Tempat wawancara : Desa
Gitgit, Dusun Sukasada, Buleleng
Tanggal : 18 Maret
2002
Pewawancara :
Arya Suharja, tim peneliti TSP Transkriptor : Dewa Ayu Raka Satriawati, tim admin TSP
Korektor : Nyoman
Wijaya, Ketua TSP
Hari ini
tanggal 18 Maret 2002, saya Arya Suharja dari TSP sedang berada di Gitgit, Desa
Gitgit, Dusun Sukasada, sedang behadapan dengan Bapak I Gusti Bagus Budiantara,
beliau ini lahir tanggal 24 Mei 1947.
Pak Gusti bisa ceritakan sedikit
tentang latar belakang keluarganya Pak Gusti?
Terima kasih
atas kesempatan yang sangat bagus ini, nah sesuai apa yang pak minta saya akan
terangkan sedikit mengenai latar belakang atau keadaan keluarga saya. Saya
adalah putra dari Gusti Bagus Diksa namanya, yang dulu juga pendeta di Gereja
Bali jamannya Pak Ketut Suweca itu. nah kalau sekarang beliau itu sudah
almarhum. Beliau itu meninggal dua tahun yang lalu. Beliau kan sempat pulang
dan dua bulan di sini dan kemudian dia itu meninggal di Sulawesi.
Nah
selanjutnya saya itu kan lahir di sini, nah kebetulan saat itu orangtua saya
itu kan bertugas di sini, nah selanjutnya orangtua saya itu dapat ke Sririt,
Banyuh Poh, dan saya itu kan ikut orangtua. Saya itu kan sekolah dari SD
pindah-pindah, SMPnya itu di Sririt, sesudah itu melanjutkan SPG di Singaraja,
begitu tamat tahun 1968, kan dilihat tanda lahir saya, tanda lahir saya itu
tercantum di sana di Desa Gitgit, sehingga saya itu dikirim oleh pemerintah
daerah waktu itu, untuk bertugas kembali di Gitgit ya meskipun saya sudah tidak
tinggal lagi di Gitgit.
Namun
sebelum saya dapat bertugas di sini, sebelumnya saya juga dapat bertugas di
yayasan gereja Bali, yaitu di SD Kristen Blimbingsari, namun karena sudah lama
karena tetap tidak ada panggilan, kan saya tinggalkan itu dengan mohon ijin dan
akhirnya saya itu melanjutkan tugas di sini, dan saya itu kan jadi PNS, waktu
itu kan belum PNS tapi kan pegawai daerah istilahnya, jadi saya itu masih
honorer dan kemudian saya itu baru diangkat sebagai pegawai negeri, karena
istri saya juga seorang guru yang sama-sama bertugas di sini dan yang diangkat
juga bersamaan. Nah ibu saya dari Jawa dan Bapaknya adalah seorang tentara yang
bertugas di Singaraja dan mungkin juga karena kuasa Tuhan saya itu bisa bertemu
dan membentuk suatu keluarga yang baru.
Kalau Ibu juga dari keluarga Kristen ya?
Ibu dari
keluarga Islam dan orangtuanya itu memang Islam. Ibunya Islam, begitu juga
dengan Bapak serta adik-adiknya, dan dia itu asalnya dari Madiun.
Kembali dulu ke masa kanak-kanak,
kalau masa kanak-kanak itu Bapak kan selalu ikut orangtua karena masih masa
penugasan. Bisa diceritakan sedikit pengalaman-pengalaman selama menyertai Aji
sebabagai pendeta melayani umat?
Kalau itu
begini Pak, saya itu kan banyak sekali diajak oleh orangtua pada saat saya itu
mengadakan kunjungan-kunjungan, mungkin dalam hal pekabaran Injil, mungkin
waktu itu saya sekitar kelas lima SD saya itu sudah diajak. Waktu itu kita kan
belum punya sepeda motor dan kita itu masih menggunakan sepeda gayung. Nah saya
tahunya setelah dipindah dari sini, di Sririt itu kan disewakan perumahan oleh
Sinode, kami tinggal di sana, nah kemudian dari sana ayah saya itu melayani. Ke
Penataran dan juga ke Blatungan dan ada juga saudara yang ada di Celukan Bawang
dan saya juga datang ke sana gitu.
Nah
setelah selesai masa tugas orang tua saya
di Sririt kemudian kan dipindahkan ke
Celukan Bawang itu adalah satu desa tempat kakek saya di sana, di sana
juga ada paman saya satu yang Kristen, itu adik Bapak saya yang paling kecil,
sedangkan adiknya yang nomor tiga waktu itu masih Hindu. Nah saya itu kan
tinggal di salah satu gubuk yang sangat sederhana, dindingnya itu dari pohon
kelapa dan memang tanah itu warisan dari kakek saya. Nah darisanalah pekabaran
Injil dilangsungkan ke arah utara dan barat. Saya itu masih ingat dengan Bapak, saya itu
dibonceng oleh Bapak dan saya bertemu di sana dengan salah seorang yang sudah
sangat tua sekali dan hanya dia saja seorang Kristen di sana namanya Bapa
Nengah Geloh. Dia itu kan menikah dengan seorang wanita Jawa yang bernama Sumi
dan mempunyai anak satu yang bernama Latenail atau Yokanan, jadi kan
hanya punya putra satu jadinya.
Nah pada saat
perkunjungan ke sana, itu hanya satu orang saja yang Kristen di sana dan
kemudian saya itu diajak di tempat-tempat yang lain dari orang ini yang belum
Kristen, diantaranya Made Karta, Ketut Riju, Made Candri dan banyak juga yang
lainnya yang belum Kristen. saya itu kan diajak oleh orangtua itu mengunjungi
rumah yang satu ke rumah yang lain dan keadaan perekonomiannya juga waktu itu
bisa dibilang masih sangat sederhana sekali. Rumah-rumah orang itu bukan
seperti sekarang, kalau tahunnya itu saya memang sudah agak-agak lupa, kalau
tidak salah sekitar 1959 sampai 1960 itu. nah lama hal ini secara kontinue
dilaksanakan oleh orangtua saya, dengan tokoh yang pertama ini, kadang-kadang
orang-orang itu dipanggil pak, di rumahnya bapa Nengah Geloh ini, dan di sana
itu ngomong-ngomong tentang firman Tuhan. Akhirnya memang karena panggilan
Tuhan ada banyak orang yang menyatakan diri siap menjadi Kristen dan pada satu
saat dia menyatakan diri untuk siap dibaptis gitu dan memang dia itu bersedia
untuk dibaptis. Pembaptisannya itu di gereja yang dibuat oleh kelompok,
kelompok kecil di Banyuh Poh itu.
Kalau pemandiannya?
Ya kan di sana
juga, saat itu kan hanya percikan saja. Nah pada saat awal di sana itu
mengadakan kebaktian, memang ada seperti lingkungannya itu kan kurang menerima
orang Kristen, dan ada gejolak-gejolak yang sifatnya tidak terlalu ekstrim.
Tempat ibadah kita itu digoyang, sebab kan tempat ibadahnya itu kan hanya pakai
tiang saja, tapi itu memang tidak dipermasalahkan dan kebaktian itu kan tetap
juga jalan.
Yang paling ekstrim itu apa?
Ya kan hanya
diganggu seperti itu saja, selain itu juga mungkin selentingan kata-kata yang
cukup menusuk telinga, kadang-kadang kalau kita lewat itu mereka bilang
“Haleluya,” dan itu kan menurut saya itu memang perlu disyukuri. Kalau tidak
salah yang dibaptis di sana itu sekitar 31 KK, itu yang pertama. Nah dengan perkembangan
ekonomi kemudian Pak, akhirnya jemaat yang di ........., sebagian besar mereka
itu trasmigrasi.
Di daerah mana?
Di Sulawesi
Tengah, di daerah Parigi. Itu tujuan yang utama dan sesudah itu yang pertama
sekali di Desa Tolae. Sesudah itu kan berkembang ke tempat-tempat yang lain.
seperti waktu ini saya ke Sulawesi ketemu di Masari, teman saya yang dari
Banyuh Poh itu, ada di Sienjo.
Kalau Bapak punya keluarga di sana?
Ya memang sudah
sebagian besar. Keluarga saya itu memang di Sulawesi.
Ayah juga meninggal di sana?
Ya ayah saya
memang meninggal di sana.
Dalam penugasan atau sesudah pensiun?
Ya memang
sesudah pensiun. Kan pensiun di gereja Bali dan kemudian dia itu berangkat ke
sana, dan sempat juga membantu pelayanan di sana dan sempat juga membantu
pelayanan di Sienjo di sana. Nah ini orangtua saya itu juga trasmigrasi pak,
nah orangtua saya punya warisan di sana itu kan dijual pak, itu sekitar tahun
1971.
Warisan dimana?
Di Celukan
Bawang tempat tinggal orangtua saya. Namun sebelum berangkat ini ceritanya
bolak-balik, selain di Banyuh Poh selain itu ada juga gereja Binaan di Teluk
Terima dan di sana itu memang ada juga gereja, kalau tidak salah ada 7 KK di
sana. Dan saya sendiri sempat beberapa kali melakukan kebaktian di sana,
termasuk di Sumberklampuk ada orang Cina satu, kalau namanya saya itu sudah
lupa karena kan sudah agak lama, jadi saya juga sempat ke sana.
Sekitar tahun berapa berangkat transmigrasinya?
Kalau itu tahun
1971, dan dasar pertimbangan orangtua saya itu kan begini, saya itu kan
bersaudara banyak 11 orang.
Kalau Bapak sendiri yang nomor berapa?
Kalau saya yang
nomor duanya. Yang bisa sekolah saya sampai SPG, kakak saya SPG, kemudian yang
di Pantiasuhan yang sekarang jadi pendeta di Tulung Agung, sedangkan yang
dibawahnya ini keadaannya sudah memprihatinkan. Kalau ini kan sulit untuk
meneruskan orangtua karena keadaan ekonomi. Kadang-kadang dapat tanah nandu
istilahnya, belum apa-apa sudah diambil, jadinya sulit untuk meneruskan
ekonomi. Nah korban perasaan jadinya orangtua saya, nah kemudian kami
sekeluarga itu kan berkumpul, setelah itu kan masyawarah, bagaimana kalau kita
itu berangkat ke Sulawesi dan memang sebagian besar dari keluarga saya itu
setuju semua. Sebab keadaannya itu memang susah sekali, dan adik-adik saya juga
kalau cari makan itu sangat susah sekali. Tapi saya itu kan tidak jadi
berangkat sebab saya kan juga diangkat menjadi pegawai, ....jadinya kita itu
kan berjuang dulu.
Kalau yang ikut itu siapa saja?
Kalau yang ikut
itu kan Bapak saya, ibu dan adik-adik dan semua memang itu berangkat, hanya
kakak saya yang tidak berangkat dan yang dituju ini juga daerah Tolai. Kemudian
perkembangan selanjutnya setelah pindah di Tolai, yang terakhir keluarga saya
itu kan berkumpul di sana di Sienjo, itu sudah lain, kecamatannya Abibabo dan
kabupatennya Tonggala, nah di sanalah adik-adik saya itu sekarang mengadu nasib
dan saya memang melihat keadaannya sudah agak membaik.
Berarti kalau aji (ayah)-nya dulu kan ikut program pemerintah
jadinya?
Swadaya. Kalau
Swadaya tu sama sekali tidak dapat bantuan dari pemerintah.
Kalau dari Tolae itu pindah ke
Sienjo permanen itu atau masih punya di Tolae?
Kalau di sana
kan dijual Pak. Dasar pemikirannya pindah itu kan begini, kalau di sana itu kan
sawah tok, berarti kan usia makin lama, makin kendor jadinya kan sudah tidak
kuat lagi untuk bekerja di sawah, akhirnya “ah kalau begitu cari tempat yang
kering, supaya kita itu bisa istilahnya itu kan menanam tanaman tuuh (kering, tahan lama)”, tanaman yang
usianya panjang. Nah akhirnya kan diadakan penelitian di sana itu beberapa
kali, nah akhirnya kan ke sanalah berangkat bersama-sama sekitar 50 KK, jadi
kita itu kan ramai-ramai ke sana dan satu komplek itu kan semua Kristen.
Waktu berangkat dari Sririt itu juga begitu ya pak?
Kalau waktu
berangkat itu tidak. Hanya beberapa KK saja yang dari sini ada yang ikut,
kemudian orangtua saya, kalau tidak salah hanya 5 KK. Banyuh Poh-nya itu kan
duluan berangkat.
Jadi Banyuh Poh itu duluan berangkat?
Ya duluan.
Saat di sana itu bertemu dengan jemaat Banyuh Poh?
Ya saya itu
ketemu.
Nah setelah bertemu lalu pindah ke Sienjo?
Ya ada yang ke
Sienjo dan ada juga yang tidak ke Sienjo.
Kalau yang dari Banyuh Poh itu Swakarsa ya?
Ya dan memang
semua itu swakarsa dan memang tidak ada program pemerintah ini. Saat itu kan
belum begitu galak program transmigrasi pemerintahnya.
Berari kan dengan menjual yang di sini?
Ya dengan
menjual yang di sini, berangkat ke sana. Sampai di Sienjo sekarang masing-masing
mendapat bagian sebanyak dua hektar dengan perumahan 15 are, di depannya itu
kebun.
Kalau dari keluarga, putra-putra aji (ayah) itu sekarang jadi
berapa KK?
Kalau yang
masih di Sienjo, kalau yang masih di sana itu 3 orang. Kalau yang wanita kan kebanyakan
ada di tempat-tempat lain. kalau yang sudah meninggal juga satu, jadi masih
empat, kalau yang lainnya di Masari itu ada satu. Pernah juga menjadi Beshop di
sana.
Kalau gereja jemaat itu dibawah GKPB ya?
Tidak tapi
GKST, Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
Masih ada persamaan dengan yang di sini?
Kalau itu masih
ada persamaan, sebab kerjasamanya juga kan dengan gereja Bali, dan pendetanya
juga banyak yang didatangkan dari Bali. Saya kira liturqinya sama itu dan saya
juga dapat ikut kebaktian di sana.
Kesan-kesan yang mendalam yang
masih Bapak ingat saat mengikuti perjalanan Ayah itu apa saja?
Ya saya itu kok
merasa gembira ikut bersama-sama dengan ayah saya. Ikut bersama orangtua ke
sana dan disamping iu kok rasanya netral sekali dengan orang-orang di sana. Di
sana itu kan daerah jagung dan kita itu memang senang mendapat jagung, kalau
anak-anak kan memang begitu dan kalau kita pulang itu pasti juga jagung yang
diikat-ikatkan, untuk oleh-oleh dan akan dibawa pulang. Dan terbayang sampai di
sana dan bersama orangtua saya itu semangatnya luar biasa sekali. Dia itu kan
memang gagah sekali seperti koboi itu, pakai topi yang lebar.
Kalau ayahnya pernah tidak
cerita, sejarah mengenai ayahnya saat masuk Kristen?
Pernah, saat
itu sekitar saya masih SMP itu saya pernah diceritakan, dia itu kan begini,
“kakekmu dulu punya tanah di sini, sebab kakekmu beragama Kristen lalu kakekmu
itu dilempari, akhirnya kan ada tetangga yang merasa kasihan, lalu sawah
kakekmu itu ditukar dengan tanah, yang ada di Celukan Bawang, kasihan katanya
tetangganya itu.” sedangkan kalau dari segi jumlah sedikit sekali katanya Pak.
Jadi yang mulai menerima kesaksian itu kakek ya?
Ya kakek saya.
Siapa nama kakeknya?
I Gusti
Kompiang Kaler.
Bagaimana ceritanya itu dulu,
dengan saat menjadi Kristen dengan mendengar dari ceritanya itu?
Kalau sejarah
kakek saya kan tidak begitu banyak tahu.
Saat Bapak sudah lahir kakeknya masih ada?
Kalau itu saya
memang sudah tidak ada. Kalau saya memang sama sekali tidak tahu dengan kakek
saya tapi kalau kakak saya itu baru tahu sedangkan kalau saya yang saya tahu
kan hanya nenek saya saja dan saat itu
memang sudah ada di telukan Bawang dan sudah tidak ada di sana lagi.
Tolong ceritakan sedikit mengenai kakeknya ini?
Kakek saya itu dukun katanya dulu, sesudah itu kan ada
yang mengabarkan firman Tuhan ke sana, kalau tidak salah dari Bubunan itu pak.
Orang mana itu?
Kalau tidak
salah orang Bali itu, tapi kan namanya saya itu sama sekali tidak tahu.
pokoknya dia itu menerima firman Tuhan itu kan di Petemon itu. akhirnya karena
diketahui dia itu beragama Kristen akhirnya kan banyak saudara-saudara yang
tidak senang. Dan yang lebih merucing lagi pada saat anak dari kakek saya, itu
adik dari Bapak saya, kawin. Terus di sana itu kan orang fanatik, lalu dia itu
kan menikah dengan orang yang kasatanya belum dianggap sederajat, artinya kan
belum Gusti, oleh sebab itu kakek saya disuruh menangguhkan agar jangan dulu
diterima. Tapi karena kakek saya itu sudah Kristen, tidak ada lagi istilah
lebih rendah dan lebih tinggi, jadinya kan diterima. Oleh karena diterima
inilah akhirnya timbul reaksi dari keluarga, lalu malamnya rumah kakek itu
dirampok dan kakek saya itu dilempar dengan pengasah itu, setelah itu kan lari
dia lantas, dia kan lari di tengah sawah dan di sana sembunyi sedangkan
barang-barangnya itu sudah dihabiskan.
Setelah itu masih tetap di sana?
Ya masih juga
tetap bertahan di sana, nah dari situ dah kan ada yang merasa kasihan dengan
kakek saya ini, lalu ini semua kan dibongkar. Tanahnya di sana itu memang
sedikit mungkin hanya 60 are dan ditukar dengan yang di Celukan Bawang itu
sekitar 4 hektar. Lantas kakeknya tinggal di sana.
Bapaknya juga ke sana?
Ya sama-sama.
Berapa orang saudaranya itu?
Kalau yang laki
itu 3 dan yang wanitanya itu 6 orang.
Waktu kakek pindah itu belum berkeluarga semuanya?
Oh kalau itu
memang belum sama sekali.
Kalau saudara-saudara kakek ada yang sudah jadi Kristen?
Oh kalau itu
memang belum ada.
Kalau di desa itu selain kakeknya?
Kalau itu juga
tidak ada dan itu kan hanya kakek saya saja sendiri.
Lalu kesaksiannya itu diterima
dari orang yang datang atau dari pergaulannya?
Kalau itu kan
dari orang yang datang.
Tadi katanya kakeknya itu suka mengobati atau bagaimana?
Ya mengobati,
lontar-lontar itu banyak sekali dia itu punya.
Jadi saat sedang sudah Kristen juga masih
seperti itu?
Ya memang
masih.
Mengalami pengalaman-pengalaman seperti itu?
Ya masih. apa
roh atau apa, saya juga kurang begitu. pokoknya ada orang yang mendatangi,
pokoknya begini dan ini kasi nama
begitu, langsung diberikan nama seperti itu. kalau orang-orang datang ke sana,
kan jadinya “kok lain gerejanya ini, kok malah berisi gajah.” Kalau sekarang
kan hanya dipakai keluarga saja, sedangkan saat masih orangtuanya saya, itu
gereja untuk jemaat semua.
Kalau jemaat di sana, di luar keluarga besar juga?
Ya, kan
gabungan dengan Patas dan Celukan Bawang, tidak ke Banyuh Poh gabungannya. Nah
setelah muncul di sini di Banyuh Poh, baru gabungan tiga. Jadi sekarang itu di
Patas ada Pos PI, kemudian di .... Gereja. Kalau yang di Celukan Bawang tidak
ada yang memakai, dan yang memakai hanya keluarga saya sendiri. ....
Kalau saudara yang masih tinggal
dengan Pak Gusti sekarang itu siapa saja?
Hanya saya saja
masih sendiri.
Terus, yang meneruskan menjadi pendeta dua orang ya?
Ya.
Nah kemudian setelah tahun 1971,
Pak Gusti sudah dapat penugasan di sini?
Kalau itu
pengangkatannya tahun 1969.
Kalau saya pernah dengar, kalau
di Gitgit ini, sebelum periode penugasan ayah pak Gusti, katanya sudah punya sejarah
ke Kristenan, nah itu bagaimana ceritanya?
Kalau itu
begini, ini juga karena sudah begitu lama, sedangkan saya dulu juga punya
cita-cita untuk membangun, masih Gusti Ketut Widastra ada selaku majelis,
majelis gereja Gitgit. Kalau ini kan masih ada hubungan keluarga dengan ibu
saya. Saya itu punya cita-cita untuk berdua membuat sejarah gereja gitu, tapi
mungkin karena nasib umurnya dia itu pendek dan dipanggil oleh Tuhan akhirnya
cita-cita itu kandas. Tapi sebelum itu dia juga pernah cerita-cerita tentang
sejarah gereja di Gitgit. Yang saya dapatkan dari cerita paman saya ini dan
masih sempat saya ingat dan tadi juga saya sempat dengar kalau akan ada yang
datang dari Denpasar yang akan menyakan sejarah gereja dan saya coba-coba
mencari narasumber dalam artian bagi orang-orang Hindu mempunyai hubungan dekat
dengan orang-orang Kristen yang punya usia yang cukup lama, dan saya itu minta
data dari sana begitu ceritanya dan kebetulan dia itu juga ingatannya masih
segar. Lalu saya kan dapatkan itu dan saya hubungkan dengan cerita Paman saya.
Siapa sumbernya itu?
Wayan Syoh.
Dari desa Gitgit?
Dia itu kan
mempunyai kerjasama yang baik dengan orang-orang Kristen jaman dulu. ....
Nah dari penuturan itu apa yang Pak Gusti peroleh?
Ya itu dah
ceritanya tentang asal-usul adanya orang Kristen di sini, itu darimana asalnya.
Lalu itu kan ada namanya Pan Genis, Wayan Genis, asal ceritanya ini kan adalah
urusan muda-mudi. Jadi Pan Genis ini masih bujang berpacaran dengan salah seorang
wanita yang masih ada di Gitgit ini, kalau namanya saya lupa. Nah pada saat
pacaran itu katanya terjadi suatu pertengkaran. Nah pertengkaran itu mengarah
ke hal yang serius jadinya. Katanya dia itu bilang begini, “kamu jangan
macam-macam, nanti kamu akan saya bunuh.” .......”silahkan bunuh, silahkan
bunuh.” Dan memang betul katanya dia itu sampai mengambil pisau katanya. Lalu
dia ditusuk katanya dan akhirnya sampai meninggal.
Nah oleh
karena diketahu kalau Pan Genis ini membunuh, akhirnya tetangga-tetangganya ini
ribut, kemudian kentongan dipukul dan sampai akhirnya dibunyikan kentongan,
kemudian kan banyak orang datang, dari utara orang datang, dari selatan orang
datang, dia itu keluar katanya dan masih membawa pisau dan pisaunya itu
berlumuran darah, dan dia katanya ngomong “ayo siapa berani, nanti saya bunuh
kamu.” Akhirnya kan semua orang tidak ada yang berani maju. Akhirnya ini dah
pak Bapaknya Pan Syoh yang saya cari tadi ini, dia sendiri katanya yang berani
mencari, padahal katanya dia itu masih muda. “apa semua orang yang akan kamu
bunuh, sini bawa pisaunya.” “ya kalau kamu memang yang minta maka saya akan
kasi.” Akhirnya pisaunya ini kan dikasi, baru orang-orang ini maju dan mau
membunuh dia. “jangan, jangan dibunuh.”
Akhirnya kan
dilaporkan dia itu ke pemerintahan dan saat itu kan masih pemerintahan Belanda,
di Buleleng ini dan saat itu kan ada manca namanya, akhirnya ini yang
menguruskan akhirnya dia ini ditangkap begitu, kemudian ditahan dan akhirnya
dibawalah dia ke Nusa Kambangan dan kemudian dia itu ditahan di Nusa Kambangan,
karena pembunuhan itu. nah setelah di Nusa Kambangan itu katanya dia membunuh
lagi dan kalai ini yang dibunuh itu orang Makassar, nah karena membunuh di Nusa
Kambangan akhirnya kan dipindahkan dia itu dari sana. Ini kan sama-sama Tahanan
dibunuh dan akhirnya dia itu dipindahkan ke Ambon dan akhirnya di situlah
akhirnya dia ditahan dan memang cukup lama itu, dan sampai akhirnya setelah dia
ditahan itu dan kemudian dia itu kan keluar. Nah setelah dia keluar dari
Tahanan, lalu dia itu kan menikah dengan orang Ambon. Nah setelah beberapa
lama, akhirnya dia itu kan kembali ke Gitgit. Nah pada saat di Ambon inilah dia
itu menerima Firman Tuhan.
Istrinya diajak ke sini?
Kalau istrinya
kan sudah meninggal di sana.
Punya anak?
Kalau anaknya
ada satu, dua diajak ke sini, satu laki dan satunya lagi wanita. Kemudian yang
laki ini kan punya anak. Pokoknya dia itu punya anak dua. Nah akhirnya di
sinilah dia itu membawa alkitab itu. dan Alkitab itu dengan
selembaran-selembaran kecil dan ini katanya yang dikasak-kusukan dengan
teman-temannya yang di Bali, ya cerita-cerita gitulah. Jadi cerita-cerita
dengan teman-temannya, dan termasuk orang yang memberikan informasi ini juga
tahu apa yang dikasak-kusukan. Nah itu versinya di sana, ya caranya itu dengan
kasak-kusuk.
Tapi
cerita dari paman saya yang pernah cerita dengan saya, nah begitu datang dari
hukuman, lalu kan dicari teman-temannya ini dan yang dicari itu kan empat orang,
yang pertama Gusti Kompyang Mataram namanya,
kemudian Nengah Tantri, Pak Thomas juga lagi satu, .... nah kan ini yang dicari
dan cara menyebarkan firman itu juga sangat sederhana sekali. .......”..., Nyak
masuk Kristen.” (Maukah beragama
Kristen) ,“oh nyak” (oh mau). Jadi yang
ditanya itu tidak tahu Kristen. akhirnya dia itu kan mau masuk Kristen, terus
yang lagi dua ini juga katanya mau masuk Kristen, akhirnya kan ada lima orang
dan mereka itu sepakat untuk menjadi Kristen. nah setelah diketahui menjadi
Kristen, lalu dia itu kan membuat gereja dan gereja di sini, di sudut ini, nah
saat ada gereja itu saya sudah ingat gerejanya, kemudian kan dipindahkan ke
sini gerejanya, diatas itu dan gerejanya kan cukup besar di sana.
Terus karena
sudah dimakan rayap dan tidak ada yang memelihara lalu dipinahkanlah ke sini di
gereja yang sekarang. Nah setelah masuk Kristen, jadi masayarakat yang di sini
itu kan tidak setuju dengan adanya Kristen itu, akhirnya dipaing istilahnya,
artinya tidak boleh diajak bicara. Jadi siapa yang mengajak bicara maka akan
didenda dan itu katanya perintah dari kepala desa. Nah oleh karena orang pada
waktu itu sangat takut sekali dengan kepala desa, sehingga orang-orang itu
memang takut katanya bergaul dengan orang-orang Kristen. nah saya tanyakan
juga, “kenapa jika takut dengan orang-orang Kristen, lalu kok bisa berkembang
sampai seperti sekarang.” Nah ceritanya begini katanya, dari narasumber di sana
saya dapatkan, dia katanya mempunyai sapi satu, itu kan Bapaknya Pan Syoh itu,
nah Gusti Kompyang Mataram ini punya juga satu, dikawinkan. Jadi ini dijadikan
satu supaya bisa makin banyak. ........, dan pada saat dia berhubungan ini
tidak terlalu banyak mendapat sorotan, sebab dari keluarganya ini juga keluarga
yang disegani.
Nah ini
kemudian dibiarkan dan dari sanalah akhirnya berani ngomong, jadi kan ada
komunikasi anatara Kristen dengan Hindu. ........., nah suatu saat katanya
sapinya hilang satu dan dicuri oleh orang. Akhirnya itu kan dipukulkan
kentongan, lalu dikira yang hilang itu kan sapi miliknya Gusti Kompyang Mataram
ini, tapi ternyata yang hilang miliknya Pan Syoh ini. Nah setelah dipukulkan
kentongan itu kan datang akhirnya orang-orang semua dan bertanya “ada apa?”
“ini sapinya hilang.” “sapinya siapa?” “sapinya Pan Syoh.” “lho dia kan sudah
bekerjasama dengan orang Kristen, jadi biarkan saja.” Tapi kan orang-orang
Kristen ini sangat giat sekali mencari. Ada juga orang-orang Hindu yang mau
mencari, tapi itu hanya sekedar saja, lalu kembali lagi. lalu tohoh-tokoh yang
ada di Panji juga dicari,, Pegayaman, pokonya yang sudah masuk Panji,
Pegayaman, Nagasepa, nama-nama desa itu pasti akan dijumpai. Nyatanya tidak ada
yang masuk ke sana. Jadi kesimpulannya, kan masih disembunyikan di dekat-dekat
sini, akhirnya dijumpai di sini pak. Disebuah desa sebelah Pegayaman itu, dan
diikat di sana.
Pencurinya tidak diketemukan?
Tidak, kan
takut itu pak. Karena yang mencari itu kan banjar juga. Nah di sanalah kembali
terjadi ....... dan suatu saat kan ada orang Kristen yang meninggal, yang
meninggal itu kan kakeknya Pan Tantri ini, ....Pak Tantra ini, dia meninggal.
Lalu mau menguburkan kan tidak ada kuburan jadinya. Nah akhirnya lama katanya
prosesnya itu tidak bisa diselesaikan, dan akhirnya dari sana katanya itu
datang, dari Camat itu. “ada apa ini?” “ada orang yang meninggal.” “kalau ada
orang meninggal seharusnya kan dikubur.” Tapi orang Kristen kan tidak ada
kuburannya.”
Nah
diketahuilah di sini, kalau ada dikuburan di sebagian kecilnya disebelah
timurnya itu dan kuburan itu diketahui khusus hanya untuk tamu saja. Sebab dulu
ceritanya ada orang wanita yang datang ke sini. Lalu karena kedinginan dan
berjalan terus sampai diatas ini, lalu karena kedinginan dia kan meninggal
terus, lalu dikubur di sana, maka kuburan itu memang sebagian untuk tamu, nah
inilah akhirnya yang diberikan kepada orang Kristen dan akhirnya kan dikuburkan
di sana, tapi itu dengan syarat dan syarat ini sampai berlarut-larut, sampai
Gusti Aji ini meninggal baru itu terselesaikan. Syaratnya, kalau ada orang
Kristen meninggal, ini harus mengikuti aturan-aturan yang dimiliki orang Hindu,
kalau itu mau diikuti maka itu bisa dapat kuburan di Gitgit. Nah karena orang
Kristen sangat memerlukan kuburan itu, maka aturan itu diikuti. “baiklah aku
akan ikut dengan ketentuan itu.”
Seperti apa syaratnya itu?
Kalau
memerlukan itu, maka itu harus memerlukan dewasa. Nah kalau ke sana, ke Pak
Kelapa adat, nah di sana dia itu pasti akan mengambil catatan. “Kalau sekarang
kan sama sekali tidak ada dewasa, besok tidak ada dewasa dan kalau lagi tiga
hari baru bisa ngubur.” Jadi kita itu tiga hari baru bisa ngubur, padahal kalau
kita itu kan setiap hari, adalah hari baik, jadi kapan saja bisa mneguburkan.
Nah sampai ada beberapa orang Kristen ada yang meninggal, karena diberikan
petunjuk dan waktunya sangat lama. Seperti Pak Thomas itu, yang Kristen awal
itu, itu juga dikuburkan di sana, di Singaraja, di Liligundi, karena itu kan
diberikan waktu selama 10 hari, akhirnya tidak diberikan di sini mengubur,
akhirnya kan dikuburkan di Singaraja.
Nah
entah berapa kali saya mengadakan lobi-lobi dengan adat, dengan pendeta, dan
menyampaikan permasalahannya. “kalau saya ke sini itu bukan menyakan dewasa,
sebab kalau menurut Kristen itu semua harinya baik. Jadi kalau saya menguburkan
tidak akan ada upacara-upacara agama yang dapat mengganggu kalau saya
menguburkan. Purnama atau Tilem misalnya atau upacara agama yang lainnya. Jadi
hanya itu saja yang saya tanyakan. ” Tapi dia itu bersikeras. “oh kalau itu
saya itu tida berani, apa yang ada dari dulu maka itu harus saya jalankan,
pokoknya keluar dari sini itu tidak boleh menguburkan. Hari-hari yang telah
ditentukan dalam aturan agama Hindu, itu tidak boleh dilakukan oleh agama
Kristen dan saya sama sekali tidak berani untuk merubah.” Tapi kita itu kan
terpaksa mengikuti karena kita kan tidak punya pilihan yang lain. nah
perkembangan selanjutnya, kan ada orang Kristen yang meninggal, lalu kita kan
tanyakan, “kapan ini ada hari baik.” “lho ini orang Kristen kok bertanya ke
sini, masing-masing orang Kristen itu kan sudah punya kewajiban sendiri, jadi
kan gunakan aturan sendiri, silahkan dah atur cara menguburkan sendiri.”
Sehingga saya kebetulan saya itu saat itu menyambut orang-orang yang hadir di
sana, kan saya katakan membntuk yang bagus untuk ........
Tahun berapa itu?
Entah
meninggalnya tahun berapa, kalau tidak salah tahun 1995, baru-baru ini.
Nah kalau bendesanya sudah diganti atau masih yang lama?
Tidak tapi kan
sudah diganti. Kalau ini kan yang generasi yang lebih muda, kalau nanti
misalnya diganti, apa akan kembali ke aturan yang dulu saya kan tidak tahu
(bersambung)
No comments:
Post a Comment