Nama
Informan : Pendeta Ketut Daniel (1)
Tempat
Wawancara: Banjar Untal-Untal, Dalung, Badung 8 Februari 2001
Pewawancara
: Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Transkriptor
: Wahyuni, tim peneliti TSP
Korektor
: Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Bapak lahir tahun 1920,
berarti sudah dewasa pada zaman Jepang dan bahkan zaman Belanda ?
Zaman
Belanda sudah dewasa, dan sudah sekolah di Makasar.
SR, Volkschool
dimana ?
Di sini, di Sempidi, yang di tikungan
itu.
Yang
dekat pasar itu, khan berdiri tahun 1918 ya ?
Ya.
Bapak angkatan pertama ?
Tidak.
Ada yang duluan.
Siapa
saja yang sekolah disana dari Untal-Untal ini ?
Saya
saja.
Dulu
khan sekolah Belanda sampai kelas 5 ya ?
Ya,
dan orang-orang yang sekolah setelah saya masuknya/sekolahnya ke Desa Kerobokan.
Disana juga ada Vervolgschool. Dulu
yang di Sempidi khan volkschool bukan Vervolgschool.
Berarti
sampai kelas 3 ?
Ya.
Setelah itu dilanjutkan ke Makasar.
Bapak sampai bisa sekolah berarti
orang tua bapak mampu ya ?
Ndak,
ndak mampu, tapi kami sekolah memang tekad, tekad sendiri, mau menjadi orang
yang berharga. Orang tua tak punya apa-apa.
Tapi
biaya sekolah khan dari orang tua ?
Tidak,
tapi dari biaya sendiri. Ke Makasar juga dengan biaya sendiri.
Bapak
minta uang ke Ibu, tidak ?
Tidak,
saya berusaha sendiri. Begitulah tekad saya karena ingin maju, biaya sendiri.
Berarti bapak masuk usia 8 tahun ?
Ya.
Apa
yang bisa bapak kerjakan mencari uang pada umur segitu ?
Waktu
itu tidak ada biaya sekolah, makan di rumah, jadi tidak perlu biaya. Waktu itu
saya dianggap pintar, jadi saya bantu teman-teman belajar, saya dikasi uang.
Bapak
pergi dengan jalan kaki sampai Sempidi ?
Ya,
tapi dulu itu tidak jauh.
Pakai
sepatu ?
Nggak
dulu tidak ada pakai sepatu. Kita masih pakai celana pendek.
Dari
sini cuma bapak sendiri ?
Ya.
Tapi dari Gaji banyak, kita bertemu disini dan jalan bareng-bareng sampai
Sempidi.
Berarti
di Untal-Untal belum ada sekolah ya ?
Belum.
Untal-Untal
ini desa atau banjar ?
Banjar.
Banjar Untal-Untal termasuk dalam desa Dalung.
Siapa
Kelian waktu itu ?
Pan
Wiri.
Bapak
bukan anak kelian banjar ya ?
Bukan.
Orang
tua bapak petani ?
Pemangku (pelaksana upcara di tingkat pura) disini.
Pemangku di pura mana pak ?
Pura
Daja, namanya.
Seumur
hidup jadi pemangku pak ?
Ya.
Dulu saya disiapkan jadi pemangku, tetapi beliau meninggal, tak tahu ya....saya
menerima Yesus, tahun 37.
Lingkungan
sebelumnya bagaimana pak ? Siapa cikal bakal pertama Kristen disini ?
Yang pertama disini namanya Made
Gelendung. Dia orang yang intelek waktu itu. Made Gelendung orang asli sini.
Kemudian yang tua-tua ada I Greda.
Jadi,
I Greda lebih senior ya ?
Ya.
I Gelendung itu waktu bapak masih
kecil sudah berkeluarga pak ?
Ya. Sudah berkeluarga.
Kalau
Greda ?
Sudah
kakek-kakek. Setelah Greda ada Gereg.
Gereg
itu lebih tua atau lebih muda ?
Lebih
tua dari Greda.
Masih
ada keturunannya di Untal-Untal ?
Ya,
ada.
Bapak
tahun 1937 pindah agama, bagaimana prosesnya ?
Bapak
saya pemangku, jadi saya dididik
secara Bali. Tiap-tiap malam mau tidur diberikan dongeng-dongeng, cerita-cerita
tentang sorga dan neraka. Cerita-cerita mereka diambil dari cerita-cerita yang
namanya cerita Gagakturas dan Japatuan. Jadi saya dididik oleh orang tua saya
dan disiapkan jadi pemangku. Tapi tak
tahu ya saya bisa jadi Kristen.
Bila
bapak sekolah umur 8 tahun, berarti berarti saat itu bapak sudah sekolah di Volkschool ya ?
Waktu
Kristen masuk ke Untal-Untal, saya sudah hampir usia 11 tahun.
Setelah
3 tahun disana, setelah dari Voorvoledge School bapak langsung ke Makassar?
Ke
Lombok satu tahun.
Tahun
32 kira-kira pak ya ?
Saya disini sampai tahun 1937, tahun 1937 saya
menerima Kristus, kemudian tahun 38 saya ke Lombok.
Bisa
bapak ceritakan apa yang bapak lakukan dari tahun 1928 sampai sebelum 1937?
Biasa
saja.
Pendidikan
bapak ?
Pendidikan
sampai di Vervolgdchool (kelas V) saja. Tapi kemudian dilanjutkan ke Makasar
sekolah Theologia.
Berarti
kapan bapak ke Makassar ?
Tahun
1938 setelah ke Lombok. Di sana belajar Theologia dan tambahan dari Vervolghschool.
Jadi
dari tahun 1920-1937 sepenuhnya bapak ada di Untal-Untal ?
Ya.
Saya
tertarik pada saat bapak remaja, tahun 1920-37. Saat itu bapak sebagai rakyat
biasa, apa hoby bapak waktu itu ?
Saya
sebagai petani, dan juga memiliki kesenangan menyanyi.
Apa
bapak pernah menyalurkan hoby bapak tersebut, misalnya ada kelompok atau group
menyanyi ?
Waktu
itu belum ada, tetapi sampai saat ini hoby saya itu masih nyata.
Waktu bapak belum masuk Kristen dan
sampai bapak berusia 17 tahun di Untal-Untal kemana saja bapak pernah pergi
waktu itu ?
Waktu
belum masuk Kristen saya tidak pernah kemana-mana. Orang-orang di Untal-Untal
tidak ada yang keluar, cuma saja saya waktu itu.
Jadi
waktu belum masuk Kristen tidak pernah kemana-mana ya ?
Ya,
tak pernah hanya bertani disini.
Orang
tua bapak punya tanah ?
Punya
½ hektar.
Digarap
beberapa orang ?
Kakak
saya, saya sendiri, dan 2 adik-adik saya. Jadi saya mengolah tanah untuk
menghidupi diri dan adik-adik saya yang kecil-kecil.
Jadi
pekerjaan bapak tiap hari bangun, ke sawah?
Ya.
Jam
berapa bapak ke sawah dan sampai jam berapa di sawah ?
Saya
bangun pagi sekali. Dari pagi jam 4 sampai jam 10.
Waktu
ke sawah sudah sarapan waktu itu ?
Belum,
sepulang dari sawah baru makan. Dulu tidak kenal yang namanya sarapan.
Tidak
ada yang bawakan makanan ke sawah ?
Tidak,
kami pergi sekeluarga.
Itu
memang tugas bapak ?
Ya.
Karena saya ngempu (mengasuh) 2 adik
saya jadi saya harus kerja keras.
Bapak
anak pertama ?
Tidak.
Saya Ketut ini. Ada kakak-kakak saya, tapi sudah kawin dan tinggal di luar.
Kakak laki-laki saya juga sudah menikah dan tinggal di luar. Saya yang tinggal
di rumah dan ngempu adik-adik saya
dan harus kerja keras. Petani di sini memang berat sekali. Airnya sukar. Kami
mencari air malam-malam, jaga di sawah untuk membasahi sawah, pagi-pagi kerja
lagi, itu yang membuat saya berfikir bagaimana caranya lepas dari kesukaran
ini.
Untal-Untal
dulu sangat menakutkan, rimbun, gelap, bapak tidak takut pagi-pagi pergi ke
sawah ?
Karena
saya sudah dibekali, diajari orang tua, karena bapak saya pemangku, saya sering
diajak semedi malam-malam, dengan bekal itu tidak takut saya.
Bekal
itu apa maksudnya ?
Pelajaran-pelajaran
tidak boleh takut.
Bagaimana
ajaran itu ?
Malam-malam waktu sebelum tidur
diceritakan bahwa kamu tidak perlu takut karena dewa kita dewa sakti, dan waktu
itu saya masih sangat taat pada dewa, “Dewa yang akan menjaga kamu jadi tidak
usah takut..
Dewa yang dimaksud ?
Dewa
leluhur saya.
Jadi
tiap hari diajarkan ?
Ya
begitulah. Kamu ini sebenarnya sudah ada yang menjaga, dewamu, leluhurmu, jadi
tidak ada rasa takut kalau bangun subuh dan sampai saat saya besar sekarang ini
tidak pernah melihat hal-hal yang menakutkan. Kalau yang lain adik-adik saya
banyak yang melihat disini, di tempat saya ini angker, tetapi saya tidak pernah
melihat.
Dari
kecil benar bapak tidak pernah takut ?
Ya.
Karena dari kecil sudah diajarkan oleh orang tua, tidak usah takut, ada yang
menjaga kamu, itu istilahnya dia.
Waktu
bapak sudah sekolah diberitahukan atau waktu masih kecil ?
Waktu
masih kecil, dengan dongeng-dongeng itu, yang paling banyak cerita-cerita
wayang itu, seperti Panca Pandawa yang banyak mengandung filsafat-filsafat yang
pada waktu itu saya tidak mengerti, tetapi ternyata mempunyai nilai filsafat
yang mendalam.
Di antara
ibu/bapak, mana yang paling sering memberikan dongeng ?
Bapak
saya. Setiap ada wayang ia selalu menonton wayang, dan saya diajak. Kalau tidak
diajak, saya berontak, bangun malam-malam. Dan bapak saya selalu mengajak
karena beliau selalu mengajarkan untuk belajar dari cerita wayang tersebut.
Dimana
biasanya pertunjukan wayang itu ?
Di
Untal-Untal di bale banjar, di Dalung juga di bale banjar, di Gaji juga, dan
ayah saya selalu mengajak saya menonton. Saya anak yang satu-satunya disayangi
dan disiapkan, maka selalu diajak menonton.
Kalau
sudah sore, gelap, dulu anak-anak disini apa permainan yang disenangi ?
Ya
dulu senang main bola-bola itu, dari kupas ya....
Bapak
banyak punya teman ?
Banyak.
Suka bergaul ?
Ya
saya senang bergaul dan saya paling terkenal suka bergaul pada waktu itu.
Kalau
bapak bedanya dengan teman-teman tak pernah takut angker ya ?
Ya,
tidak pernah takut saya, karena tidak pernah diganggu.
Dulu
di Untal-Untal tempat mana yang dianggap paling angker pak ?
Di
sini (menunjuk pada area rumahnya), dulu di sini angker, dulu pekarangan ini
ditumbuhi ilalang, di depan ada pohon kepuh dan waru, kalau orang pulang
malam-malam seringkali tidak bisa masuk kesini, mereka lewat belakang, karena
disini sering dilihat orang besar, api besar. Dan justru waktu itu saya ingin
bikin rumah disini, karena saya tidak merasakan apa-apa.
Waktu
kecil main di sungai mana pak ?
Di
sungai Dalung, di bawah sana.
Di
sana tenget (angker) pak ?
Ya,
katanya di pura Sempuh itu tenget tapi saya tak merasakan apa-apa ?
Waktu bapak belum masuk Kristen,
kalau hari raya, bapak biasa sembahyang ke pura ?
Biasa,
rajin saya.
Termasuk
Purnama/Tilem ?
Tidak,
cuma hari raya Galungan/Kuningan.
Dimana
sembahyang ?
Di
pura dan di sanggah (kuil keluarga) saya.
Kalau
sembahyang, sama seperti orang Bali, termasuk cara-cara dan mantra-mantranya ?
Dulu beda dengan sekarang, kalau
sekarang khan mantra diajarkan, tetapi dulu tidak diajarkan, cukup mik-mik saja
sedikit !
Dulu
bapak apa kemik-kemik (bisik-bisik)-nya
?
Ya.....”Ratu
Betara suryaning titiang, tiang mangkin jagi mamargi.” (Ya para dewa. Lindungi
saya, saya akan bepergian)
Jadi kalau bapak bepergian selalu
berdoa ?
Ya,
cukup Ratu Betara suryaning titiang, itu saja diajarkan dan saya yakin betara
melindungi saya.
Berarti
pada hari raya saja sembahyang ?
Tidak,
ayah saya mengajarkan tiap hari, tiap sore sembahyang. Itu saran ayah saya.
Bapak
ikuti saran itu ?
Ya,
saya ikuti saran itu dengan taat.
Selain
disuruh sembahyang, diajari apa lagi, apa diberikan ilmu-ilmu ?
Ayah
saya tidak pernah mengajarkan ilmu, dan ayah saya sangat benci ilmu-ilmu itu.
Beliau mengatakan bahwa ditubuhmu sudah penuh dengan dewa. Tapi saya tidak
mengerti dewa apa itu, di kepala ada dewa, di hidung ada dewa, dewek (tubuh sendiri) itu adalah dewa.
Ditubuhmu sebenarnya sudah banyak dewa, saya sudah lupa di darah ada dewa apa
namanya, semua ada dewanya sendiri-sendiri, dan waktu itu saya sangat yakin,
dan tak pernah merasakan takut.
Apa
bapak tidak menularkan ilmu itu kepada teman-teman bapak ?
Tidak,
saya hanya gunakan sendiri. Saya tidak pernah beritahukan orang lain, salah
pikiran saya waktu itu.
Orang
lain apa tidak ada yang belajar dari orang tua bapak ?
Ada,
itu Made Gelendung yang saya sebutkan tadi. Dia sangat baik dengan ayah saya.
Sudah
ada kontak waktu itu? Sudah Kristen ?
Sebelum
masuk Kristen dia punya hubungan baik dengan ayah saya. Sesudah dia masuk
Kristen dia satu-satunya orang yang pintar disini, dia menjabat menjadi seorang
punggawa waktu itu, dia pintar sekali, dan dia melihat saya sebagai orang yang
berbobot untuk dia, orang yang pintar. Sekarang bagaimana mengambil hati orang
tua saya supaya saya dibebaskan orang tua saya. Dia bicara begini :
“Bapa, ne Ketut dueg gati nulis
Bali, kenken bet pa?” (Bapak, Si Ketut pintar sekali menulis aksara Bali,
dibagaimanakan sebaiknya dia)
“Ye, Made ento, yen Made ngelahang
adine, kenken je awak baan ngitungang.” (Ya, Made, karena kamu yang memiliki Si
Ketut, terserah kamu saja yang memikirkanny)
“Yen keto kel orin tiang nulis Bali
nah pa nah?” (Kalau demikian, saya akan suruh dia kerja menulis aksara Bali ta)
“Nah......tunden ba ya nulis.” (Ya,
silakan, suruh saja dia menulis.
Itu sebenarnya awalnya bagaimana
mulanya saya mengenal bagaimana orang Kristen. Kalau bapak saya mengajarkan
waktu pertama Kristen masuk di Untal-Untal mengatakan begini : “Itu orang
Kristen apa itu, meninggalkan dewa, tidak bisa itu !”.
Ayah
bapak mengatakan begitu, bapak mendengar sendiri ?
Ayah
saya mengajarkan bagaimana kekristenan itu, “Apa itu Kristen, jahat,
meninggalkan dewa, meninggalkan leluhur, hukum di surga teken
(oleh) dewa Cokor Manik dan Sang Suratma. Di hukum ento, tawang Tut (kamu tahu
artinya dihukum?” begitu katanya. Pada waktu itu pertama kali Kristen masuk ke
Bali. Waktu itu saya diajak bersemedi di pura sini, di pura Gede Balian, Dewa
Gede Poleng, diajarkan disini. “Ketut de nuutin ento nyen ! Wireh apa krana,
yen iraga ngutang dewa, yen buin pidan iraga mati, hukum ditu teken Sang
Suratma, suba metulis ento kelakuan raga nu idup, disubane raga mati, Sang
Cokor Manik lakar ngajak ngaba ke neraka.”
(Kamu tidak boleh mengikuti orang-orang Kristen itu, karena kalau kamu
meninggalkan para dewamu, nanti kalau kamu sudah meninggal, di situ kamu akan
di hukum oleh Sang Cokor Manik (dewa
penjaga alam sorga), yang akan mengajak kamu ke neraka).
Sangat mantap sekali
waktu itu dalam hati saya. Saya simpan dalam hati saya, saya sangat senang
sekali. Pada waktu Kristen masuk di sini, saya senang ngintip-ngintip Si Tsang
To Hang mengajari nyanyi. Jadi Tsang To Hang masuk ke sini, saya mengintip apa
yang diajarkan. Yang diajarkan waktu itu adalah menyanyi, karena dia tahu
orang-orang Bali itu suka menyanyi.
Saya
mulai ceritakan waktu Kristen mulai masuk disini. Dulu disini di Untal-Untal
sangat banyak orang belajar bagaimana mengalahkan bhuta kala (roh-roh jahat), leak
(makhluk jadi-jadian). Mereka menganggap leak
itu jahat, mereka belajar di sini, mereka belajar bagaimana mereka bisa
menghadapi leak. Nah banyak orang
mencari ilmu ke Baha untuk mencari ilmu, sabuk
poleng (jimat) ke Baha (Mengwi, Gulingan). Dan ada kelompok lain yang tidak
menyukai itu, dan mempelajari ilmu putih, karena kita mengenal ilmu hitam dan
putih. Yang menjadi guru waktu itu Pan Loting yang dari Buduk. Yang diajarkan
disini bagaimana menghadapi leak.
Pan
Loting belum Kristen waktu itu ?
Belum. Ia menjadi guru disini,
mengajarkan kebathinan, mengajarkan masyarakat dan orang-orang tua disini. Dan
orang-orang disini taat sekali karena Pan Loting sangat pintar bermantra.
Walaupun mereka sudah mencari ilmu untuk
menghadapi leak, tetapi mereka tetap kalah. Kemudian mereka dengar ada orang
Cina datang, Tsang To Hang datang, dia bisa mengajarkan ilmu mengalahkan leak, dan Tsang To Hang diperkenalkan
oleh I Made Risin kepada Pan Loting. “Ah tidak bisa itu, tidak ada yang
melebihi ilmu saya.” kata Pan Loting. “Baik, suruh datang kepada saya, saya mau
coba”.
Kemudian
datang Tsang To Hang dan Pan Loting mulai mencoba dengan mantra. Dia ucapkan,
mantra patah lidah, supaya bisu, tetapi
Tsang To Hang tetap bisa ngomong. “Kita orang tak berdosa, tidak usah takut
ha..., Tuhan Yesus tolong kita.” Dicoba sekali lagi, dibutakan, dibuat jadi
buta, tapi masih melek dia. Pan Loting marah sekali, “Saya kasi racun dia !”.
Dikasi racun, minum, tak apa-apa juga dia Tsang To Hang ini. Oleh sebab itu Pan
Loting mengajarkan kepada muridnya, ada 12 murid di sini, diajarkan bahwa
memang betul Tsang To Hang ini orang sakti, istilahnya sakti, tak mempan dikasi
mantra untuk bisu, untuk buta dan bahkan saya kasi racun tidak mati, itu kata
Pan Loting. Dia cerita pada waktu itu, waktu saya sudah besar disini.
Waktu
itu Pan Loting sudah Kristen ?
Ya
sudah. Saya lanjutkan lagi cerita itu. “Jadi saudara-saudara semua, kita harus
belajar kepada Tsang To Hang, dia ini orang sakti, bisa mengalahkan leak, bisa mengalahkan racun, magic itu,
mari ikut saya”. Terus bagaimana Tsang To Hang menerapkan ajarannya ? Nah ini
lagi, Tsang To Hang menerapkan ajarannya, dia juga mempelajari ilmu jiwa
barangkali, sebab saya ngintip terus, ngajar apa orang ini, ngajar
nyanyi-nyanyi lagi. Nyanyiannya bukan nyanyian Sinom, nyanyi lain ini, waktu
itu diajarkan begini : “La ida, la ida Hyang Yesus,” itu. Dia ajarkan bahasa
itu, dia mengajarkan orang-orang disini, tulisannya, tulisan Bali, bahasanya
bahasa Indonesia. Kemudian saya lempar dengan kerikil, dan lari lagi, sebab
saya tak senang melihat dia mengajarkan itu. Tetapi orang-orang semangat
belajar, terus belajar.
Tiap malam mereka
belajar, diajarkan tidak usah takut gelap, sebab kuasa Yesus mengalahkan gelap.
Saya tidak senang itu, saya lempar lagi. Waktu itu umur saya sudah belasan
tahun, jadi saya tidak senang seperti apa yang diajarkan oleh bapak saya, jadi
saya anti itu. Sudah itu, makin banyak berkembang, makin banyak orang disini,
orang Kristen disini makin banyak, ajaran mereka ditekankan sedemikian rupa,
dia katakan : “Kita sekarang menjadi murid-murid Nabi Isa, bukan Yesus, jadi
Tuhan Isa, Isa Almasih. Jadi saudara-saudara tahu ya !” kata Pan Loting. Isa
artinya isi, isi masehi itu meseh. Jadi disini berarti Tsang To Hang
mengajarkan kepada kita, isi meseh itu berganti. Jadi ajaran kita sekarang
berganti. Kita sekarang berganti ajaran Tsang To Hang ini.
Apa yang diajarkan Tsang
To Hang, Tsang To Hang mengajarkan ada Allah katanya, yang menjadikan dunia
ini, karena Allah yang menjadikan manusia, memberikan suatu korban, caru, jadi
kita tak perlu mecaru lagi, itu kata
Tsang To Hang. Karena Allah sudah memberikan suatu caru, ialah putranya,
Tuhan Isa. Cara-cara Tsang To Hang menerapkan ajarannya itu adalah bercerita
dan bernyanyi, sehingga orang-orang itu hafal ceritanya itu dengan menyanyi.
Makin hari mereka semakin mantap.
Saya itu selalu
berfikir, umur saya sudah makin
bertambah hingga usia 15 tahun sampai 17 tahun, bapak saya itu dicari oleh Made
Gelendung, dan berkata : “Pa, Ketut ne nak dueg pesan nulis, baang nulis Bali
nah?!” “Oh... nah ! men Made perlu, baang suba ya nulis Bali.” Waktu itu saya menulis tulis Bali
nyanyian-nyanyian itu, nyanyian-nyanyian Kristen, yening sarag kawi, de takut
geguritan, satua, sampai beberapa puluh satua, bahkan ratusan saya tulis itu.
Dalam menulis nyanyian-nyanyian itu pun orang lain yang menyanyi dan saya yang
menulis.
Saya berfikir, mereka
jadi pintar, tapi saya kok nggak pintar ? Mereka baca bukunya, tengah malam
belajar, orang-orang Kristen itu kok bisa tekun ? Itu menarik sekali, bapak
saya sudah tua, sudah hampir-hampir mati, tahun 37 dia meninggal. Setelah saya
baca, kok ajaran Tsang To Hang ini baik, sabar, dharma. Saya baca-baca temukan
cerita-cerita yang baik tentang dharma. Kemudian setelah bapak saya meninggal
saya ambil keputusan ternyata ajaran Tsang To Hang ini baik, sebab saya lihat
orang-orang Kristen waktu itu rukun sekali, tidak ada yang terlalu miskin,
terlalu kaya, mereka bagi-bagi bersama-sama, keutuhannya itu saya tertarik, apa
rahasianya ?
Waktu itu sudah terjadi
beberapa masalah di antara orang-orang Kristen. Masalah yang timbul bukan
karena apa, kesalahan orang Kristen begini, orang Kristen dibujuk-bujuk begini
: “Apa benar Tuhan Allahmu itu sakti ?
Berani nguug sanggah
(membongkar kuil keluarga)? Berani bongkar sanggah ?” Maka timbullah perasaan
tidak enak dikalangan kelompok saya waktu itu. Dan saya melihat sendiri, setiap
orang percaya pasti bongkar sanggah. Karena diuji kalau benar dewamu akti,
bongkar sanggah. Jadi dengan demikian terjadilah kebiasaan bongkar sanggah,
akhirnya tidak perlu lagi terjadi itu, akhirnya terjadilah
ketegangan-ketegangan antara orang Bali dengan orang Kristen itu, pada tahun
1936-1937. Orang Kristen sawahnya tidak dikasi air, orang mati tidak dikasi
kubur.
Ada satu kejadian orang
mati di Pelambingan sana, ada orang mati tidak dikasi kubur, mayatnya dibakar
oleh agama Kristen, datang saudara-saudara yang lain disiram dengan air.
Akhirnya Tsang To Hang ambil, bungkus, dibonceng ke Denpasar. Ada lagi di Tuka
itu anak kecil mati tidak boleh dikubur, Tsang To Hang bungkus bawa ke
Denpasar. Kesukaran yang dialami orang Kristen, padinya dirampas, kadang-kadang
air tidak dapat, dsbnya.
Tetapi orang Kristen tetap berdoa “Tuhan
ampuni saudara saya yang berbuat ini”. Itu yang membuat saya tertarik, mereka
dibegitukan kok tidak marah, padinya dirampas kok tidak marah, tidak dikasi
kubur juga tidak marah, tidak membalas. Akhirnya saya baca bukunya itu, saya
pelajari isinya tentang ajaran kasih sayang, kasih sesama manusia. Saya juga
baca tentang kisah seorang yang dijegal dijalan, lalu lewat seorang Parisi,
“Kamu lihat seorang yang terjegal itu tak ada yang mau menolong”. Kemudian
datang Samaria yang menolong.
Tsang
To Hang kapan datang ke sini ?
Tahun
30.
Siapa
yang mengajak kesini ?
Dia
sendiri datang.
Bagaimana
ia sampai disini, kenapa memilih Untal-Untal ?
Begini,
Tsang To Hang mula-mula sekolah di Singapura, sekolah alkitab, lalu Dr. Jaffray
ketua CMI di Kristen Cina lain yang ada, suatu hari datang berkunjung ke
Singaraja, di Singaraja ia melihat adanya buku-buku yang dijual saudara Salam
Watias, orang Jawa pada tahun 1928 kalau tidak salah. Dia jual, dia lihat
bukti-bukti lalu Jaffray berfikir, di Bali ini perlu diberikan Injil, tetapi
siapa yang akan mau menginjil kemari. Lalu ia pergi ke Singapura, disini ia
mengumumkan siapa yang mau pergi ke Bali ? Maka Tsang To Hang angkat tangan
“Saya siap ke Bali”. sekarang Jaffray
minta izin kepada pemerintah Belanda, tetapi pemerintah Belanda tidak semudah
itu memberikan izin, sebab sebelumnya pada abad 18-an ada seorang pendeta
terbunuh namanya Yakub de Vroom dari Singaraja. Lalu izin yang diberikan oleh
pemerintah kepada Tsang To Hang ini untuk orang Cina, bukan orang Bali.
Berdasarkan izin ini Tsang To Hang datang ke Bali pada tahun 1930.
Dimana
pertama-tama ia tinggal ?
Dia
pertama tinggal di Wangaya (Jalan Kartini, Denpasar) sekarang menginjili
orang-orang Cina. Ada beberapa orang Cina yang percaya. Diantara prang-orang
Cina yang percaya itu ada yang memiliki keluarga orang Bali. Lalu Tsang To Hang
disana bekerja, ada beberapa orang Cina yang percaya, ada juga sahabatnya,
penerjemahnya, yang namanya I Gusti Nyoman Renda. I Gusti Nyoman Renda memberitahukan
kepada seseorang di sini namanya I Made Risin. Diberitahukan bahwa ada seorang
guru pengajaran baru baik sekali dan Made Risin ini bertemu dengan Tsang To
Hang, kemudian Made Risin mengundang Tsang To Hang datang kemari. Namun sebelum
ia datang kemari, ia memberitahukan kepada gurunya, Pan Loting. Gurunya ini
tidak percaya sebelum mengetesnya. “Saya uji dia” kata Pan Loting seperti
cerita saya tadi.
Mana
lebih tua Tsang To Hang dengan Pan Loting ?
Lebih
tua Pan Loting.
Kamudian
di tes, dan kalah Pan Loting ?
Ya,
kalah Pan Loting.
Ceritanya Tsang To Hang sampai di Untal-Untal bagaimana Pak ?
Ya
begitu tadi, Gusti Nyoman Renda memberitahukan Made Risin dan Made Risin
memberitahukan gurunya, karena disini adalah perguruan dulunya, gurunya adalah
Pan Loting. Karena disini pusat persekutuan perguruan, maka dibawalah kesini,
karena banyak sekali pengikutnya disini, maka bertemulah mereka disini, di
Untal-Untal, tetapi yang pertama-tama berdiskusi adalah Pan Loting. Karena Pan
Loting kalah dalam mengetes itu, akhirnya ia menerima ajaran Tsang To Hang dan
menerapkannya kepada murid-muridnya yang berjumlah 12 orang.
Ingat
namanya Pak ?
Ada
dibuku ini.
Dimana
pertama-tama Tsang To Hang tinggal ?
Pertama-tama
mereka gunakan rumahnya Made Risin.
Menyewa
pak ?
Tidak,
karena perguruannya dulu itu disini.
Made
Risin itu waktu itu masih Hindu ?
Ya,
ia belajar dari Pan Loting, dan rumahnya itu dijadikan tempat persekutuan itu.
Itu tempat berkumpul/perkumpulan, bukan gereja,kebaktian, istilahnya berkumpul.
Disitulah Tsang To Hang bertindak sebagai guru mengajar.
Terus
bapak mengintip kesana ?
Ya,
saya mengintip, pindah kemari dia ke rumahnya Made Tiyem, yang disebelah utara
pura itu, saya mengintip ada apa ini ramai-ramai.....
Waktu
bapak mengintip itu sudah pindah ke rumah pak Tiyem ?
Sudah.
Pak
Tiyem masih Hindu waktu itu ?
Ya,
semua Hindu, ini khan 12 orang ini, ada
dari Buduk, ada dari Pelambingan berkumpul disini.
Jadi,
waktu dirumah Pak Risin bapak belum mengintip ?
Belum.
Tapi waktu di rumah Pak Risin ada nyanyi-nyanyi, saya datang kesana, saya
lihat, saya intip terus, karena itu saran bapak saya, supaya lihat dulu.
Waktu itu ayah bapak masih hidup ?
Ya,
masih Hindu, saya sering melihat apa yang diajarkan. Di rumah Made Risin
diajarkan menyanyi.
Sikap
Tsang To Hang terhadap anak-anak, bapak waktu itu khan masih kecil, bagaimana,
ramah tidak ?
Tsang
To Hang tidak tahu, kami sembunyi-sembunyi.
Tidak
berani pak ya ? Terus kalau bercakap-cakap dengan anak-anak ?
Tidak
pernah, Tsang To Hang tidak pernah bercakap-cakap dengan anak-anak. Tapi kita
biasa datang, ngintip apa yang diajarkan.
Katanya
bapak dulu memperoleh buku sehingga bapak tahu sedikit tentang Kristen siapa
yang memberi itu ?
Sebelumnya
sudah ada Kristen disini.
Siapa
yang bapak pinjami buku ?
Made
Risin, Made Risin memberikan saya buku.
Padahal
mereka khan baru saja memulai ?
Maka
itulah yang saya katakan dari tadi, setelah mereka berkembang, saya khan baru
tahun 1937 tahu Kristen, sedangkan mereka sudah datang tahun 1930.
Jadi
bapak dapat pinjam dari Made Risin, bapak saja yang dikasi pinjam atau
bagaimana ?
Orang
lain belum, sedikit bukunya itu.
Apa
nama bukunya ?
Injil
Lukas, bahasa Bali.
Tebal
tidak ?
Tidak.
Masih
punya ?
Tidak,
Perjanjian Anyar baru saya punya. Injil Lukas kemudian diganti dengan
Perjanjian Anyar.
Pertama
Injil Lukas pak ya ?
Ya,
Injil Lukas yang pertama saya baca, kemudian cerita 104.
Cerita
104 ini bahasa Bali Pak? Aksara Latin ?
Bahasa
Bali, aksara Bali juga.
Berapa
tebalnya ?
Tidak
tebal sekali.
Bapak
tidak punya sekarang masih ?
Kalau
104, Perjanjian Lawas namanya saya sudah tidak punya, tidak tahu siapa yang
ngambil. Tapi kalau yang Anyar, Tutur Seket kalih namanya, masih ada.
Injil
Lukas itu isinya, intinya apa pak ?
Ceritanya
Tuhan Yesus, cerita orang baik hati......
Cerita
Samaria juga ada ?
Ya.
Samaria juga ada.
Terus
yang 104 ada juga ?
Ada.
Apa
bedanya Injil Lukas dengan 104 ?
Cerita
104 itu singkatan cerita, ini berupa cerita, sedangkan Injil Lukas itu Injilnya.
Tapi
diringkas Injilnya begitu pak ya ?
Kalau
104 atau seket kalih itu cerita, tidak berayat-ayat, hanya cerita biasa.
Cerita
tentang apa pak 104 itu ?
Tentang Perjanjian Anyar, tentang Isa sampai dia
mati. Perjanjian Lawas, ya tentang kejadian dunia.
Pakai
tulisan Bali, berarti bapak pintar sekali nulis Bali ya ?
Saya
paling pintar waktu itu.....
Tapi
teman-teman bapak, ada yang bisa juga..?
Belum.
Bisa juga tapi tidak seperti saya.
Mudah-mudahan
ketemu bukunya pak ya....
Yang
Anyar ada pada saya, yang 104, nanti saya bisa berikan itu.
Injil
Lukas tidak bisa pak ya ?
Saya
cari nanti, tapi kalau tidak ada ya Yohanes....
Berarti
kejadian di rumah Made Risin saat pertama pertemuan antara Tsang To Hang dengan
Pan Loting, berarti terjadi pada tahun 30-an pak ? berarti pada waktu bapak masih
Hindu ?
Ya, masih belasan tahun waktu itu,
tapi sudah ngintip-ngintip, karena sudah dibekali “pengidep ati” oleh ayah saya, supaya menjadi orang yang ingat.
Terus
bapak sendiri pernah bicara dengan Tsang To Hang ?
Saya
memang orang yang dihargai oleh Tsang To Hang. Teman yang paling baiknya itu
saya.
Nah...sampai bapak berpindah ke
agama Kristen, itu dikarenakan hanya karena alasan bapak itu saja atau karena
bapak akan diberangkatkan ke Makassar?
Tidak itu, pertama memang karena
prinsip ya....., prinsip saya khan selalu diajarkan jalan keselamatan oleh
bapak saya. “Jadi belajarlah apang Ketut nepukin jalan ane melah” (Carilah ilmu
supaya kamu menemukan jalan yang baik). jadi saya belajar itu. Saya menemukan
kitab Injil, itu saya baca. Melihat juga orang-orang yang sudah menerima Injil
itu hidup rukun, dia disengsarakan tidak
takut, tidak melawan, sabar, dia punya padi dipotong tidak ngambek, kesabaran
orang-orang Kristen itu membuat saya tertarik.
Bapak melihat kesabaran mereka, atau
karena takut jumlah mereka terlalu kecil ?
Tidak,
kesabaran, walaupun diapakan mereka tidak membalas. Ini yang menarikhati saya.
Jadi saya mempelajari buku-buku, saya baca bukunya itu, selain Injil Lukas,
saya baca juga buku-buku lain, jadi lengkap alkitabnya saya baca.
Itu
semua dikasi gratis pak sama Risin ?
Ya,
waktu itu kita tidak ada beli apa-apa karena tidak ada uang untuk membeli.Ada
juga beberapa selebaran-selebaran lainnya. Jadi prinsipnya sebabnya saya
menjadi Kristen itu tidak diinjili orang lain, keluar dari hati saya sendiri
setelah melihat kerukunan orang Kristen, kesabaran orang Kristen, kasih sayang
orang Kristen suka menolong orang Kristen, sebab orang Kristen suka menolong...
Berarti
bapak mengingkari ajaran orang tua bapak sendiri ?
Ya
betul, tapi saya menganggap meningkatkan ajaran bapak saya begitu. Kalau dulu
orang tua saya mengatakan belajar kamu. Dulu saya merasa tingkatan agama saya
kelas dua, kelas tiga, sekarang saya tingkatkan. Bapak saya dulu mengajarkan
bahwa tubuhnmu penuh dengan dewa, jadi ajaran Tsang To Hang juga begitu,
“Tubuhmu adalah rumah Allah”, itu sama menurut saya waktu itu, karena orang tua
saya mendidik saya untuk selalu belajar dan saya sangat senang belajar. Jadi
saya diajarkan begitu oleh Tsang To Hang, tubuhmu adalah penuh dewa, semua ada
dewa.....
Tang
To Hang bilang dewa juga ?
Itu
belum Kristen, prinsip ajarannya seperti itu, dewa di dewek (tubuh sendiri), orang Bali khan bilang begitu......
Tapi
itu khan ayah bapak yang bilang begitu ?
Orang
tua saya bilang begitu, Tsang To Hang juga bilang begitu. Akhirnya Tsang To
Hang tingkatkan karena ia belajar di agama Kristen, jadi tubuh kita ini adalah
ka’bah Allah, Purin Ida Sang Hyang Widhi, begitu. Perlu pelihara ini Purin Ida
Sang Hyang Widhi, begitu dia. Nah itulah yang menarik saya, saya merasa ya
betul ini. Tidak boleh diri kita ini disiksa, harus dipelihara, karena ini
adalah ka’bah Allah. Jadi saya menjadi Kristen tidak ada yang menginjili, cuma
itu saja, melihat......
Terus
pada siapa bapak mengungkapkan keinginan bapak untuk berpindah ke Kristen ?
Dulu
disini ada gembala sidang oleh Made Risin.
Made
Risin lagi, padahal dulu yang mencari bapak I Gelendung ?
Gelendung
sudah tidak disini lagi, dia sudah di Makasar, hanya beberapa jam saja saya diajar, tetapi yang
meneruskan disini Made Risin.
Berarti
Gelendung sengaja mengajak bapak supaya ikut menulis ?
Ya
itu, dia meminta untuk menulis.
Berarti
yang menulis Injil Lukas itu bapak juga ?
Tidak.
Yang
bapak tulis itu apa ?
Nyanyian-nyanyian
kidung Bali. “Yening sareng kawi iraga mamayang...” itu...saya....
Apa
lagi, bisa dinyanyikan secara utuh salah satunya ?
Agak
lupa saya.....
♫ “Jagat
swecanin Hyang Widhi”
“Jagat swecanin Hyang Widhi”
“Kaswecanin.....kaswecanin....jagad kaswecanin”
“Ida micayang ring titiang”
“Ida micayang ring titiang”
“Mamicayang....mamicayang.....putra sane tunggal”
“Sira percaya ring ida”
“Sira percaya ring ida”
“Janten polih....janten polih....urip sane langgeng....”♫
Ini diajarkan oleh Tsang To Hang
supaya dinyanyikan.
Terus
berulang-ulang ?
Secara
berulang-ulang terus sampai dikuasai oleh semua orang, sampai saya sendiri yang
di luar dengar.
Keras-keras,
pak ya ?
O...keras-keras,
Tsang To Hang omongannya keras-keras, walaupun itu badil-badil (cadel-cadel) ya....tapi keras-keras.
Itu
bapak tulis-tulis ?
Itu
yang saya tulis, nyanyian-nyanyian itu saya tulis banyak.
Mereka
menyanyi bapak menulis begitu ?
O....tidak,
ada memang ada diberikan oleh Gelendung ini suatu teks.....
Berarti
menyalin pak ya ? Bukan menulis tetapi memperbanyak pak ya ?
Ya
betul. Memperbanyak nyanyian-nyanyian yang diwariskan Made Gelendung kepada Pan
Loting. Jadi Made Gelendung meminta saya menulis.
Pakai
pensil atau pulpen pak ?
Tidak.
Waktu itu tidak ada pensil, kita menggunakan pulpen yang celup itu, “pen”. Nah
itu yang dipakai waktu itu.
Di atas
meja pak ?
Di atas
meja.
Mejanya
siapa ?
Mejanya
saya, saya punya meja kecil dulu di rumah.
Jadi
pekerjaan itu bisa dibawa pulang ?
Di
bawa pulang. Jadi saya di rumah, ditugaskan oleh Made Gelendung menyalin Kidung
Bali, yang jumlah kidungnya semua 32, tapi judul kidungnya saya sudah lupa,
tidak ingat lagi. Dan sekarang masuk dalam kidung jemaat itu ada.
Sudah
dicetak ?
Sudah
dicetak.
Doanya
yang masih diingat yang satu itu tadi saja ?
Ada
satu lagi yang lain yang saya ingat....
“Anggon ja ngiring Yesus”
“Iraga ne membrat......”
Lupa saya..........
.
Apakah
mungkin tidak bapak saja yang disuruh menyalin pak ?
Tidak,
saya saja waktu itu. Waktu itu saya ini orang yang paling pintar. Satu Made
Gelendung, kedua saya.
Selisih
umur Made Gelendung dengan bapak berapa ?
Banyak itu, kira-kira 10 tahun.
Waktu bapak umur 17, dia sudah 27 ?
Sudah berkeluarga dia.
Bapak masih teruna seken (perjaka) pak ya ?
Truna, masih truna saya waktu itu.
Berarti ayah bapak masih ada waktu
itu ?
Waktu zaman nulisnya itu masih ada.
Beliau tidak pernah menengok apa
yang bapak kerjakan ?
Nggak, nggak pernah. Dia bebaskan
saya menulis waktu itu karena ia percaya Made Gelendung itu hubungannya baik
dengan dia. Ayah saya baik dengan Made Gelendung, jadi apa yang diberikan Made
Gelendung dia anggap baiklah.
Tapi
Made Gelendung khan sudah Kristen waktu itu, kanapa ayah bapak yang juga benci
sama Kristen mau...?
Mula-mula
dia benci sekali.
Tetapi
kenapa dia biarkan anaknya bergaul dengan orang Kristen ?
Ya,
mula-mula dia benci. Tapi itulah saya
katakan tadi setelah ia melihat orang-orang Kristen itu kok rukun, baik........
O....berarti
di akhir hayatnya ayah bapak pernah mengatakan Kristen itu baik ?
Bukan
mengatakan, tapi melihat Kristen itu baik.
Tidak
pernah berkata ?
Tidak
pernah berkata mengizinkan saya. Beliau cuma bilang boleh belajar.
Beliau
bilang begitu? kamu boleh belajar ?
Kamu
boleh belajar, apa yang diajarkan oleh Made Gelendung, apa yang dipelajari oleh
Gelendung belajarlah itu.
Oh....ayah
bapak bilang begitu ? Bahasa Bali gimana dia bilang pak ?
“Ne
Ketut ne, apa ja orine ento teken beline, beli Made Gelendung, tuutin ento, ya
nak ngerti ento, nak midep,” (Begitu Tut, apa saja yang diberi tahu oleh
kakakmu, kakak Made Gelendung, ikuti saja, dia inteleketual, yang mengerti), nah
begitu.
Beliau berarti mengizinkan bapak ?
Mengizinkan
saya. Sebelum dia meninggal dia bicara begitu, tapi saya belum menjadi Kristen
waktu orang tua saya meninggal.
Ibu
bapak khan masih hidup waktu itu ?
Masih
hidup.
Terus
apa dia bilang ?
Ibu
saya tidak apa-apa. Kemudian setelah bapak saya meninggal, tahun 1937 baru saya
percaya Tuhan Yesus, baru menunjukkan diri (bersambung)
No comments:
Post a Comment