-teman lain waktu kecil-kecil lalu kemudian kembali ke Sading, dibawa sama kakek untuk tinggal di Sading, mau dipakai orang nerusin Dan bapak menyuruh saya ke Blimbing Sari karena waktu saya sekolah, di sana sudah ada SD yang dekat rumah saya. Lalu kemudian di sekolah SD saya juga mengikuti sekolah minggu.
Saya diingatkan waktu SMP tentang kekristenan. Saya SMP di SMP negeri Negara, dan disekolah itu hanya ada tiga orang kristen. Waktu itu saya indekost di negara karena bapak saya pedagang nyuh atau kopra jadi bapak saya pulang pergi sehingga dia bisa membantu saya untuk sekolah. Waktu saya SD yang sekolah ke Negara (ibu Kota Jembrana) hanya dua orang, dan yang lain ada ke Untal-untal, ke-Abianbase karena di Untal-untal ada sekolah SMP. Ada Pak Drs. Ketut Percaya yang sudah meninggal, yang bapaknya pemangku dari Sading, dia juga lahir di Sading dan menjadi orang Kristen di Sading yang sebagai pemangku Hindu dan baru bersama-sama ke Blimbing Sari. Ada lagi Ketut Sudira yang seumur dengan Ketut Percaya, kira-kira umur 39 tahun, tetapi dia jatuh kecelakaan dan ingatannya tidak bagus. Yang satu lagi Pak Wayan Sudibya yang pensiunan koperasi di Denpasar dia berasal dari Untal-untal. Ada yang dari Abianbase yang sudah senior, yaitu Marcus. Yang lahir di Blimbing Sari bersama-sama saya adalah pendeta Made Nambrud, Ketut Suwirya yaitu sarjana muda ekonomi yaitu BA adik iparnya Pak Mastra, Pak Made Sukabagia yaitu sarjana muda BA, dia sebagai kepala sekolah, ada satu lagi Made Yonata, kapten kepolisian. Dan adik saya sendiri adalah Master, dan kelihtanya bertambah maju waktu itu.

Kembali ke masa kecil bapak?
 Beberapa lehting (angkatan) kami setelah kami tinggal di Blimbing Sari, akhirnya orang-orang yang dari cucu dimana saya ada saya lihat ada perubahan dalam arti aktivitas untuk mencapai cita-cita kok agak lemah, contohnya seperti anak-anak yang sudah bekerja di mana gitu, kok baru menyesal. Dalam lehting saya yang saya lihat masih banyak yang masih tekun dalam arti keimanan dan kemudian dari arti apa itu kerja, dan apa itu cita-cita yang ingin dicapai. Jadi etos kerja protestan sudah melemah. Dan saya lihat anak atau cucu saya itu, agak susah dalam study atau pun dalam keberhasilannya. Saya lihat dari generasi yang kedua rasanya sudah merosot tidak ada kemajuan seperti saya dulu waktu di Blimbing Sari.
Sekarang kita berbicara tentang letak geografis dan geologisnya, Pada waktu saya di Blimbing Sari kita disana pakai lampu sentir, kalau pakai krongking (lampu petromak)  itu sudah mewah namanya, di gereja pakai krongkring dan memang sudah disiapkan, kalau ada upacara bisa dipinjam, Dulu pernah ada gereja yang megah dan bagus yang ada menaranya tiga, yang Eropa style, dan karena gempa di Seririt itu, semuanya habis. Sekarang bangunan ini kan baru.
Penduduknya dulu memang seperti sekarang ini, kalu ada yang mempunyai anak lebih dari satu itu harus dipindahkan dan diberikan tempat yang lain. Jalannya memang seperti ini dulu, pembagiannya sudah diatur sedemikian rupa. Kemajuannya tidak seperti sekarang ini rumah sudah bagus-bagus. Waktu saya sekolah SD muridnya kir-kira sampai 30 orang, ini ada yang saudara-saudara saya yang dari Nusa Sari. Dia tinggal dikampung Melaya. Tante saya juga sekolah di Malaya adik bapak saya yang paling kecil. Waktu saya sekolah sudah ada kelas enam dan nama SD-nya adalah SD Maranata. Teman saya ada yang hindu ada yang muslim tidak ada yang dijadikan Kristen yang kristen tetap kristen.
Waktu saya sekolah tidak ada pelajaran agama yang khusus, kita hanya diajarkan sebelum belajar kita sembahyang dan selesai belajar kita juga sembahyang. Pakaian masih bebas, pada waktu itu tidak ada pakaian, saya punya pakaian hanya satu. Penginjil pada waktu itu tidak sekolah. Dulu saya tinggal bersama kakek di  Abian Sari, dan saya biasa ke Blimbing Sari dan masalah ke Melaya dan malahan sampai ke Negara karena bapak saya pedagang, kalau bapak ke Negara pasti saya yang diajak . Waktu ke Melaya naik cikar (gerobak) dan sampai di Melaya baru naik motor, semuanya dinaikkan kekendaraan, waktu itu naik motor bahagia, Sadi.
Kadang-kadang ayah saya nginap di Negara dan saya nginap dirumah teman bapak yang tukang photo dan tukang sepatu dan saya diajak kesitu. Bapak saya punya kebo (kerbau) selain untuk metekap (membajak) tetap juga dipakai ngangkut kelapa. Pulang dari sekolah saya makan dulu, terus ditunjuklah sama ibu di mana ayah saya memetik kelapa atau di rumah siapa. Sampai di sana kita pukul kelapa atau mengangkut kelapa dengan cikar, kalau ada jalannya kita langsung bawa cikar kalau tidak kita pikul dulu. Sampai dirumah bapak pecah-pecah kelapa itu. Paginya dijemur dan sorenya atau malam diseluh. Misalnya kalau banyak kelapanya, bapak mencari anak-anak lain.
Pada waktu itu kami juga sangat gembira, Sinode ngasi radio Philips pada jema’at yang dipegang oleh Pak Pendeta Made Rungu, dan yang kedua bapak saya mempunyai radio Philips dan yang lainnya belum punya. Sehingga nenek yang rumahnya di timur itu bilang : “Mai aba radioe yan apang taen tiang ningeh orte” (Bawa ke sini radionya, supaya pernah saya mendengarkan berita) dibawalah malamnya ke timur dan kemudian banyaklah orang datang kesana. Sebenarnya ada yang lebih kaya dari bapak saya, yang banyak punya uang, sehingga dia sampai bertanya pada ibu saya “kenken carane nak medagang mbok.” (bagaimana caranya berdagang ya Kak?)
 Dia punya kopi, coklat, kelapa tetapi berdagang dia tidak bisa sehingga uangnya diam. Pan Wareg namanya orang kaya, pertama kali masuk ke Blimbing Sari dan merambas hutan dan nanam kopi 2 hektar sama kelapa. Dia pertama kali nanam kopi sehingga kita bengong melihatnya dia bawa kopi sampai karung-karungan (berkarung-karung_. Saya baru nanam kopi tahun 1975 di tegal. Pan Wareg tahun 1945 sudah mulai nanam kopi jauh beda dengan kita. Pan Wareg ini adalah petani maju yang berasal dari Abianbase. Keturunannya bagus punya anak tiga dan meneruskan kekayaan orang tua. Yang satu jadi guru , satu lagi jadi sarjana. Di sana tidak ada lingkungan judi juga. Kebun saya agak terbengkalai karena bapak saya condong dengan bisnis kelapa dengan temanya, sehingga pada tahun 1967 saya dari Ujung Pandang  dan bekerja di Kerobokan dan pindah Kepenataran disan saya menemuai pohon apa yang bisa mematikan alang-alang yaitu lentoro, sehingga saya tanam lentoro mati-matian dan dua tahun kemudian lentoro itu tumbuh dan jadi ditutuplah alang-alang lalu kita tanamkan kopi dan saya punya kopi tahun 70-an[]

Nama Informan: Pendeta I Wayan Sunarya
Tempat wawancara: Desa Bimbing Sari, Melaya, Jembrana 3 Mei 2001
Pewawancara : nyoman Wijaya, Ketua TSP
Transkriptor : Putu Yuliani, staf Admin TSP
Korektor : Nyoman Wijaya

No comments:

Post a Comment