Thursday, April 14, 2016

Kesabaran Orang-Orang Kristen Itu Membuat Saya Tertarik



 Nama Informan  : Pendeta Ketut Daniel (1)
Tempat Wawancara: Banjar Untal-Untal, Dalung, Badung  8 Februari 2001
Pewawancara : Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Transkriptor : Wahyuni, tim peneliti TSP
Korektor : Nyoman Wijaya, Ketua TSP

  
Bapak lahir tahun 1920, berarti sudah dewasa pada zaman Jepang dan bahkan zaman Belanda ?
Zaman Belanda sudah dewasa, dan sudah sekolah di Makasar.

SR,  Volkschool dimana ?
Di sini, di Sempidi, yang di tikungan itu.

Yang dekat pasar itu, khan berdiri tahun 1918 ya ?
Ya.

Bapak angkatan pertama ?
Tidak. Ada yang duluan.


Siapa saja yang sekolah disana dari Untal-Untal ini ?
Saya saja.

Dulu khan sekolah Belanda sampai kelas 5 ya ?
Ya, dan orang-orang yang sekolah setelah saya masuknya/sekolahnya ke Desa Kerobokan. Disana juga ada Vervolgschool. Dulu yang di Sempidi khan volkschool bukan Vervolgschool.

Berarti sampai kelas 3 ?
Ya. Setelah itu dilanjutkan ke Makasar.

Bapak sampai bisa sekolah berarti orang tua bapak mampu ya ?
Ndak, ndak mampu, tapi kami sekolah memang tekad, tekad sendiri, mau menjadi orang yang berharga. Orang tua tak punya apa-apa.

Tapi biaya sekolah khan dari orang tua ?
Tidak, tapi dari biaya sendiri. Ke Makasar juga dengan biaya sendiri.

Bapak minta uang ke Ibu, tidak ?
Tidak, saya berusaha sendiri. Begitulah tekad saya karena ingin maju, biaya sendiri.

Berarti bapak masuk usia 8 tahun ?
Ya.

Apa yang bisa bapak kerjakan mencari uang pada umur segitu ?
Waktu itu tidak ada biaya sekolah, makan di rumah, jadi tidak perlu biaya. Waktu itu saya dianggap pintar, jadi saya bantu teman-teman belajar, saya dikasi uang.

Bapak pergi dengan jalan kaki sampai Sempidi ?
Ya, tapi dulu itu tidak jauh.

Pakai sepatu ?
Nggak dulu tidak ada pakai sepatu. Kita masih pakai celana pendek.

Dari sini cuma bapak sendiri ?
Ya. Tapi dari Gaji banyak, kita bertemu disini dan jalan bareng-bareng sampai Sempidi.

Berarti di Untal-Untal belum ada sekolah ya ?
Belum.

Untal-Untal ini desa atau banjar ?
Banjar. Banjar Untal-Untal termasuk dalam desa Dalung.

Siapa Kelian waktu itu ?
Pan Wiri.

Bapak bukan anak kelian banjar ya ?
Bukan.

Orang tua bapak petani ?
Pemangku (pelaksana upcara di tingkat pura) disini.

Pemangku di pura mana pak ?
Pura Daja, namanya.

Seumur hidup jadi pemangku pak ?
Ya. Dulu saya disiapkan jadi pemangku, tetapi beliau meninggal, tak tahu ya....saya menerima Yesus, tahun 37.

Lingkungan sebelumnya bagaimana pak ? Siapa cikal bakal pertama Kristen disini ?
Yang pertama disini namanya Made Gelendung. Dia orang yang intelek waktu itu. Made Gelendung orang asli sini. Kemudian yang tua-tua ada I Greda.

Jadi, I Greda lebih senior ya ?
Ya.

I Gelendung itu waktu bapak masih kecil sudah berkeluarga pak ?
Ya. Sudah berkeluarga.

Kalau Greda ?
Sudah kakek-kakek. Setelah Greda ada Gereg.

Gereg itu lebih tua atau lebih muda ?
Lebih tua dari Greda.

Masih ada keturunannya di Untal-Untal ?
Ya, ada.

Bapak tahun 1937 pindah agama, bagaimana prosesnya ?
Bapak saya pemangku, jadi saya dididik secara Bali. Tiap-tiap malam mau tidur diberikan dongeng-dongeng, cerita-cerita tentang sorga dan neraka. Cerita-cerita mereka diambil dari cerita-cerita yang namanya cerita Gagakturas dan Japatuan. Jadi saya dididik oleh orang tua saya dan disiapkan jadi pemangku. Tapi tak tahu ya saya bisa jadi Kristen.

Bila bapak sekolah umur 8 tahun, berarti berarti saat itu bapak sudah sekolah di Volkschool ya ?
Waktu Kristen masuk ke Untal-Untal, saya sudah hampir usia 11 tahun.

Setelah 3 tahun disana, setelah dari Voorvoledge School bapak langsung ke Makassar?
Ke Lombok satu tahun.

Tahun 32 kira-kira pak ya ?
 Saya disini sampai tahun 1937, tahun 1937 saya menerima Kristus, kemudian tahun 38 saya ke Lombok.

Bisa bapak ceritakan apa yang bapak lakukan dari tahun 1928 sampai sebelum 1937?
Biasa saja.

Pendidikan bapak ?
Pendidikan sampai di Vervolgdchool (kelas V) saja. Tapi kemudian dilanjutkan ke Makasar sekolah Theologia.

Berarti kapan bapak ke Makassar ?
Tahun 1938 setelah ke Lombok. Di sana belajar Theologia dan tambahan dari Vervolghschool.

Jadi dari tahun 1920-1937 sepenuhnya bapak ada di Untal-Untal ?
Ya.

Saya tertarik pada saat bapak remaja, tahun 1920-37. Saat itu bapak sebagai rakyat biasa, apa hoby bapak waktu itu ?
Saya sebagai petani, dan juga memiliki kesenangan menyanyi.

Apa bapak pernah menyalurkan hoby bapak tersebut, misalnya ada kelompok atau group menyanyi ?
Waktu itu belum ada, tetapi sampai saat ini hoby saya itu masih nyata.

Waktu bapak belum masuk Kristen dan sampai bapak berusia 17 tahun di Untal-Untal kemana saja bapak pernah pergi waktu itu ?
Waktu belum masuk Kristen saya tidak pernah kemana-mana. Orang-orang di Untal-Untal tidak ada yang keluar, cuma saja saya waktu itu.

Jadi waktu belum masuk Kristen tidak pernah kemana-mana ya ?
Ya, tak pernah hanya bertani disini.

Orang tua bapak punya tanah ?
Punya ½ hektar.

Digarap beberapa orang ?
Kakak saya, saya sendiri, dan 2 adik-adik saya. Jadi saya mengolah tanah untuk menghidupi diri dan adik-adik saya yang kecil-kecil.

Jadi pekerjaan bapak tiap hari bangun, ke sawah?
Ya.

Jam berapa bapak ke sawah dan sampai jam berapa di sawah ?
Saya bangun pagi sekali. Dari pagi jam 4 sampai jam 10.

Waktu ke sawah sudah sarapan waktu itu ?
Belum, sepulang dari sawah baru makan. Dulu tidak kenal yang namanya sarapan.

Tidak ada yang bawakan makanan ke sawah ?
Tidak, kami pergi sekeluarga.

Itu memang tugas bapak ?
Ya. Karena saya ngempu (mengasuh) 2 adik saya jadi saya harus kerja keras.

Bapak anak pertama ?
Tidak. Saya Ketut ini. Ada kakak-kakak saya, tapi sudah kawin dan tinggal di luar. Kakak laki-laki saya juga sudah menikah dan tinggal di luar. Saya yang tinggal di rumah dan ngempu adik-adik saya dan harus kerja keras. Petani di sini memang berat sekali. Airnya sukar. Kami mencari air malam-malam, jaga di sawah untuk membasahi sawah, pagi-pagi kerja lagi, itu yang membuat saya berfikir bagaimana caranya lepas dari kesukaran ini.
Untal-Untal dulu sangat menakutkan, rimbun, gelap, bapak tidak takut pagi-pagi pergi ke sawah ?
Karena saya sudah dibekali, diajari orang tua, karena bapak saya pemangku, saya sering diajak semedi malam-malam, dengan bekal itu tidak takut saya.

Bekal itu apa maksudnya ?
Pelajaran-pelajaran tidak boleh takut.

Bagaimana ajaran itu ?
Malam-malam waktu sebelum tidur diceritakan bahwa kamu tidak perlu takut karena dewa kita dewa sakti, dan waktu itu saya masih sangat taat pada dewa, “Dewa yang akan menjaga kamu jadi tidak usah takut..

Dewa  yang dimaksud ?
Dewa leluhur saya.

Jadi tiap hari diajarkan ?
Ya begitulah. Kamu ini sebenarnya sudah ada yang menjaga, dewamu, leluhurmu, jadi tidak ada rasa takut kalau bangun subuh dan sampai saat saya besar sekarang ini tidak pernah melihat hal-hal yang menakutkan. Kalau yang lain adik-adik saya banyak yang melihat disini, di tempat saya ini angker, tetapi saya tidak pernah melihat.

Dari kecil benar bapak tidak pernah takut ?
Ya. Karena dari kecil sudah diajarkan oleh orang tua, tidak usah takut, ada yang menjaga kamu, itu istilahnya dia.

Waktu bapak sudah sekolah diberitahukan atau waktu masih kecil ?
Waktu masih kecil, dengan dongeng-dongeng itu, yang paling banyak cerita-cerita wayang itu, seperti Panca Pandawa yang banyak mengandung filsafat-filsafat yang pada waktu itu saya tidak mengerti, tetapi ternyata mempunyai nilai filsafat yang mendalam.

Di antara ibu/bapak, mana yang paling sering memberikan dongeng ?
Bapak saya. Setiap ada wayang ia selalu menonton wayang, dan saya diajak. Kalau tidak diajak, saya berontak, bangun malam-malam. Dan bapak saya selalu mengajak karena beliau selalu mengajarkan untuk belajar dari cerita wayang tersebut.

Dimana biasanya pertunjukan wayang itu ?
Di Untal-Untal di bale banjar, di Dalung juga di bale banjar, di Gaji juga, dan ayah saya selalu mengajak saya menonton. Saya anak yang satu-satunya disayangi dan disiapkan, maka selalu diajak menonton.

Kalau sudah sore, gelap, dulu anak-anak disini apa permainan yang disenangi ?
Ya dulu senang main bola-bola itu, dari kupas ya....

Bapak banyak punya teman ?
Banyak.

Suka bergaul ?
Ya saya senang bergaul dan saya paling terkenal suka bergaul pada waktu itu.

Kalau bapak bedanya dengan teman-teman tak pernah takut angker ya ?
Ya, tidak pernah takut saya, karena tidak pernah diganggu.

Dulu di Untal-Untal tempat mana yang dianggap paling angker pak ?
Di sini (menunjuk pada area rumahnya), dulu di sini angker, dulu pekarangan ini ditumbuhi ilalang, di depan ada pohon kepuh dan waru, kalau orang pulang malam-malam seringkali tidak bisa masuk kesini, mereka lewat belakang, karena disini sering dilihat orang besar, api besar. Dan justru waktu itu saya ingin bikin rumah disini, karena saya tidak merasakan apa-apa.

Waktu kecil main di sungai mana pak ?  
Di sungai Dalung, di bawah sana.

Di sana tenget (angker) pak ?
Ya, katanya di pura Sempuh itu tenget tapi saya tak merasakan apa-apa ?

Waktu bapak belum masuk Kristen, kalau hari raya, bapak biasa sembahyang ke pura ?
Biasa, rajin saya.

Termasuk Purnama/Tilem ?
Tidak, cuma hari raya Galungan/Kuningan.

Dimana sembahyang ?
Di pura dan di sanggah (kuil keluarga) saya.

Kalau sembahyang, sama seperti orang Bali, termasuk cara-cara dan mantra-mantranya ?
Dulu beda dengan sekarang, kalau sekarang khan mantra diajarkan, tetapi dulu tidak diajarkan, cukup mik-mik saja sedikit !

Dulu bapak apa kemik-kemik (bisik-bisik)-nya ?
Ya.....”Ratu Betara suryaning titiang, tiang mangkin jagi mamargi.” (Ya para dewa. Lindungi saya, saya akan bepergian)

Jadi kalau bapak bepergian selalu berdoa ?
Ya, cukup Ratu Betara suryaning titiang, itu saja diajarkan dan saya yakin betara melindungi saya.


Berarti pada hari raya saja sembahyang ?
Tidak, ayah saya mengajarkan tiap hari, tiap sore sembahyang. Itu saran ayah saya.

Bapak ikuti saran itu ?
Ya, saya ikuti saran itu dengan taat.

Selain disuruh sembahyang, diajari apa lagi, apa diberikan ilmu-ilmu ?
Ayah saya tidak pernah mengajarkan ilmu, dan ayah saya sangat benci ilmu-ilmu itu. Beliau mengatakan bahwa ditubuhmu sudah penuh dengan dewa. Tapi saya tidak mengerti dewa apa itu, di kepala ada dewa, di hidung ada dewa, dewek (tubuh sendiri) itu adalah dewa. Ditubuhmu sebenarnya sudah banyak dewa, saya sudah lupa di darah ada dewa apa namanya, semua ada dewanya sendiri-sendiri, dan waktu itu saya sangat yakin, dan tak pernah merasakan takut.

Apa bapak tidak menularkan ilmu itu kepada teman-teman bapak ?
Tidak, saya hanya gunakan sendiri. Saya tidak pernah beritahukan orang lain, salah pikiran saya waktu itu.

Orang lain apa tidak ada yang belajar dari orang tua bapak ?
Ada, itu Made Gelendung yang saya sebutkan tadi. Dia sangat baik dengan ayah saya.

Sudah ada kontak waktu itu? Sudah Kristen ?
Sebelum masuk Kristen dia punya hubungan baik dengan ayah saya. Sesudah dia masuk Kristen dia satu-satunya orang yang pintar disini, dia menjabat menjadi seorang punggawa waktu itu, dia pintar sekali, dan dia melihat saya sebagai orang yang berbobot untuk dia, orang yang pintar. Sekarang bagaimana mengambil hati orang tua saya supaya saya dibebaskan orang tua saya. Dia bicara begini :
            “Bapa, ne Ketut dueg gati nulis Bali, kenken bet pa?” (Bapak, Si Ketut pintar sekali menulis aksara Bali, dibagaimanakan sebaiknya dia)
            “Ye, Made ento, yen Made ngelahang adine, kenken je awak baan ngitungang.” (Ya, Made, karena kamu yang memiliki Si Ketut, terserah kamu saja yang memikirkanny)
            “Yen keto kel orin tiang nulis Bali nah pa nah?” (Kalau demikian, saya akan suruh dia kerja menulis aksara Bali ta)
            “Nah......tunden ba ya nulis.” (Ya, silakan, suruh saja dia menulis.
            Itu sebenarnya awalnya bagaimana mulanya saya mengenal bagaimana orang Kristen. Kalau bapak saya mengajarkan waktu pertama Kristen masuk di Untal-Untal mengatakan begini : “Itu orang Kristen apa itu, meninggalkan dewa, tidak bisa itu !”.

Ayah bapak mengatakan begitu, bapak mendengar sendiri ?
Ayah saya mengajarkan bagaimana kekristenan itu, “Apa itu Kristen, jahat, meninggalkan dewa, meninggalkan leluhur, hukum di surga  teken (oleh) dewa Cokor Manik dan Sang Suratma. Di hukum ento, tawang Tut (kamu tahu artinya dihukum?” begitu katanya. Pada waktu itu pertama kali Kristen masuk ke Bali. Waktu itu saya diajak bersemedi di pura sini, di pura Gede Balian, Dewa Gede Poleng, diajarkan disini. “Ketut de nuutin ento nyen ! Wireh apa krana, yen iraga ngutang dewa, yen buin pidan iraga mati, hukum ditu teken Sang Suratma, suba metulis ento kelakuan raga nu idup, disubane raga mati, Sang Cokor Manik lakar ngajak ngaba ke neraka.”  (Kamu tidak boleh mengikuti orang-orang Kristen itu, karena kalau kamu meninggalkan para dewamu, nanti kalau kamu sudah meninggal, di situ kamu akan di hukum oleh  Sang Cokor Manik (dewa penjaga alam sorga), yang akan mengajak kamu ke neraka).
                        Sangat mantap sekali waktu itu dalam hati saya. Saya simpan dalam hati saya, saya sangat senang sekali. Pada waktu Kristen masuk di sini, saya senang ngintip-ngintip Si Tsang To Hang mengajari nyanyi. Jadi Tsang To Hang masuk ke sini, saya mengintip apa yang diajarkan. Yang diajarkan waktu itu adalah menyanyi, karena dia tahu orang-orang Bali itu suka menyanyi.
                        Saya mulai ceritakan waktu Kristen mulai masuk disini. Dulu disini di Untal-Untal sangat banyak orang belajar bagaimana mengalahkan bhuta kala (roh-roh jahat), leak (makhluk jadi-jadian). Mereka menganggap leak itu jahat, mereka belajar di sini, mereka belajar bagaimana mereka bisa menghadapi leak. Nah banyak orang mencari ilmu ke Baha untuk mencari ilmu, sabuk poleng (jimat) ke Baha (Mengwi, Gulingan). Dan ada kelompok lain yang tidak menyukai itu, dan mempelajari ilmu putih, karena kita mengenal ilmu hitam dan putih. Yang menjadi guru waktu itu Pan Loting yang dari Buduk. Yang diajarkan disini bagaimana menghadapi leak.

Pan Loting belum Kristen waktu itu ?
Belum. Ia menjadi guru disini, mengajarkan kebathinan, mengajarkan masyarakat dan orang-orang tua disini. Dan orang-orang disini taat sekali karena Pan Loting sangat pintar bermantra. Walaupun  mereka sudah mencari ilmu untuk menghadapi leak, tetapi mereka tetap kalah. Kemudian mereka dengar ada orang Cina datang, Tsang To Hang datang, dia bisa mengajarkan ilmu mengalahkan leak, dan Tsang To Hang diperkenalkan oleh I Made Risin kepada Pan Loting. “Ah tidak bisa itu, tidak ada yang melebihi ilmu saya.” kata Pan Loting. “Baik, suruh datang kepada saya, saya mau coba”.
            Kemudian datang Tsang To Hang dan Pan Loting mulai mencoba dengan mantra. Dia ucapkan, mantra patah lidah, supaya  bisu, tetapi Tsang To Hang tetap bisa ngomong. “Kita orang tak berdosa, tidak usah takut ha..., Tuhan Yesus tolong kita.” Dicoba sekali lagi, dibutakan, dibuat jadi buta, tapi masih melek dia. Pan Loting marah sekali, “Saya kasi racun dia !”. Dikasi racun, minum, tak apa-apa juga dia Tsang To Hang ini. Oleh sebab itu Pan Loting mengajarkan kepada muridnya, ada 12 murid di sini, diajarkan bahwa memang betul Tsang To Hang ini orang sakti, istilahnya sakti, tak mempan dikasi mantra untuk bisu, untuk buta dan bahkan saya kasi racun tidak mati, itu kata Pan Loting. Dia cerita pada waktu itu, waktu saya sudah besar disini.


Waktu itu Pan Loting sudah Kristen ?
Ya sudah. Saya lanjutkan lagi cerita itu. “Jadi saudara-saudara semua, kita harus belajar kepada Tsang To Hang, dia ini orang sakti, bisa mengalahkan leak, bisa mengalahkan racun, magic itu, mari ikut saya”. Terus bagaimana Tsang To Hang menerapkan ajarannya ? Nah ini lagi, Tsang To Hang menerapkan ajarannya, dia juga mempelajari ilmu jiwa barangkali, sebab saya ngintip terus, ngajar apa orang ini, ngajar nyanyi-nyanyi lagi. Nyanyiannya bukan nyanyian Sinom, nyanyi lain ini, waktu itu diajarkan begini : “La ida, la ida Hyang Yesus,” itu. Dia ajarkan bahasa itu, dia mengajarkan orang-orang disini, tulisannya, tulisan Bali, bahasanya bahasa Indonesia. Kemudian saya lempar dengan kerikil, dan lari lagi, sebab saya tak senang melihat dia mengajarkan itu. Tetapi orang-orang semangat belajar,  terus belajar.
                        Tiap malam mereka belajar, diajarkan tidak usah takut gelap, sebab kuasa Yesus mengalahkan gelap. Saya tidak senang itu, saya lempar lagi. Waktu itu umur saya sudah belasan tahun, jadi saya tidak senang seperti apa yang diajarkan oleh bapak saya, jadi saya anti itu. Sudah itu, makin banyak berkembang, makin banyak orang disini, orang Kristen disini makin banyak, ajaran mereka ditekankan sedemikian rupa, dia katakan : “Kita sekarang menjadi murid-murid Nabi Isa, bukan Yesus, jadi Tuhan Isa, Isa Almasih. Jadi saudara-saudara tahu ya !” kata Pan Loting. Isa artinya isi, isi masehi itu meseh. Jadi disini berarti Tsang To Hang mengajarkan kepada kita, isi meseh  itu berganti. Jadi ajaran kita sekarang berganti. Kita sekarang berganti ajaran Tsang To Hang ini.
                        Apa yang diajarkan Tsang To Hang, Tsang To Hang mengajarkan ada Allah katanya, yang menjadikan dunia ini, karena Allah yang menjadikan manusia, memberikan suatu korban, caru, jadi kita tak perlu mecaru lagi, itu kata  Tsang To Hang. Karena Allah sudah memberikan suatu caru, ialah putranya, Tuhan Isa. Cara-cara Tsang To Hang menerapkan ajarannya itu adalah bercerita dan bernyanyi, sehingga orang-orang itu hafal ceritanya itu dengan menyanyi. Makin hari mereka semakin mantap.
                        Saya itu selalu berfikir, umur saya sudah  makin bertambah hingga usia 15 tahun sampai 17 tahun, bapak saya itu dicari oleh Made Gelendung, dan berkata : “Pa, Ketut ne nak dueg pesan nulis, baang nulis Bali nah?!” “Oh... nah ! men Made perlu, baang suba ya nulis Bali.”  Waktu itu saya menulis tulis Bali nyanyian-nyanyian itu, nyanyian-nyanyian Kristen, yening sarag kawi, de takut geguritan, satua, sampai beberapa puluh satua, bahkan ratusan saya tulis itu. Dalam menulis nyanyian-nyanyian itu pun orang lain yang menyanyi dan saya yang menulis.
                        Saya berfikir, mereka jadi pintar, tapi saya kok nggak pintar ? Mereka baca bukunya, tengah malam belajar, orang-orang Kristen itu kok bisa tekun ? Itu menarik sekali, bapak saya sudah tua, sudah hampir-hampir mati, tahun 37 dia meninggal. Setelah saya baca, kok ajaran Tsang To Hang ini baik, sabar, dharma. Saya baca-baca temukan cerita-cerita yang baik tentang dharma. Kemudian setelah bapak saya meninggal saya ambil keputusan ternyata ajaran Tsang To Hang ini baik, sebab saya lihat orang-orang Kristen waktu itu rukun sekali, tidak ada yang terlalu miskin, terlalu kaya, mereka bagi-bagi bersama-sama, keutuhannya itu saya tertarik, apa rahasianya ?
                        Waktu itu sudah terjadi beberapa masalah di antara orang-orang Kristen. Masalah yang timbul bukan karena apa, kesalahan orang Kristen begini, orang Kristen dibujuk-bujuk begini : “Apa benar Tuhan Allahmu itu sakti ?  Berani nguug sanggah (membongkar kuil keluarga)? Berani bongkar sanggah ?” Maka timbullah perasaan tidak enak dikalangan kelompok saya waktu itu. Dan saya melihat sendiri, setiap orang percaya pasti bongkar sanggah. Karena diuji kalau benar dewamu akti, bongkar sanggah. Jadi dengan demikian terjadilah kebiasaan bongkar sanggah, akhirnya tidak perlu lagi terjadi itu, akhirnya terjadilah ketegangan-ketegangan antara orang Bali dengan orang Kristen itu, pada tahun 1936-1937. Orang Kristen sawahnya tidak dikasi air, orang mati tidak dikasi kubur.
                        Ada satu kejadian orang mati di Pelambingan sana, ada orang mati tidak dikasi kubur, mayatnya dibakar oleh agama Kristen, datang saudara-saudara yang lain disiram dengan air. Akhirnya Tsang To Hang ambil, bungkus, dibonceng ke Denpasar. Ada lagi di Tuka itu anak kecil mati tidak boleh dikubur, Tsang To Hang bungkus bawa ke Denpasar. Kesukaran yang dialami orang Kristen, padinya dirampas, kadang-kadang air tidak dapat, dsbnya.
                         Tetapi orang Kristen tetap berdoa “Tuhan ampuni saudara saya yang berbuat ini”. Itu yang membuat saya tertarik, mereka dibegitukan kok tidak marah, padinya dirampas kok tidak marah, tidak dikasi kubur juga tidak marah, tidak membalas. Akhirnya saya baca bukunya itu, saya pelajari isinya tentang ajaran kasih sayang, kasih sesama manusia. Saya juga baca tentang kisah seorang yang dijegal dijalan, lalu lewat seorang Parisi, “Kamu lihat seorang yang terjegal itu tak ada yang mau menolong”. Kemudian datang Samaria yang menolong.

Tsang To Hang kapan datang ke sini ?
Tahun 30.

Siapa yang mengajak kesini ?
Dia sendiri datang.

Bagaimana ia sampai disini, kenapa memilih Untal-Untal ?
Begini, Tsang To Hang mula-mula sekolah di Singapura, sekolah alkitab, lalu Dr. Jaffray ketua CMI di Kristen Cina lain yang ada, suatu hari datang berkunjung ke Singaraja, di Singaraja ia melihat adanya buku-buku yang dijual saudara Salam Watias, orang Jawa pada tahun 1928 kalau tidak salah. Dia jual, dia lihat bukti-bukti lalu Jaffray berfikir, di Bali ini perlu diberikan Injil, tetapi siapa yang akan mau menginjil kemari. Lalu ia pergi ke Singapura, disini ia mengumumkan siapa yang mau pergi ke Bali ? Maka Tsang To Hang angkat tangan “Saya  siap ke Bali”. sekarang Jaffray minta izin kepada pemerintah Belanda, tetapi pemerintah Belanda tidak semudah itu memberikan izin, sebab sebelumnya pada abad 18-an ada seorang pendeta terbunuh namanya Yakub de Vroom dari Singaraja. Lalu izin yang diberikan oleh pemerintah kepada Tsang To Hang ini untuk orang Cina, bukan orang Bali. Berdasarkan izin ini Tsang To Hang datang ke Bali pada tahun 1930.

Dimana pertama-tama ia tinggal ?
Dia pertama tinggal di Wangaya (Jalan Kartini, Denpasar) sekarang menginjili orang-orang Cina. Ada beberapa orang Cina yang percaya. Diantara prang-orang Cina yang percaya itu ada yang memiliki keluarga orang Bali. Lalu Tsang To Hang disana bekerja, ada beberapa orang Cina yang percaya, ada juga sahabatnya, penerjemahnya, yang namanya I Gusti Nyoman Renda. I Gusti Nyoman Renda memberitahukan kepada seseorang di sini namanya I Made Risin. Diberitahukan bahwa ada seorang guru pengajaran baru baik sekali dan Made Risin ini bertemu dengan Tsang To Hang, kemudian Made Risin mengundang Tsang To Hang datang kemari. Namun sebelum ia datang kemari, ia memberitahukan kepada gurunya, Pan Loting. Gurunya ini tidak percaya sebelum mengetesnya. “Saya uji dia” kata Pan Loting seperti cerita saya tadi.

Mana lebih tua Tsang To Hang dengan Pan Loting ?
Lebih tua Pan Loting.

Kamudian di tes, dan kalah Pan Loting ?
Ya, kalah Pan Loting.

Ceritanya Tsang To Hang  sampai di Untal-Untal bagaimana Pak ?
Ya begitu tadi, Gusti Nyoman Renda memberitahukan Made Risin dan Made Risin memberitahukan gurunya, karena disini adalah perguruan dulunya, gurunya adalah Pan Loting. Karena disini pusat persekutuan perguruan, maka dibawalah kesini, karena banyak sekali pengikutnya disini, maka bertemulah mereka disini, di Untal-Untal, tetapi yang pertama-tama berdiskusi adalah Pan Loting. Karena Pan Loting kalah dalam mengetes itu, akhirnya ia menerima ajaran Tsang To Hang dan menerapkannya kepada murid-muridnya yang berjumlah 12 orang.

Ingat namanya Pak ?
Ada dibuku ini.

Dimana pertama-tama Tsang To Hang tinggal ?
Pertama-tama mereka gunakan rumahnya Made Risin.

Menyewa pak ?
Tidak, karena perguruannya dulu itu disini.




Made Risin itu waktu itu masih Hindu ?
Ya, ia belajar dari Pan Loting, dan rumahnya itu dijadikan tempat persekutuan itu. Itu tempat berkumpul/perkumpulan, bukan gereja,kebaktian, istilahnya berkumpul. Disitulah Tsang To Hang bertindak sebagai guru mengajar.

Terus bapak mengintip kesana ?
Ya, saya mengintip, pindah kemari dia ke rumahnya Made Tiyem, yang disebelah utara pura itu, saya mengintip ada apa ini ramai-ramai.....

Waktu bapak mengintip itu sudah pindah ke rumah pak Tiyem ?
Sudah.

Pak Tiyem masih Hindu waktu itu ?
Ya, semua Hindu, ini khan 12  orang ini, ada dari Buduk, ada dari Pelambingan berkumpul disini.

Jadi, waktu dirumah Pak Risin bapak belum mengintip ?
Belum. Tapi waktu di rumah Pak Risin ada nyanyi-nyanyi, saya datang kesana, saya lihat, saya intip terus, karena itu saran bapak saya, supaya lihat dulu.

Waktu itu ayah bapak masih hidup ?
Ya, masih Hindu, saya sering melihat apa yang diajarkan. Di rumah Made Risin diajarkan menyanyi.

Sikap Tsang To Hang terhadap anak-anak, bapak waktu itu khan masih kecil, bagaimana, ramah tidak ?
Tsang To Hang tidak tahu, kami sembunyi-sembunyi.

Tidak berani pak ya ? Terus kalau bercakap-cakap dengan anak-anak ?
Tidak pernah, Tsang To Hang tidak pernah bercakap-cakap dengan anak-anak. Tapi kita biasa datang, ngintip apa yang diajarkan.

Katanya bapak dulu memperoleh buku sehingga bapak tahu sedikit tentang Kristen siapa yang memberi itu ?
Sebelumnya sudah ada Kristen disini.

Siapa yang bapak pinjami buku ?
Made Risin, Made Risin memberikan saya buku.

Padahal mereka khan baru saja memulai ?
Maka itulah yang saya katakan dari tadi, setelah mereka berkembang, saya khan baru tahun 1937 tahu Kristen, sedangkan mereka sudah datang tahun 1930.

Jadi bapak dapat pinjam dari Made Risin, bapak saja yang dikasi pinjam atau bagaimana ?
Orang lain belum, sedikit bukunya itu.

Apa nama bukunya ?
Injil Lukas, bahasa Bali.

Tebal tidak ?
Tidak.

Masih punya ?
Tidak, Perjanjian Anyar baru saya punya. Injil Lukas kemudian diganti dengan Perjanjian Anyar.

Pertama Injil Lukas pak ya ?
Ya, Injil Lukas yang pertama saya baca, kemudian cerita 104.

Cerita 104 ini bahasa Bali Pak? Aksara Latin ?
Bahasa Bali, aksara Bali juga.

Berapa tebalnya ?
Tidak tebal sekali.

Bapak tidak punya sekarang masih ?
Kalau 104, Perjanjian Lawas namanya saya sudah tidak punya, tidak tahu siapa yang ngambil. Tapi kalau yang Anyar, Tutur Seket kalih namanya, masih ada.

Injil Lukas itu isinya, intinya apa pak ?
Ceritanya Tuhan Yesus, cerita orang baik hati......

Cerita Samaria juga ada ?
Ya. Samaria juga ada.

Terus yang 104 ada juga ?
Ada.

Apa bedanya Injil Lukas dengan 104 ?
Cerita 104 itu singkatan cerita, ini berupa cerita, sedangkan Injil Lukas itu  Injilnya.

Tapi diringkas Injilnya begitu pak ya ?
Kalau 104 atau seket kalih itu cerita, tidak berayat-ayat, hanya cerita biasa.

Cerita tentang apa pak 104 itu ?
Tentang  Perjanjian Anyar, tentang Isa sampai dia mati. Perjanjian Lawas, ya tentang kejadian dunia.

Pakai tulisan Bali, berarti bapak pintar sekali nulis Bali ya ?
Saya paling pintar waktu itu.....


Tapi teman-teman bapak, ada yang bisa juga..?
Belum. Bisa juga tapi tidak seperti saya.

Mudah-mudahan ketemu bukunya pak ya....
Yang Anyar ada pada saya, yang 104, nanti saya bisa berikan itu.

Injil Lukas tidak bisa pak ya ?
Saya cari nanti, tapi kalau tidak ada ya Yohanes....

Berarti kejadian di rumah Made Risin saat pertama pertemuan antara Tsang To Hang dengan Pan Loting, berarti terjadi pada tahun 30-an pak ? berarti pada waktu bapak masih Hindu ?
Ya, masih belasan tahun waktu itu, tapi sudah ngintip-ngintip, karena sudah dibekali “pengidep ati” oleh ayah saya, supaya menjadi orang yang ingat.

Terus bapak sendiri pernah bicara dengan Tsang To Hang ?
Saya memang orang yang dihargai oleh Tsang To Hang. Teman yang paling baiknya itu saya.

Nah...sampai bapak berpindah ke agama Kristen, itu dikarenakan hanya karena alasan bapak itu saja atau karena bapak akan diberangkatkan ke Makassar?
Tidak itu, pertama memang karena prinsip ya....., prinsip saya khan selalu diajarkan jalan keselamatan oleh bapak saya. “Jadi belajarlah apang Ketut nepukin jalan ane melah” (Carilah ilmu supaya kamu menemukan jalan yang baik). jadi saya belajar itu. Saya menemukan kitab Injil, itu saya baca. Melihat juga orang-orang yang sudah menerima Injil itu hidup rukun,  dia disengsarakan tidak takut, tidak melawan, sabar, dia punya padi dipotong tidak ngambek, kesabaran orang-orang Kristen itu membuat saya tertarik.

Bapak melihat kesabaran mereka, atau karena takut jumlah mereka terlalu kecil ?
Tidak, kesabaran, walaupun diapakan mereka tidak membalas. Ini yang menarikhati saya. Jadi saya mempelajari buku-buku, saya baca bukunya itu, selain Injil Lukas, saya baca juga buku-buku lain, jadi lengkap alkitabnya saya baca.

Itu semua dikasi gratis pak sama Risin ?
Ya, waktu itu kita tidak ada beli apa-apa karena tidak ada uang untuk membeli.Ada juga beberapa selebaran-selebaran lainnya. Jadi prinsipnya sebabnya saya menjadi Kristen itu tidak diinjili orang lain, keluar dari hati saya sendiri setelah melihat kerukunan orang Kristen, kesabaran orang Kristen, kasih sayang orang Kristen suka menolong orang Kristen, sebab orang Kristen suka menolong...

Berarti bapak mengingkari ajaran orang tua bapak sendiri ?
Ya betul, tapi saya menganggap meningkatkan ajaran bapak saya begitu. Kalau dulu orang tua saya mengatakan belajar kamu. Dulu saya merasa tingkatan agama saya kelas dua, kelas tiga, sekarang saya tingkatkan. Bapak saya dulu mengajarkan bahwa tubuhnmu penuh dengan dewa, jadi ajaran Tsang To Hang juga begitu, “Tubuhmu adalah rumah Allah”, itu sama menurut saya waktu itu, karena orang tua saya mendidik saya untuk selalu belajar dan saya sangat senang belajar. Jadi saya diajarkan begitu oleh Tsang To Hang, tubuhmu adalah penuh dewa, semua ada dewa.....

Tang To Hang bilang dewa juga ?
Itu belum Kristen, prinsip ajarannya seperti itu, dewa di dewek (tubuh sendiri), orang Bali khan bilang begitu......

Tapi itu khan ayah bapak yang bilang begitu ?
Orang tua saya bilang begitu, Tsang To Hang juga bilang begitu. Akhirnya Tsang To Hang tingkatkan karena ia belajar di agama Kristen, jadi tubuh kita ini adalah ka’bah Allah, Purin Ida Sang Hyang Widhi, begitu. Perlu pelihara ini Purin Ida Sang Hyang Widhi, begitu dia. Nah itulah yang menarik saya, saya merasa ya betul ini. Tidak boleh diri kita ini disiksa, harus dipelihara, karena ini adalah ka’bah Allah. Jadi saya menjadi Kristen tidak ada yang menginjili, cuma itu saja, melihat......

Terus pada siapa bapak mengungkapkan keinginan bapak untuk berpindah ke Kristen ?
Dulu disini ada gembala sidang oleh Made Risin.

Made Risin lagi, padahal dulu yang mencari bapak I Gelendung ?
Gelendung sudah tidak disini lagi, dia sudah di Makasar, hanya  beberapa jam saja saya diajar, tetapi yang meneruskan disini Made Risin.

Berarti Gelendung sengaja mengajak bapak supaya ikut menulis ?
Ya itu, dia meminta untuk menulis.

Berarti yang menulis Injil Lukas itu bapak juga ?
Tidak.

Yang bapak tulis itu apa ?
Nyanyian-nyanyian kidung Bali. “Yening sareng kawi iraga mamayang...” itu...saya....

Apa lagi, bisa dinyanyikan secara utuh salah satunya ?
Agak lupa saya.....
            “Jagat swecanin Hyang Widhi”
                “Jagat swecanin Hyang Widhi”
                “Kaswecanin.....kaswecanin....jagad kaswecanin”
                “Ida micayang ring titiang”
                “Ida micayang ring titiang”
                “Mamicayang....mamicayang.....putra sane tunggal”
                “Sira percaya ring ida”
                “Sira percaya ring ida”
                “Janten polih....janten polih....urip sane langgeng....”
            Ini diajarkan oleh Tsang To Hang supaya dinyanyikan.

Terus berulang-ulang ?
Secara berulang-ulang terus sampai dikuasai oleh semua orang, sampai saya sendiri yang di luar dengar.

Keras-keras, pak ya ?
O...keras-keras, Tsang To Hang omongannya keras-keras, walaupun itu badil-badil (cadel-cadel) ya....tapi keras-keras.

Itu bapak tulis-tulis ?
Itu yang saya tulis, nyanyian-nyanyian itu saya tulis banyak.

Mereka menyanyi bapak menulis begitu ?
O....tidak, ada memang ada diberikan oleh Gelendung ini suatu teks.....

Berarti menyalin pak ya ? Bukan menulis tetapi memperbanyak pak ya ?
Ya betul. Memperbanyak nyanyian-nyanyian yang diwariskan Made Gelendung kepada Pan Loting. Jadi Made Gelendung meminta saya menulis.

Pakai pensil atau pulpen pak ?
Tidak. Waktu itu tidak ada pensil, kita menggunakan pulpen yang celup itu, “pen”. Nah itu yang dipakai waktu itu.

Di atas meja pak ?
Di atas meja.

Mejanya siapa ?
Mejanya saya, saya punya meja kecil dulu di rumah.

Jadi pekerjaan itu bisa dibawa pulang ?
Di bawa pulang. Jadi saya di rumah, ditugaskan oleh Made Gelendung menyalin Kidung Bali, yang jumlah kidungnya semua 32, tapi judul kidungnya saya sudah lupa, tidak ingat lagi. Dan sekarang masuk dalam kidung jemaat itu ada.

Sudah dicetak ?
Sudah dicetak.

Doanya yang masih diingat yang satu itu tadi saja ?
Ada satu lagi yang lain yang saya ingat....
            “Anggon ja ngiring Yesus”
            “Iraga ne membrat......”
            Lupa saya..........
.
Apakah mungkin tidak bapak saja yang disuruh menyalin pak ?
Tidak, saya saja waktu itu. Waktu itu saya ini orang yang paling pintar. Satu Made Gelendung, kedua saya.

Selisih umur Made Gelendung dengan bapak berapa ?
Banyak itu, kira-kira 10 tahun.

Waktu bapak umur 17, dia sudah 27 ?
Sudah berkeluarga dia.

Bapak masih teruna seken (perjaka) pak ya ?
Truna, masih truna saya waktu itu.

Berarti ayah bapak masih ada waktu itu ?
Waktu zaman nulisnya itu masih ada.

Beliau tidak pernah menengok apa yang bapak kerjakan ?
Nggak, nggak pernah. Dia bebaskan saya menulis waktu itu karena ia percaya Made Gelendung itu hubungannya baik dengan dia. Ayah saya baik dengan Made Gelendung, jadi apa yang diberikan Made Gelendung dia anggap baiklah.

Tapi Made Gelendung khan sudah Kristen waktu itu, kanapa ayah bapak yang juga benci sama Kristen mau...?
Mula-mula dia benci sekali.

Tetapi kenapa dia biarkan anaknya bergaul dengan orang Kristen ?
Ya, mula-mula dia benci. Tapi itulah  saya katakan tadi setelah ia melihat orang-orang Kristen itu kok rukun, baik........

O....berarti di akhir hayatnya ayah bapak pernah mengatakan Kristen itu baik ?
Bukan mengatakan, tapi melihat Kristen itu baik.

Tidak pernah berkata ?
Tidak pernah berkata mengizinkan saya. Beliau cuma bilang boleh belajar.

Beliau bilang begitu? kamu boleh belajar ?
Kamu boleh belajar, apa yang diajarkan oleh Made Gelendung, apa yang dipelajari oleh Gelendung belajarlah itu.

Oh....ayah bapak bilang begitu ? Bahasa Bali gimana dia bilang pak ?
“Ne Ketut ne, apa ja orine ento teken beline, beli Made Gelendung, tuutin ento, ya nak ngerti ento, nak midep,” (Begitu Tut, apa saja yang diberi tahu oleh kakakmu, kakak Made Gelendung, ikuti saja, dia inteleketual, yang mengerti), nah begitu.

Beliau berarti mengizinkan bapak ?
Mengizinkan saya. Sebelum dia meninggal dia bicara begitu, tapi saya belum menjadi Kristen waktu orang tua saya meninggal.

Ibu bapak khan masih hidup waktu itu ?
Masih hidup.
Terus apa dia bilang ?
Ibu saya tidak apa-apa. Kemudian setelah bapak saya meninggal, tahun 1937 baru saya percaya Tuhan Yesus, baru menunjukkan diri  (bersambung)





No comments:

Post a Comment