Nama
Informan I Ketut Sobrat
Pewancara:
Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Tempat:
di Banjar Bengkel Kawan, Desa Bengkel, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali Tanggal
20 September 2001
Transkriptor
: Wahyuni, team TSP
Bapak kapan ganti agama, apakah pada waktu
Jepang sudah ganti agama ?
Siapa nama ibunya ?
I ketut Pisang.
Sakit apa dia ?
Macam-macam.
Macam-macan apa saja, tolong sebutkan
seperti apa ?
Ya, terus terang saja saya bilang ya.
Ya, terus terang saja Pak, apa lagi yang ditakuti kan
sudah ada Tuhan Yesus.
Pada waktu saya masih beragama Hindu, menurut keluarga
saya disakiti dari.. kekurangan begini, kekurangan begitu, kekurangan membuat
caru. Ini saya membuat begini, salah begitu, ya pemali namanya secara Bali.
Pemalinan, begitu ?
Ya.
Setelah itu ?
Terus begitu saja. Setelah itu saya punya keluarga.
Kawin artinya ya ?
Bukan!
Keluarga apa ?
Ya, sanak saudara lah disebut, dia sudah percaya.
Siapa namanya ?
I Ketut Tingting.
I Ketut Tingting namanya ? Sudah percaya
dia ?
Ya, dari Lalang Linggah.
Keluarga bagaimana dengan I Ketut Tingting
?
Pan Wageh.
Ya, itu dah Hubungan apa Pan Wageh dengan
Pan Sobrat ?
Pokoknya ada hubungan keluargalah, karena dari sini dulu
Nang Sungkreg kawin.
Lalu sakit dia ?
Tidak,lalu orang tua saya keduanya itu,...
Sudah ganti agama waktu itu ?
Belum, sakit dulu, begitu juga kakak saya yang laki-laki
sekeluarga saya sakit.
Nanti dulu siapa nama kakaknya ?
I Wayan Retig.
Sakit juga dia ?
Ya.
Apa sakitnya ?
Sama, begitu.
Sama dengan orang tua begitu ? Seperti orang yang marah, merusak-rusak ?
Tidak.
Kalau malamnya menyanyi ?
Tidak, seperti orang Hindu itu.
Kerauhan ?
Ya, kalau sedikit saja bagaimana, langsung di
banting-banting dengan tangannya di bale-balenya. Kalau seperti orang Hindu itu
namanya Tedun kalinggihang. Setelah itu saya punya keluarga I Ketut Tingting
itu.
Bagaimana terus I Tingting ?
Begini karena sering ada apa namanya itu, secara kuno
kebangkitan rohani di Badung, diajak ke sana, tapi orang-orang yang lebih tua
dari saya tidak mau. Padahal bagus sih omongan paman saya itu saya dengar.
Kalau begitu, saya minta anak yang kecil ini untuk saya bawa ke Badung, karena
nasibnya tidak jelas. Walau pun nanti tidaknya tidak sembuh supaya keluarga di
sini tidak diganggu roh jahat terus, begitu katanya. Setelah itu diantar saya
ke Badung, kira-kira ada seperti Jam sekarang ini berjalan.
Jalan kaki ke sana ?
Ya, jalan kaki di jalan selatan ini terus ke timur.
Diantar saya pada waktu itu ke kebangkitan rohani di gedung masyarakat di
Badung. Setelah itu saya diajak mampir ke Penyobekan, sampai sore di sana,
sampai matahari berwarna merah. Ke Pak Danielnya. Katanya kebangkitan rohaninya
malam hari, setelah iu saya diajak ke sana, saya tidak terlalu memperhatikan,
setelah sampai di sana lalu, sebenarnya saya tidak terlalu jelas cara-cara itu.
Kristen itu ?
Iya, tidak, tidak pokoknya saya tidak tahu. Setelah itu
datang orang yang kebaktian. Entah bagaimana saya tidak terlalu jelas diberi
tahu oleh I Tingting itu. Pokoknya sekarang minta restu daru Ida Sang Hyang
Widhi itu supaya sembuh, begitu saja saya diberitahu. Ya, berdoa pendeta itu.
Saya sangat ingat sekali dengan pendeta itu.
Siapa ?
Pak Pendeta Bolang dari Amerika.
Lalu ?
Berdoa, ada juga orang yang menyanyi, tapi saya juga
tidak tahu, maka saya juga tidak ikut.
Bagaimana bapak waktu itu berdoa ?
Saya minta tolong Ratu Sang Hyang Widhi, supaya sembuh,
saya tidak bisa melihat apa-apa, begitu
saja.
Bapak sudah tidak melihat waktu itu ?
Melihat tapi tidak jelas, samar-samar.
Sang Hyang Widhi seperti Bali atau Sang
Hyang Widhi secara Kristen ?
Pokoknya begitu saja diberitahu oleh I Tingting, pokok
minta tolong pada Ida Sang Hyang Widhi supaya sembuh, pasrahkan diri, begitu.
Begitu bapak diberitahu ?
Ya.
Menurut selanjutnya bapak ?
Iya, kemudian saya percaya.
Setelah percaya dibaptis kemudian bapak ?
O, tidak, masih lama itu, lama sekali itu.
Pada waktu di Penyobekan lama di sana ?
Tidak, malam itu saja, begitu selesai kebaktian, saya
diantarkan pulang, setelah itu hujan lebat saya diajak menginap di pura oleh I
Tingting.
Pura mana ?
Di pura di Badung itu.
Siapa yang mengajak ?
I Tingting itu. Karena di mana lagi berteduh, kan bodoh
namanya, seharusnya kan kembali ke Pak Danielnya, menginap di sana.
Ke pura diajak ?
Ya.
Bagaimana maksudnya Pak Tingting itu ?
Ya, hanya berteduh begitu.
Berteduh saja ?
Ya, supaya tidak kehujanan saja dan menunggu pagi.
Pura apa namanya itu ?
Di pura di pasar itu. Pada waktu itu saya masih kecil
jadi tidak terlalu jelas. Setelah pagi jam lima itu pulang saya kemudian
numpang bus sampai di Kediri. Sampai di Kediri ditinggal saya di sana padahal
saya masih kecil, dia kemudian langsung ke Langlang Linggah. Katanya berani
kamu pulang ke Bengkel ? Ya, saya coba saja, jawab saya. Setelah itu kembali
hujan dan saya berteduh di kori-kori (pintu rumah) orang. Setelah pulang itu
memang biasa, tapi pemikiran saya tidak seperti dulu, saya rasa ada perubahan,
agak tenangan sedikit.
Pikiran seperti dulu itu bagaimana ?
Tidak enak rasanya.
Tidak enak bagaimana ?
Ya, artinya tidak melihat seperti ini, nanti bagaimana
saya ? Punya pikiran itu saya biar waktu
itu masih kecil.
Bertanya dengan ibu bagaimana ini karena
tidak melihat bagitu ?
Berpikir sendiri saya seperti itu tapi tidak pernah
ngomong dengan siapa pun
Bertanya pada diri sendiri, sebelum pindah
agama, bagaimana nanti saya, gitu ?
Ya.
Setelah dari Penyobekan mau enakan
perasaannya, begitu ?
Ya, lebih mantap tidak lagi saya berpikir seperti itu.
Bapak pasrahkan diri waktu itu ?
Ya, pokoknya aman, tidak ada lagi pikiran macam-macam.
Berani pulang sendiri waktu itu ?
Berani, setelah itu saya juga sering-sering ke sawah di
Sudimara mencangkul, walaupun masih kecil saya tetap lakukan untuk menolong
orang tua (kerabat) Nang Sungkreg.
Ada hubungan apa dengan Nang Sungkreg ?
Ya, keluarga saya juga, seperti I Tingting, karena dia
juga asalnya dari sini.
Membantu Nang Sungkreg, begitu ?
Ya, seperti menginjak-nginjak pohon padi yang baru
dipotong.
Sebelum ke Penyobekan tidak berani ke sawah
?
Tidak.
Apa sebab tidak berani ?
Tidak punya pikiran saya untuk membantu mereka.
Setelah dari Penyobekan langsung ?
Tidak, mungkin setelah dua tiga harinya kemudian.
Tidak kaget keluarga bapak ?
Tidak.
Kenapa Pan Sobrat sekarang berani membantu
keluarganya ke sawah, tidak begitu ?
Tidak, pada waktu itu tidak ada orang yang begitu.
Tidak ditanya oleh orang-orang, kenapa
sekarang ke sawah membantu orang tua, dulu kan tidak berani ?
Tidak, karena pemikiran orang-orang tua, Si Anu malas
tidak mau membantu orang tuanya, sekarang mau, artinya sekarang dia lebih
rajin, begitu.
Orang tua sendiri tidak bapak bantu ?
Saya bantu juga, tapi waktu itu orang tua saya sudah tua
tidak bekerja, jadi kakak saya yang saya bantu.
Pada waktu bapak ke Penyobekan minta izin
ke orang tua atau kakak bapak, waktu pergi dengan I Tingting itu ?
Dia dah yang bilang I Tingting itu yang minta izin ke
kakak saya.
Bagaimana dia ngomong ?
Nah, pokoknya supaya sembuh akan saya ajak adik ini,
karena dia tidak sembuh-sembuh supaya kita tidak begini terus, keluarga seperti
tidak normal, begitu saya dengar. Saya sendiri tidak minta izin apa.
Tidak minta izin bapak dengan mereka,
apakah pada waktu itu orang tua bapak masih hidup ?
Masih, keduanya.
Tidak bapak mita izin ?
Tidak, karena I Tingting yang bilang akan saya bawa anaknya
ke Badung supaya sembuh, saya sendiri tidak bilang, hanya diam.
Setelah bisa mencangkul ke sawah, terus
badannya sehat ?
Ya, jadi semangat saya bekerja.
Belum
ganti agama pada waktu itu ?
Segitu saja.
Belum dibaptis waktu itu ?
Belum, masih jauh itu.
Masih beragama Bali jadinya waktu itu ?
Tapi saya tidak pernah mebanten.
Setelah datang dari Penyobekan itu ?
Ya, tidak pernah saya.
Sebelum berangkat ke Penyobekan masih
mebanten ?
Ya, mebanten, apa saja, seperti sebelum sekolah saya ke
sanggah supaya pintar di sekolah, begitu pikiran saya.
Sebelum ke Penyobekan ?
Ya. Setelah saya ke Penyobekan, saya tidak terlalu
berpikir ke sanggah.
Tidak diberitahu atau diingatkan oleh orang tua untuk ke sanggah ?
Tidak diberitahu atau diingatkan oleh orang tua untuk ke sanggah ?
Tidak, setelah saya membantu sering-sering ke Sudimara,
ke rumah Nang Sungkreg, lalu begini kata Nang Sangkreg.
Siapa ?
Nang Sangkreg yang di Lebah
Ada hubungan apa Nang Sangkreg dengan Nang
Sungkreg itu ?
Nang Sangkreg kan iparnya Nang Sungkreg, tapi setiap hari
dia di sana karena bekerja jadi satu dengan Nang Sungkreg.
Lalu bagaimana katanya Nang Sangkreg ?
Sekarang Ketut sudah diajak ke sana, bagaimana rasanya.
Apa ada perubahan. Begitu tanya Nang Sangkreg. Aduh tidak bisa saya bilang tapi
rasanya lebih enakan sekarang tapi bagaimana selanjutnya saya tidak tahu, kata
saya. Seringkali saya ditanya begitu oleh Nang Sangkreg. Lalu saya bawa sapi ke
sana, saya berikan dia pinjam untuk membajak di sawah. Di rumahnya Nang
Sangkreg itu sapi saya mintakan rumput. Kemudian lagi saya disampiri waktu di
tegalan itu, mau baikan sekarang ? Aduh tidak tahu saya, ada atau tidak sampai
nanti perubahan, kata saya. Setelah itu
ketika padinya kuning, Nang Sangkreg gila.
Apa sebabnya Nang Sangkreg gila ?
Dia ngomong tidak karuan. Kemudian dia dibawa ke rumah
sakit Tabanan, tapi tidak bisa sembuh sampai sempat diikat. Lalu katanya kalau
bukan yang menguasai dunia yang mengobati, dia tidak akan sembuh.
Siapa yang dikatakan menguasai dunia ?
Ya, pokoknya begitu ketika dia ngomelnya. Nang Sungkreg
itu, karena dia kan sudah pengalaman pernah jadi orang Kristen ketika jaman
Belanda dulu. Siapa yang bisa menguasai dunia itu, kenudian dia diajak ke
Lalang Lingah.
Siapa yang dicari di sana ?
Pan Wageh. Lalu didoakan.
Siapa yang mendoakan ?
Nang Wageh, kemudian dia sembuh, dan menjadi Kristen.
Sebelumnya dia belum Kristen ?
Belum.
Bertanya pada bapak waktu setelah dari
Penyobekan itu karena mengejek bapak ? Waktu dia bertanya apa sudah baikan, ada
perubahan setelah dari sana. Apa maksud dia bertanya untuk menghina atau benar
ingin tahu ada perubahan ?
Sungguh-sungguh dia bertanya, karena dia kasihan pada
saya. Kalau mentertawakan saya itu tidak, karena semua orang-orang tua dulu
kasihan pada saya.
Setelah di Lalang Linggah sembuh dia ?
Ya, sembuh lalu dia kebaktian ke gereja Bongan.
Siapa kebaktian, semuanya ?
Tidak, Nang Sangkreg dengan istrinya.
Kalau Nang Sungkreg, apa sudah Kristen ?
Pernah dulu, tapi akhirnya mundur.
Sudah dibaptis ?
Belum, karena mundur.
Mundur dia ? Apa sebabnya dia mundur ?
Tidak tahu saya.
Tidak pernah dia cerita ?
Tidak. Tapi istrinya dulu tidak mau Kristen.
Sungkreg itu ?
Ya, Nang Sungkreg.
Istrinya yang tidak mau, begitu ?
Ya, sehingga dia juga ikut mundur. Tapi sanggah-nya tidak dirawat, saya
perhatikan waktu itu.
O, sanggah-nya
tidak diperhatikan begitu ?
Ya, mebanten,
tapi tidak pernah diperbaiki.
Setelah di Lalang Linggah dan sembuh,
selanjutnya bagaimana Nang Sangkreg itu
?
Kemudian dia ikut kebaktian ke Bongan, sering-sering.
Karena saya pernah ke Penyobekan, dia ngomong kepada saya memberitahu. Saya sering
ke gereja ke Bongan, sekarang Ketut ikut ke sana, katanya dan yang saya ajak
itu kebanyakan orang-orang tua. Ya, nanti jawab saya, tapi sebelum kumpul hari
Minggu saya diantar ke Bongan.
Siapa yang mengantar ?
Nang Sungkreg.
Padahal belum Nang Sungkreg ganti agama ?
Sudah, ikut Nang Sangkreg, dia ikut iparnya, sama-sama
waktu dia gila.
Di mana dia dibaptis ?
Nanti dulu, masih lama itu. Lalu saya diantar ke Bongan,
oleh Nang Sungkreg di rumah Gusti Puger ini. Lalu saya dikatakan mau ikut.
Kepada siapa ngomong begitu ?
Kepada Gusti ini dah ( Gusti Puger ) oleh Nanang saya
itu, saya hanya diam saja, nanang saya itu yang ngomong. Lalu di Hari Minggunya
saya barengan dengan Nang Sangkreg dan Nang Sungkreg berserta istrinya. Lama
belum juga dibaptis, Nang Sangkreg juga belum dibaptis. Setelah itu dari gereja
ada pelajaran dan saya juga diajari, ada pikiran mau dibaptis. Saya ditanya
oleh Nang Sungkreg, tapi saya katakan belakangan, akhirnya dia saja. Ada
tahunan itu belajar, saya sudah tidak ingat itu.
Dimana belajar di Bongan ?
Di sini, ada yang mengajari itu. Kemudian di Sudimara dia
Nang Sangkreg dibaptis, saya diajak waktu Nang Sangkreg dibaptis itu, tapi saya
belakangan saja karena saya masih kecil begitu jawaban saya.
Kenapa menjawab begitu, apa karena takut,
tidak berani dibaptis ?
Tidak, tapi begitu jawaban saya, bukan karena takut,
bukan, lalu dia saja Nang Sangkreg itu yang dibaptis beserta keluarganya. Dia
dibaptis di Bongan bukan di rumahnya. Sedangkan saya belum dibaptis sampai
ketika saya akan kawin.
Mencari kemudian istri begitu ?
Ya, akan mencari istri tapi saya belum dibaptis, Gusti
Puger juga ngomong begitu, belum dibaptis.
Bagaimana Gusti ini ngomong ?
Kalau belum dibaptis tidak boleh kawin dulu, begitu
katanya.
Kata Gusti Puger ?
Ya.
Lalu ?
Saya disuruh mebaptis. Karena setelah saya percaya itu
ada keberanian saya keluar.
Sebelumnya tidak berani ?
Keluar kemana-mana, ke kota-kota juga.
Sebelumnya tidak berani ?
Tidak, karena saya masih kecil juga.
Berarti kan karena bertambah besar ?
Ya, karena bertambah besar.
Bukan karena percayanya itu ?
Karena Tuhan Yesus yang menuntun saya dari kecil, karena
kalau bukan karena Tuhan Yesus, saya tidak punya keberanian seperti itu.
Pokoknya saya tidak seberani itu, ke Badung ke rumahnya Pak Sueca, juga saya
pernah bertanya kepada Pak Sueca.
Bertanya apa ?
Ya, misalnya saya berpikir untuk mencari istri sebelum
saya dibaptis, bagaimana kalau sekalian dibaptisnya pada waktu menikah ? Tidak
boleh katanya. Lalu saya bilang pada Pak Sueca, boleh. Kata Pak Gusti sebelum
dibaptis tidak bolek kawin, begitu katanya pada saya, dibalik. Lalu saya
dibaptis, tapi tahun berapa saya tidak ingat.
Tapi sudah dibaptis ? Mana duluan kawin
atau dibaptis ?
Dibaptis, setelah itu saya dibaptis bersamaan dengan
Nanang Cakra.
Nang Cakra yang di sini ?
Nang Cakra yang rumahnya di sebelah..
Yang di sebelah gereja itu ?
Tidak, di utara jalan, demikian kemudian saya dibaptis
bersamaan dengan Nang Cakra dan keluarganya. Nang Cakra yang...
Nang Cakra yang tinggal di rumahnya di Pan
Sungkreg itu ?
Ya, ya, yang sakit dan kemudian diajak ke sana itu.
Yang waktu sakit diajak ke sana ?
Ya, itu yang saya ajak bareng-bareng dibaptis.
Dimana dibaptis ?
Di Bongan.
Siapa yang membaptis ?
Pak Sueca
Pak Sueca ? Bukan Gusti Ajinya ?
Bukan.
Lalu ?
Setelah itu baru saya berpikir kembali tentang wanita.
Lalu kawin ?
Ya, kawin.
Lalu ?
Sudah segitu saja, apa lagi ?
Sesudah dibaptis dan sesudah kawin mau
sembuh benar matanya ?
Kalau sembuh benar sampai sekarang sih belum. Kalau
keluar malamnya saya tidak berani, tapi kalau membaca dan menulis malamnya
masih saya lihat. Bisa saya.
Kalau secara agama Bali apa katanya
penyakit bapak ?
Supaya ini tidak
jadi masalah kalau didengar orang, katanya ada manusia yang sakti, yang
kalau di Hindu kan begitu, menjahili orang yang tidak seneng dengan dirinya,
kan begitu.
Di sini katanya ada orang sakti begitu ?
Ya, ada di desa
ini ada begitu.
Di mana itu bertanya ?
Kan di sana di Baliannya.
Jadi yang menyembuhkan Tuhan Yesus berarti
begitu ?
Ya..
Lalu percaya kemudian ?
Ya.
Nah siapa yang mendoakan bapak ke sini, apa
Jemaat Bongan, ada yang ke sini mendoakan bapak ?
Yang secara khusus, kalau seperti sekarang ini apa
namanya... persekutuan sekarang , tidak.
Kalau dulunya tidak ada yang mendoakan ke
mari ?
Kalau khusus tidak , tapi kita kumpul-kumpul saja di
gereja. Kalau misalnya, sekarang kita doakan I Sobrat supaya sembuh, itu tidak
ada.
Kalau Gusti aji ke mari mencari apa ?
Mendoakan sih tapi semua yang didoakan tidak ada yang
khusus-khusus begitu. Kalau sekarangkan ada di persekutuan, doakan Si Anu
karena dia sekarang ada penting ini, kan begitu. Kalau dulu tidak ada, karena
berbeda dulu.
O, begitu ?
Pokoknya mendoakan sih Gusti Aji tetap, misalnya saya
buta supaya sembuh, nah artinya sekeluarga jadinya kebaktiannya. Kalau
sekarangkan ada yang khusus-khususnya.
Kalau sekarang satu-satu dicari, begitu ?
Ya, biasanya kalau buat kebaktian itu.
Dicari satu-satu ? Siapa yang sakit itu dicari begitu ?
Ya, khusus setelah itu lagi buat kebaktian untuk
mendoakan yang lain.
Yang dulu tidak ?
Tidak.
Kalau Gusti Aji semua didoakan begitu ?
Ya, semua.
Dimana bertemu kalau Gusti Aji kemari ?
Kan datang dari rumahnya dia
Langsung datang ke mari begitu ?
Ya.
Siapa yang ditemui pertama di sini ?
Saya.
Di rumah ini ?
Ya.
Berberapa orang yang di sini ?
Saya kan sendiri, ibu saya kan tidak mau dia ikut Kristen.
Bagaimana ibu menjawab tidak maunya ?
Tidak, tidak apa
Tidak mau dia ikut begitu ?
Ya.
Bapak sudah pernah mengajaknya ?
Sudah dan dia bilang
percaya, tapi kemudian tahu-tahunya dia mundur lagi , ya.. apa boleh
buat.
Ibunya mundur lagi, begitu ?
Ya.
Apa katanya yang menyebabkan mundur ?
Tidak tahu saya.
Sekarang coba lanjutkan lagi, setelah itu ?
Setelah itu, setelah saya menjadi orang Kristen, setelah
di sidi itu, saya berpikir untuk kawin itu, baru kakak laki-laki saya percaya
kembali.
Siapa nama kakaknya bapak itu ?
I Retig.
Berapa orang bapak bersaudara ?
Tinggal dua orang saja saya.
I Retig dengan bapak ?
Ya.
Bagaimana bapak ngomong dengan kakak
sehingga dia mau percaya ?
Kalau umpamanya dia..., kan dia juga tidak bisa bekerja
karena sama seperti saya tidak melihat apa,..
Sama artinya ya ?
Ya, kalau umpamanya dia masih beragama Hindu, dan saya
jadi orang Kristen, kalau nanti saya sudah kawin, kan biaya membuat canang kan jelas tidak diberikan oleh
istri saya. Nah itu yang dikatakan oleh orang tua-tuanya dulu, gitu. Sekarang
kan mengandalkan minta dengan ipar saja, begitu ceritanya, Nang Sungkreg dan
Nang Sangkreg, sekarang bagaimana maunya adik, kita ikuti saja bersama-sama.
Saudara-saudara
misan punya ?
Ada tapi juah-jauh
Di sini tidak ada ?
O, ya ada
Ganti agama juga dia ?
Tidak.
Yang di sini yang sebelah ini?
Tetangga.
O, Tetangga ?
Tidak tahu bagaimana dulu hubungan keluarganya sepertinya
ada.
Masih beragama Hindu ?
Ya.
Kalau di sini sudah semuanya ?
Ya, yang pokoknya kan di sini.
Dulu sebelum dibaptis dan sebelum kawin
Gusti Aji kemari ?
Ya, sering ke mari.
Apa yang dibicarakan dulu ?
Aduh tidak ingat saya.
Mendoakan sih Gusti Aji kemari ?
Ya, sampai di Sudimara berdoa kita berdoa bersama.
Apa bapak yang mencari Gusti Aji ketika
sedang mendoakan, apa beliau yang ke sini mencari bapak ? Mana yang benar ini ?
Saya yang ke Sudimara, Gusti Aji hanya sampai di Sudimara
saja.
Tidak pernah ke mari ?
Dulu-dulunya, tapi jarang jadinya.
Gusti Aji di Sudimara di mana ?
Di Nang Sangkreg Nang Sungkregnya.
Jadi datang ke sini jarang begitu ?
Ya, jadinya saya yang mendatangi ke sana.
Apa sebabnya Gusti Aji jarang ke mari
karena jalannya rusak begitu ?
Ya, jalannya rusak dan tidak bisa diomongkan, pokoknya
rusak sekali. Disini berbatasan dengan sungai.
Airnya besar begitu ?
Kalau ada hujan
besar, tapi kalau tidak hujan kecil tapi ini rumput dan banyak batunya.
Dalam sebulan sekali juga tidak Gusti Aji datang ke mari ?
Kalau sebulan sekalinya juga tidak. Pokoknya pernah ke
sini tapi jangka waktunya tidak bisa saya katakan.
Yang menyebabkan sembuh, apa yang pernah
dipelajari dulu ketika masih bujangan ?
Saya masih kecil itu, apa tidak ada yang dipelajari.
Di sini apa yang pernah dipelajari, ilmu kekebalan
atau apa ?
Keluarga di sini tidak ada sama sekali belajar apa.
Gusti Aji datang ke sini berapa kali ?
Saya pernah ke sini tapi menurut kepentingan.
Setelah ganti agama dan kawin, benar sudah
sembuh ?
Ya, seperti saya katakan tadi pokoknya sampai malam-malam
lewat,..
O, berani bapak jalan pada malam hari ?
Tidak, tidak bisa.
Malamnya tidak berani tapi kalau siangnya
berani ?
Biasa saya ke mana saja saya berani, saya kan jualan
siang nya.
Jualan apa ?
Tidak bisa saya sebutkan, karena banyak modelnya seperti
toko.
Bapak melihat uang ?
Biasa melihat, kalau tidak karena Tuhan Yesus yang
menuntun saya, terus terang saja, saya tidak punya rencana untuk berjualan
Sekarang kan sudah ganti agama, masih ingat
dengan agama sebelumnya ?
Tidak.
Masih ingat dengan leluhur-lehurnya ?
Tidak
Bagaimana caranya melupakan ?
Tidak bisa saya katakan, karena saya tidak ingat dan
tidak terpikirkan oleh saya.
Sanggah-nya siapa yang membongkar ?
Saya.
Sendiri membongkar ?
Ya, ketika mau kawin sehingga tempat duduknya jadi lebih
luas.
Di sini dulu sanggahnya ?
Ya, sini.
Kakak bapak tidak ikut membongkar sanggah
ini dulu , I Retig ?
Tidak.
Sediri membongkar sampai selesai ?
Ya.
Dulu tidak marah dia sanggah-nya dibongkar, di
mana dia mebakti?
Dia kan sudah jadi orang Kristen.
Sudah dia ikut Kristen ?
Ya, setelah datang dari pasar, karena sudah mendesak dan
saya sudah meminta seorang gadis.
Istri bapak orang Kristen juga ?
Ya, kan saya harus segera kawin, setelah datang dari
pasar saya bongkar sanggahnya, supaya tidak terdorong kan saya minta tolong
untuk menurunkan tapi tidak mau. Dia orang Hindu. Aduh saya tidak berani Tut,
katanya.
Lalu siapa yang bapak ajak ?
Dorong saya sendiri terpaksa karena tidak bisa
mengangkatnya sendiri. Pokoknya supaya lepas saja.
Bapak membetitahu dulu (mengaturang
piuning) sebelum membongkar sanggah itu ?
Tidak.
Berdoa bapak dulu ?
Begini saja, Tuhan Yesus bantu saya, saya akan mererisak
Mererisak ?
Ya.
Apa artinya mererisak ?
Membuat supaya terang, dan rapi.
Memberitahu pada banjar ?
Tidak. Kepada keluarga di sini saya tidak memberitahu.
Tidak memberitahu, lalu bagaimana keluarga,
diam mereka ?
Tidak, biasa saja karena saya jadi orang Kristen kan
tidak pakai lagi sanggah, mungkin begitu pikiran mereka, saya tidak tahu.
Diam mereka,begitu ?
Ya, diam.
Tidak dikucilkan ?
Tidak, dikucilkan bukan karena itu. Dikucilkan karena,..
Lalu karena apa ?
Pernah saya dikucilkan karena soal ada yang kehilangan
jam.
Siapa yang kehilangan jam, apa pada waktu
sudah beragama Kristen ?
Ya, di selatan ada yang kehilangan jam tangan, dia punya
adik gadis-gadis dan banyak yang ngapel ke sana, setelah itu hilang jamnya,
seharusnya kan banjar yang menjadi saksi karena tidak tahu jelas siapa yang
mengambil. Tapi saya tidak mau ikut waktu itu karena menggunakan tirta. Tapi
orang-orang berani menjamin saya tidak ada mencuri, apalagi mencuri main ke
sana dia tidak pernah, begitu kata mereka. Tapi karena masalahnya tidak mau metirta, biarkan saya bersumpah secara
Kristen. Saya mau, tapi karena tidak tahu caranya dia, nanti tidak dibuat jelek
nanti. Ah, omongan orang banyak begitu macam-macam. Sampai mencari istri juga
tidak akan diberikan di sini.
Siapa yang tidak diberikan mencari istri ?
Saya, mencari istri dari banjar sini.
Masih bujangan pada waktu itu ?
Ya.
Masih bujangan, belum kawin ?
Belum.
Setelah itu tidak diijinkan mencari istri
di sini ?
Ya, begitu sih rencananya, omongan orang-orang di banjar
kan biasa banyak. Lalu dari bendesanya bilang biarkan sesuai caranya dia, lalu
saya sampaikan ke Gusti Puger di Bongan, dan
dia sudah datang sampai di Sudimara. Tapi kemudian lagi ditutup tidak
diberikan .
Gusti Aji tidak diberikan ke sini begitu ?
Maksudnya tidak diberi izin kesaksian secara Kristen,
mungkin menurut bendesa adatnya biarkan secara Hindu saja, diselesaikan segitu
saja, karena yang mencuri juga tidak ada. Mungkin begitu.
Berarti hanya karena tidak mau metirta saja
ya, bukan karena ganti agama ? Memang tidak boleh metirta sedikit saja sesudah
Kristen di gereja tidak pakai tirta ?
Tidak, karena saya diberitahu begitu, tidak boleh metirta seperti di pura.
Jadi dikucilkan berapa bulan ?
Aduh saya tidak ingat.
Akhirnya lama-lama baikan begitu ? Lalu
istri bapak dari sini ?
Tidak
Dari mana ?
Jauh dari Surabrata.
Itu yang menyebabkan tidak mencari istri
dari sini ?
Tidak, saya tidak tahu karena saya masih agak kecilan
waktu itu, ke Tabanan saya jualan.
Sekarang jualan ini berarti rahmat Ida Sang
Hyang Widhi begitu ?
Kalau saya rasakan begitu.
Mendapat istri juga karena rahmat Ida Sang
Hyang Widhi ?
Ya.
Sekarang karena tidak sembuh-sembuh bukan
Ida Sang Hyang Widhi yang disalahkan ?
Tidak, biasa saja bagaimana lagi, saya tidak terlalu
memikirkan itu, saya hanya bersyukur ikut Ida Sang Hyang Yesus.
Di Surabrata, mertua bapak sudah ganti
agama ?
Sudah.
Siapa namanya ?
Pan Rena.
Siapa nama sebenarnya Pan Rena ini ?
Kalau tidak salah I Raos, tapi nomor berapa saya tidak tahu. Begitu
rasanya.
Kalau mertua wanitanya ?
Saya tidak tahu, dia orang dayu dari Abian Tuwung.
Berarti Pan Rena ini duluan ganti agama ya ?
Pan Rena sering ke sini mendoakan.
Mendoakan bapak ?
Ya.
Lalu kenal anaknya di mana ?
Kan di gereja, Pak .
Gereja mana ? Bongan ?
Ya.Pokoknya saya sering juga ke Lalang Linggah dariLalang Linggah sering juga ke sini[]
No comments:
Post a Comment