Saturday, April 9, 2016

Tanah Kubur Menjadi Masalah Utama bagi Pemeluk Kristen Tahun 1930-an



Nama Informan: I Made Gedab   [1]
Pewawancara :  Putu Ayu Rastiti, team peneliti TSP
Tempat : Banjar  Semate - Abianbase, Badung, 20 September 2001
Transkriptor : Putu Ayu Rastiti, team peneliti TSP
Editor : Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Transkriptor : Wahyuni, team peneliti TSP


Bapak tahun  berapa pindah agama ?
Saat orang tua saya pindah agama. Waktu itu tahun pada waktu Injil pertama ke Bali.

 
Waktu Injil kesini ?
Ya, Tuan Tsang itu.
Bapak tahu Tuan Tsang itu ?
Tahu, saya sudah SD.
Bapak sudah SD ?
Sudah SD, ya kira-kira umur saya 6 atau 7 tahun. Orang tua saya waktu itu sudah mulai.
Siapa yang pertama, orang tua bapak ya ?
Orang tua saya, saya khan cuma mengikuti ajakan orang tua. Sebab pada waktu itu di sekitar keluarga orang tua saya itu di Utara itu, sekarang Pak Sudirman, kakeknya dialah yang saya ajak bertetangga, dialah yang mengajak waktu turunnya Tuan Tsang itu.
Siapa nama kakeknya Pak Sudirman itu ?
Wayan Landuh.
Dari sini juga ?
Saya bertetangga, pisah tembok saja. Sekarang masih ada keluarga saya disana, disini khan dulunya sawah, saya khan baru kesini sekitar tahun 80-an.
Dulu bapak tidak disini ?
Tidak, disana di Selatan, di desa. Di kampung, sama Pak Sudirman.
Terus pindah kesini ?
Ya, pindah kesini.
Orang tua bapak siapa namanya ?
Bapak saya, I Wayan Celos.
Bersama ibunya bapak dulu semua berpindah agama pada waktu itu ?
Ya, sekeluarga.
Ibunya bapak siapa namanya ?
Wayan Sadri.
Sama saudara-saudara juga pak ?
Ya.
Bapak berapa bersaudara ?
Saya, lima orang. Disini, yang lahir di Abianbase-Semate empat orang, di Blimbingsari satu.
Bapak nomor berapa ?
Nomor dua.
Siapa-siapa saja nama saudara bapak ?
Nomor satu Ni Wayan Cebur.
Nomor dua bapak ?
Ya, saya Made Gedab.
Nomor tiga ?
Nyoman Gedib.
Nomor empat ?
Itu perempuan, Ketut Catri.
Nomor lima ?
Mulai Wayan, Wayan Rustin, pindah ke Prigi.
Prigi Sulawesi ?
Ya, Sulawesi Tengah, kota Palu.
Transmigrasi pak ?
Ya transmigrasi, dari Blimbingsari transmigrasi pindah ke Palu.
Ayahnya bapak berapa jumlah saudaranya ?
Saudaranya ? Yang pertama, I Wayan Celos, kakek saya. Yang nomor dua Made Celes.
Yang ketiga ?
Yang ketiga Nyoman Celis. Kemudian Ketut Gubed.
Wayan Celos itu kakek atau ayahnya bapak ?
Ayah saya.
Saudara ayahnya bapak semuanya masuk Kristen ?
Ya semua waktu itu. Waktu itu “seguluk”, bagaimana diajak oleh saudaranya, begitu dia ikut, tidak mau dia mengasingkan diri lain agama, tidak. Makanya semua disini percaya waktu Tuan Tsang itu, karena begitu Tuan Tsang datang lebih mantap mendapat keterangan daripada pekabar-pekarab yang lain, mantap. Dia mengajar di kampung-kampung itu lebih aktif, lebih keras, begitu. Kalau saya ceritakan itu mengerikan, kalau sekarang pendeta berkotbah seperti pada waktu Tuan Tsang banyak orang yang tunduk, pada waktu itu khan....
Coba bapak ceritakan......
Pada waktu itu kalau ada orang mau minum anggur, arak, dan bermacam minuman yang keras, dia marah. Malah ditobatkan atau diajar di gereja atau dirumahnya. Kalau ada yang mau merokok, makan sirih, dsbnya itu.
Tidak boleh itu ?
Tidak boleh merokok, minum, makan sirih, tidak boleh. Keras, malah dihujat. Begini dia “Kalau orang mengukuti Kristus masih ada tabiat yang lama, mau menuruti hawa nafsu, misalnya minuman ketan, merokok, minuman macam yang memabukkan, dsbnya, itu adalah sifatnya seperti babi”. Begitu dia, itu khan keras artinya.
Tuan Tsang itu bilang begitu ?
Ya. Waktu itu semua orang disana takut, tidak mau pergi ke warung, tidak mau belanja-belanja di luar itu, takut dia, karena ajarannya begitu keras. Malah, “Kamu kalau sudah menjadi murid Kristus, jangan lagi bermabuk-mabukkan, jangan lagi mengotori diri”. Artinya kalau orang memakan sirih itu dia menganggap kotor.
Apa yang menyebabkan kotor itu pak ?
Kotornya itu dia khan meludah, merah, begitu. Kalau ada yang merokok itu artinya dia tidak sebagai pengikut Kristus, artinya belum begitu tobatnya sampai mendalam. Makanya dia mengandaikan pada waktu itu kamu sebagai sifat babi. Tahu sifat babi, celeng itu ?
Jorok ?
Tidak, kalau sifat babi itu, kalau dia sudah habis makan dia khan senang ke tempat yang berlumpur, bergumul di lumpur dengan debu, begitulah, khan keras. Kalau sekarang ada pendeta yang berani berkotbah seperti Pak Tsang itu, banyak yang mundur. Kalau saya lihat saudara-saudara kita yang di Protestan, banyak yang masih makan sirih, minum minuman keras, merokok.
Saat sekarang maksudnya pak ?
Saat sekarang khan banyak, coba Pak Sudirman itu khan masih suka merokok. Itulah, kalau dulu ada yang sifatnya begitu, terus dicaci maki sampai dia betul-betul bertobat.
Tidak takut Pak Tsang bersikap keras begitu pak ?
Tidak takut. Malah kalau ada orang Hindu yang mendengar kotbahnya itu wih...marah orang Hindu. Malah sering dia menghujat, disindir-sindir begitulah agama Hindu itu sering disebut agama pengotor, berani dia begitu, dia tidak takut dimarahi, dilempari kayu, atau batu dia tidak takut, berani.
Dulu bagaimana caranya Tuan Tsang bisa sampai disini, kemana dia pertama ?
Kalau pada tahun itu, dekat di Buduk yang bernama  Gusti Putu Sanur, dirumahnya Gusti Putu Sanur, di balian itu. 
Kesana dia Tsang To Hang begitu ?
Ya, pasti ada satu rumah yang dia tempati sementara, untuk tempat tinggalnya sementara. Disini tempo hari dirumahnya Pak Ketut Yahya. Nama aslinya itu Ketut Nggi, kemudian setelah menjadi orang Kristen, Ketut Yahya.
Dimana lebih dahulu Pak Tsang tiba, di Buduk apa di Abianbase ?
Di Buduk pertama.
Di Buduk ?
Ya. Disana dia ingin mencari orang yang menjadi tokoh agama, itu Gusti Putu Sanur itu menjadi tokoh agama, tokoh agama Hindu, makanya dia menjadi begitu, sebab dia dukun. Balian istilah Balinya. Sesudahnya menjadi Kristen, masih dia melakukan obat-obatan, mau menolong orang-orang yang memerlukan penyembuhan. Kalau di Abianbase dirumah Pak Ketut Yahya itu hanya ini tokoh yang sangat berbahagia, sangat berbahagia tokoh ini. Apa sebabnya saya bilang begitu, tempat gereja sekarang itu...
Yang baru dibangun itu ?
Ya, yang disebelah barat jalan itu, itulah tanda bukti dia mempersembahkan tanahnya.
Itu dulu milik Pak Ketut Yahya begitu ?
Ya, sekian are itu dipersembahkan. Sebab pada waktu itu dia merasa hatinya sangat terpanggil oleh Tuhan. Begitu dia punya tanah, ya diartikan boleh dikatakan ada sisa dari tempat yang dia bangun rumahnya sendiri. Rumahnya sendiri itu khan disebelah utaranya.
Di sebelah utara gereja pak ?
Ya. Itu persaudaraannya itu. Dia bersaudara 4 orang berani dia mempersembahkan tanahnya sekian are itu. Pada waktu itu saya masih ingat tanah yang dipersembahkan pada waktu itu kurang lebih 8 are. Penuh dengan tanaman kelapa, berani dia mempersembahkan. Maka itulah dia boleh dikatakan tokoh. Sampai dia itu banyak membaptis orang.
Pak Ketut Yahya ini ? Berarti sudah pendeta ?
Dia dapat dikursuskan ke Makasar.
Siapa yang mengursuskan ?
Utusan dari gereja Jawi Wetan.
Jawi Wetan ?
Ya, Jawa Timur. Hanya jadi pemimpin pada waktu itu. Tapi pada waktu itu kebanyakan menggunakan bahasa daerah.
Bahasa Bali ?
Ya, supaya orang tua-tua itu sangat mengerti. Kalau saya ceritakan, pada waktu itu banyak pemangku-pemangku yang menjadi Kristen, misalnya Pan Montong dari banjar Gede, dia jadi Kristen. Pada waktu Tuan Tsang juga dia jadi pemangku Pura Desa Abianbase, pada waktu itu.
Apa sebabnya bapak bisa pindah agama ?
Begini, Tuan Tsang pada waktu itu memperbandingkan agama Hindu dengan agama Kristen, kalau di agama Hindu apa yang menjadi pegangan yang mutlak, jadi pada waktu itu pemangku atau tokoh-tokoh yang lain, seperti misalnya klian, tidak bisa menjawab dengan tepat. Kalau di cari didalam ajaran agama Hindu di Anombaksari namanya, di kitab Saracamuscaya, atau di geguritan-geguritan, tidak ada pegangan yang kuat untuk menuju hidup manusia dikemudian hari tidak ada pegangan yang kuat. Biar dia sudah menjadi pemangku di pura-pura tidak ada. Hanya Tuan Tsang itulah yang memberi keterangan yang jelas pada waktu dia mengajar di jemaat, di rumah-rumah tangga, pegangan yang kuat dalam menjadi murid Yesus Kristus, hanya Tuhan itu berjanji memberikan kepada tiap-tiap manusia yang percaya kepadaNya diberi hidup yang kekal, itu dia pegang. Ini khan jelas dalam Injil Yahya 3 ayat 16. Itu yang dipakai dasar oleh Tuan Tsang. Makanya banyak dibanding-bandingkan dalam ajaran Hindu da disebutkan Allah atau Dewa disana tidak ada menjanjikan akan memberi hidup yang kekal, artinya memberi pahala, biarpun dia itu menjadi begitu banyak agama, banyak penganutnya tidak ada dijanjikan itu oleh Tuhan, hanya di agama Kristen, hanya  di dalam Yesus Kristus ada dijanjikan oleh Tuhan. Ini yang menjadi perbandingan yang tepat sekali pada waktu itu, makanya pemangku-pemangku itu bisa dia memberi perbandingan dengan agama yang lain. Makanya dia menjadi pengikut Kristus. Itu kotbahnya yang pertama yang menjadi tema pada waktu itu.
Tahun berapa Tuan Tsang kesini pak ?
Tahun 30-an.
Dari Buduk datang kesini begitu ?
Ya, artinya dekat disini. Terus di Buduk, di Untal-Untal, di Sading, itu khan artinya keluarga, satu camat. Jadi pada waktu itu begini, kalau Tuan Tsang memberi arahan, ajaran di rumah atau di gereja, dia terus memaparkan dari pertama bagaimana Yesus itu mendapat pengikut. Begitu, dari sana dicari jalan untuk menangkap orang-orang di desa, di kampung. Lagipula yang saya jelaskan tadi itu khan dari sudut agama, makanya orang yang tua-tua, tidak ada yang umur-umur bujangan pada waktu itu menjadi pengikut Kristus, pasti orang yang sudah lansia, yang tahu sudah membedakan ajaran agama. Maka dari itu dia terus memaparkan caranya untuk mencari pengikut Kristus. Umpamanya seperti saya, bapak saya, bapak saya khan dia punya saudara bapaknya Wayan Sudirman, artinya berdekatan bertetangga. Begitu juga pada waktu Yesus datang ke dunia, dia khan mencari muridnya yang ke 12, bagaimana caranya ? pasti Simon – Petrus, dia bersaudara dengan Yohanes, pada Yakub, khan begitu. Begitulah caranya mengembangkan.
Berarti dari saudara begitu ?
Dari persaudaraan atau dari kekeluargaan.
Siapa yang pertama pindah agama disini, yang mempelopori pindah agama disini di Abianbase ?
Yang di Abianbase sudah tua-tua, saya kalau disini masih banyak yang saya ingat, kalau disana di Abianbase itu Pak Kranjing ditanyakan, karena saya sama umur.
Kalau di Semate ini siapa yang bapak ketahui pertama ?
Disini, Wayan Landuh, itu khan dulu. Pan Wayan Riden, ini saudaranya Wayan Landuh.
Ini yang pertama ?
Ya, itulah orang-orang tua, orang yang ahli dalam agama Hindu. Itu hanya persaudaraan saja ini, Pan Wayan Riden, Pan Wayan Geledeg. Persaudaraan juga ini satu keluarga, Wayan Riden ini punya adik Ketut Kuntu.
Adiknya Wayan Geledeg itu ?
Ya, Wayan Geledeg, Ketut Kuntu, Ketut Brani. Kalau yang di selatan di Banjar Gaduh itu Pan Wayan Rembyak, itu di Br. Gaduh. Kalau dia Abianbase disitu ditanyakan, kalau saya disini masih ingat nama-namanya. Itu kalau Pak Kranjing ditanyakan pasti jelas dia bisa menceritakan masalah orang-orang yang percaya pada waktu itu, orang-orang yang dibaptis, baptis celup pada waktu itu.
Baptis celup, dimana itu pak ?
Di rumah, di rumah Ketut Yahya itu, memakai bak.
Memakai bak ?
Ya, membuat bak.
Siapa yang membaptis ?
Tuan Tsang.
Tahun berapa itu pak ?
Itulah pada tahun 30-an.
Langsung tahun 30-an itu ?
Ya. Diberikan pengajaran beberapa bulan. Lagi pula pada waktu itu entah berapa sanggah dihancurkan. Kalau dia sudah dibaptis, dia punya sanggah yang mewah, sanggah yang sederhana terus dibongkar, diturunkan, supaya jangan dia lagi dia mengingat-ingatkan, atau dia masih ke pura-pura atau ke sanggah itu.
Sanggah bapak ikut dibongkar ?
Ya, sampai di jual oleh orang tua.
Apanya yang dijual ?
Sanggah-nya, sesudah diturunkan ada orang Hindu itu yang mau beli.
Bangunannya maksud bapak ?
Ya, masih utuh begitulah, diturunkan, banyak pada waktu itu.
Tidak ribut pada waktu itu pak ?
Ya, orang-orang itu cuma kaget saja, tetangga. Banyak saya melihat pada waktu orang menurunkan sanggah, pada waktu baptisan. Ini khan orang belum ke Sungai Yeh Poh baptisan.
Mana duluan baptisan di Sungai Yeh Poh apa disini ?
Kalau disini begini, apa namanya, kalau sudah begitu banyak pengikutnya akan disatukan lagi ke Sungai Yeh Poh, yang berdekatan misalnya Untal-Untal, Buduk, yang berdekatan. Disini berhubung pada waktu masih banyak anggotanya, maksudnya Tuan Tsang itu perlu diresmikan dia menjadi pengikut Kristus agar jangan lagi dia kocar kacir, jangan lagi dia maju mundur. Begitu dia mengaku menjadi pengikut Kristus yang sungguh-sungguh, begitu sanggahnya diturunkan, lantas dia dibaptis, begitu. Makanya dibikin bak dirumahnya Pak Ketut Yahya itu.
Apa yang digunakan membuat bak itu pak ?
Itu seperti tempat air itu, semen.
Khan lama membuatnya ?
Lama.
Besar baknya ?
Besar baknya, segini kira-kira ada. Dicemplungkan.
Satu-satu pak ?
Ya, satu-satu. Pada waktu itu mantap sekali, apa yang menyebabkan mantap, begitu dia mengaku kepercayaan dimuka saudara-saudaranya, dimuka pendeta, begitu dia diresmikan, kalau istilah sekarang dimatsaikan dia dalam air. Itu pada waktu itu menurut Injil, Yesus Kristus khan di baptis di Sungai Yordan. Inilah yang sebenarnya kita menuruti Injil Yesus Kristus, ajaran Yesus Kristus. Pada waktu itu, banyak sekali orang kaget melihat, pada waktu itu orang masuk kumpulan namanya, si itu sekarang masuk kumpulan, begitu, karena sering kumpul-kumpul. Kalau pada waktu itu, kalau kita tidak kebaktian misalnya pada hari Minggu itu, pasti dikunjungi kerumahnya, ditanya apa sebabnya, apa perlu didoakan, masalah apa yang ada, begitu. Kalau pada waktu itu berani orang-orang yang menjadi pengikut Tuhan Yesus, biar dia dicaci maki misalnya, tidak diperbolehkan minum yang keras, merokok, makan sirih, itu, keras artinya dilarang itulah, apalagi makan makanan surudan.
Tidak boleh itu ya ?
Tidak, padahal kitab suci khan mengatakan Rasul Paul bagaimana jemaat di perintis, khan ada perintis itu.
Orang tua bapak, baptisan pertama disini ? bersamaan dengan ayahnya Pak Sudirman itu ?
Ya, disana sudah dirumah Pak Ketut Yahya itu.
Banyak waktu itu pak, berapa orang ?
Kalau kira-kira pada waktu itu paling banyak 7 keluarga, jiwa. Khan orangtuanya, istri, anak, begitu pada waktu itu. Kalau di Sungai Poh itu khan pilihan dulu, dari jemaat Buduk, jemaat Untal-Untal, dari Sading, dari Sini.
Bapak tahu waktu itu 7 yang dibaptis siapa saja ?
Ini sudah, keluarga saya, keluarga Pak Wayan Landuh itu, keluarga-keluarga dia itu.
Bapak ikut pada waktu itu ?
Ikut, baptis celup sudah waktu itu.
Bapak pada waktu itu berapa orang yang dari keluarga bapak ?
Kalau saya cuma berempat pada waktu itu.
Berempat, ayah bapak, ibu, bapak sendiri dan siapa lagi satu ?
Orang tua, dua, anak empat orang, berenam jadinya.
Berenam ?
Ya, keluarga perempuan juga ikut keluarganya.
Berarti banyak KK-nya ?
KK-nya sedikit, saya, Landuh, Pak Riden, khan tiga. Tiga KK itu saja sudah banyak jiwanya begitu, kurang lebihnya begitu. Yang penting khan KK-nya itu, banyak sedikitnya tidak, anggota itu tidak begitu penting.
Tuan Tsang yang langsung membaptis ?
Ya. Itu tandanya dia, kalau saya menilai supaya orang itu jangan lagi maju mundur, begitu dia diberi pengajaran di rumah atau di gereja, begitu dia sudah memahami pokok-pokok itulah soal jawab, ia diresmikan dibaptis dan sanggahnya diturunkan.
Yang menyuruh menurunkan itu Pak Tsang langsung pak ?
Ya, keluarga-keluarga itu ya. Khan dia, kasi upacara juga itu, tidak diturunkan begitu saja, dia upacara. Upacara ya...sekedar baca alkitab, ya berdoa, begitu.
Bapak tahu tidak apa yang menyebabkan Tuan Tsang kesini, ada apa disini sehingga Tuan Tsang sampai disini ?
O..... ada hubungannya. Ada hubungannya dari.... umpama, di Buduk dia soal jawab hanya bertanya khan begitu, apalagi pada waktu itu Gusti Putu Sanur itu menjadi balian. Nah.. saya, orang tua saya juga pernah mencari obat pada Gusti Putu Sanur, khan dia menceritakan disana, begitu. Kalau didesa sana khan begitu misalnya Pak Tsang To Hang bertanya, siapa kamu kenal di desa Abianbase khan begitu mungkin dia bertanya. Lantas Gusti Putu Sanur bercerita,”O...disana saya punya anak buah, dia sering mencari obat kesini”, khan begitu dia bilang. Begitu caranya. Lantas sampai umpamanya disini di Abianbase khan dia ngobrol, tanya-tanya, “Kalau di banjar Semate, siapa yang kamu kenal ? siapa yang menjadi tokoh agama Hindu disana”, begitu. Diceritakan lantas, begitu, padahal hubungan secara keluarga tidak ada.
O...begitu, berteman saja pak ya ?
Ya, tidak ada hubungan keluarga. Umpamanya saya dengan Ketut Yahya, Ketut Nggi itu khan tidak ada hubungan keluarga. Umpamanya saya dengan Gusti Putu Sanur khan tidak ada hubungan keluarga. Hanya dalam cerita, kontak, begitu. Makanya saya ceritakan caranya Tuan Tsang ini mengabarkan Injil, dia tetap seperti Tuhan Yesus mencari murid. Tuhan Yesus mencari murid yang 12 itu khan persaudaraan. Seperti yang saya katakan tadi itu, khan Petrus, Yakub dan Yohanes itu khan dia bersaudara, coba di Injil-Injil itu pasti itu.
Ayahnya bapak pada waktu itu langsung mau pindah agama pak  ?
Ayah saya ?
Ya pada waktu itu ?
Bagaimana ya, makanya saya ikut begitu khan karena orang tua yang pertama, sampai sanggahnya diturunkan, dijual, saya masih ingat itu. Lantas uangnya digunakan pindah, itu tidak ada apa-apa pada waktu itu.
Bagaimana keadaan disini pada waktu itu pak ?
Masih zaman Belanda, masih genting-gentingnya Belanda memerintah. Pemerintahan sedang ketat sekali. Kalau saya bekerja sehari menjadi kuli, dapat upah satu ketip, 10 sen artinya.
Bapak khan masih kecil pada waktu itu ?
Saya sudah bisa nyabit, memelihara sapi, memelihara anak sapi, terus SD.
Ketip itu berapa pak ?
Kalau sekarang Rp 100,-. Itu. Makanya kalau sehari kita bekerja paling banter dapat uang 15 sen. Satu hari.
Sen itu lebih sedikit dari ketip begitu ?
Ya. Uang pada waktu itu perak.
Yang tebal besar itu pak ?
Ya. Kalau seandaianya bekerja, terus membeli celana, itu susah. Waktu itu mahal seluruhnya. Makanya Injil bisa masuk ke Bali pada waktu itu, zaman Belanda tidak begitu diperhatikan agama-agama itu.
Tidak diperhatikan  ?
Tidak, tidak ada artinya fanatiklah, bebas pada waktu itu. Makanya pemangku-pemangku itu banyak yang menjadi orang Kristen. Kalau disini para penginjil itu, penginjil khan tahu di Abianbase itu, sekarang Pan Nambrig namanya, mertuanya Pak Mastra jadi penginjil.
Pak Mastra yang di Karangansem itu ?
Ya, yang jadi ketua Sinode dulu.
Pan Nambrig namanya ?
Ya panggilannya Pan Nambrig. Itu istrinya Pak Mastra khan Luh Nambrig namanya. Namanya yang menjadi penginjil itu Nyoman Gedol.
Nyoman Gedol ?
Ya, penginjil yang pertama di Abianbase namanya Nyoman Gedol. Ini pertama sekali pada waktu Tuan Tsang.
Penginjil ini ?
Ya, cuma tamat SD saja. Saya sering disindir-sindir diajak bercanda. Begini caranya kalau dia habis kebaktian di gereja, dia jalan naik sepeda gayung….
Dulu dimana gerejanya ?
Disana sudah di rumah Ketut Yahya.
Memang sudah disana ?
Ya. Dibuat bangunan “sekepat” beratapkan jerami.
Tidak seperti sekarang ini ya ?
Tidak, kalau saya ceritakan dibandingkan dengan sekarang seperti kandang ayam.
Terus jalan disini, jalan kecil dulu ya ?
Kecil, seukuran untuk dilewati satu motor saja tidak ada, jalannya tidak begini. Kalau saya ceritakan, Nyoman Gedol itu aduh…..waktu sudah setiap habis kebaktian di gereja dia jalan menginjil ke warung-warung, dimana saja ada warung dia berhenti sambil beli teh atau kopi tiap-tiap warung itu, sambil cerita-cerita, begitu caranya mengabarkan. Kalau dia melihat saya, “Hai…. gadingan”, dibegitukan saya. “Begini..begini ya”, saya orang tua saya khan sudah Kristen, disindir saya, begini ada biar tahu diberitahu oleh Tuan Tsang, “Seperti pasir dipantai laut……”. Begitulah dia menyanyikan saya. ”Seperti pasir dipantai laut........”.
Apa maksudnya itu pak ?
Begitu banyaknya orang memuji Ida Sang Hyang Widhi, “Seperti pasir dipantai laut.....begitu banyaknya yang memuji Tuhan ........seperti pasir dipantai laut......” begitu lagunya. Pokoknya dia selalu begitu bernyanyi sambil menaiki sepeda. Lalu saya jawab puji Tuhan Haleluya, begitu.
Mana lebih tua bapak dengan Nyoman Gedol ini ?
Lebih tua dia.
Jauh lebih tua dari bapak ?
Dia sudah jadi penginjil saya masih SD.
Bapak dulu dimana SDnya ?
Di Kapal. Cuma satu ada sekolahan disitu saja.
Sekolah apa namanya pak ?
Sekolah SD, bayar lagi.
Bayar ?
Ya, bayar tiap bulan.
Berapa bayarnya ?
Tiga sen.
Khan jauh bapak sekolah dari sini ?
Jauh, jalan kaki. Cuma satu, di Buduk, di Abianbase, di Untal-Untal, dimana-mana tidak ada sekolahan.  Belanda membuat sekolah satu itu saja.
Apa nama sekolah itu ?
Sekolah Dasar Kapal, Desa Kapal.
Di sebelah mana tempatnya itu pak ?
Di lurusan jalan dari Timur ini ke Barat.
Jalan dari Timur itu lurus ke Barat khan ada belokan ?
Ya, pas disebelah barat belokan itu.
Jalan ke Barat itu pak ya ?
Ya, jalan ke Barat itu. Setelah tamat sekolah disana, saya ke Mengwi, jalan kaki 2 tahun.
Bapak sekolah SMP di Mengwi ?
Ya. Di Mengwi, cuma satu itu saja yang ada.
Dimana itu tempatnya ?
Di sebelah Selatan Kantor Camat, di Timur jalan. Sekarang sudah jadi sekolahan.....
SD yang disebelah Taman Ayun itu pak ?
Di Selatan, di Pura Desa Mengwi itu.
Pura Bale Agung itu ?
Ya. Di sebelah Barat khan ada Pura Desa, di sebelah Timurnya itu sekolahnya. Cuma itu saja satu.
O...yang di SD itu, di pertigaan itu ya ?
Ya...vervolgscholl nama sekolahnya. Waktu itu tidak ada. Disitu saya bayar perbulannya 1 ketip, 10 sen. Dua tahun jalan kaki kesana, bagaimana.....tidak naik sepeda dengan teman-teman, inilah yang dulu saya ajak bapaknya Wayan Sudirman.
Kenapa dua tahun sekolahnya pak ? bagaimana orang sekolah pada waktu dulu ?
Dua tahun apa tiga tahun ya ? tiga tahun rasanya. Begini waktu itu.....
Berbeda dengan sekarang pak ?
Ya berbeda, sekolah SD tiga tahun, sekolah SMP dua tahun. Di kejar lima tahun. Ijasah saya masih ada sampai sekarang.
Lalu, siapa yang membiayai sekolah bapak ? bapak mencari uang sendiri ?
Begini, saya ya....masih bisa mencari, menjadi kuli biasanya menyabit, mencarikan rumput sapinya teman, ada orang yang menyuruh menyabit, menyuruh merabas rumput, dapatlah gaji segitu untuk sekolah. Lainnya, membantu orang membajak sawah diberikan uang 5 rupiah, 5 sen, untuk bekal sekolah.
Banyak teman-teman bapak disini yang bapak ajak sekolah sama-sama disana ?
Disini, saudara Pan Sudirman dua orang, dan saya, khan jadinya bertiga. Disini di banjar saya orang Hindu satu, jadi berempat. Di Selatan di Abianbase, I Mandri, masih hidup dia sampai sekarang. Nyoman Pinia juga, dia sudah meninggal. Rentor juga saya ajak dulu, juga sudah meninggal. Jalan kaki waktu itu.
Pak, dulu disini khan sedikit orang berpindah agama ya, tidak pernah seperti di Untal-Untal  misalnya, saya pernah dengar orang Kristen mengalami kesengsaraan ? disini di Abianbase tidak pernah terjadi ?
Banyak ada, banyak. Kalau diceritakan sekarang dukanya, kalau saya waktu itu banyak sekali melihat duka, sengketa begitulah di desa itu. Sekarang khan sudah berbanyak. Kalau pada waktu pertama orang tua saya, memanglah ada. Bisa tidak diberi kuburan, tidak diberi tanah kuburan untuk menanam mayat. Waktu itu ada orang tua saya, sekarang menghadap, begitu. Sampai tiga hari mayatnya dirumah. Terus kita memohon ke Lurah, ke Camat, disitu berdialog. Kemudian ada keputusan dari sana, begini diberikan keputusannya, “Nah..ini sekarang boleh kamu mendapat tanah kuburan, tetapi jangan kamu menguburkan mayat pada saat Tilem atau Purnama, menjelang hari Tilem atau Purnama”.
Siapa yang diberitahu begitu, orang-orang Hindu ?
Bukan, kita.
Orang-orang Kristennya ?
Ya, biar kita rukun bersaudara, begitu. Kita kemudian dikenakan kewajiban pada waktu itu, dikenakan uang, urunan artinya, setiap ada upacara Melis, bulan tiga itu, jadi setahun sekali. Tiap-tiap orang Kristen kena urunan, 200 uang kepeng, kalau sekarang berapa itu, mungkin berharga lima puluh ribu, mahal uang itu, sampai sekarang juga masih mahal.
Dulu mahal juga pak ?
Mahal, susah mencari uang kepeng itu.
Harus uang kepeng pak ?
Ya.
Tidak boleh diganti dengan yang lain ?
Tidak, karena itu yang dipakai untuk upacara ke niskala. Lama kelamaan boleh akhirnya, sebab uangnya itu mahal dan susah dicari, akhirnya bisa diganti dengan uang kertas. Uang apa saja ada, uang perak ada, uang perak dipakai. Begitu yang pertama, setelah itu lama-kelamaan ada yang kedua, hambatan yang kedua, berhenti diberikan kebebasan, Purnama-Tilem tidak boleh, kemudian lama-lama tidak diizinkan. Biar dia membayar urunan, pokoknya harus dipisahkan, jangan diberi orang Kristen  ikut, tanah kuburan ini milik orang Hindu, begitu kemudian jadinya. Tiap langkah, ada saja rencana baru di desa khan begitu, lagi begitu...waktu itu disini kering, sampai keluarga disini di Semate ini waktu sebanyak 12 KK dirampas, apa saja punya dirampas, apakah itu belati, cangkul, yang penting-penting.
Bapak kena pada waktu itu ?
Kena, saya dulu punya pedang yang mau dipakai berperang, waktu itu khan Jepang sudah masuk ke Indonesia, khusus ke Bali. Kemudian membuat persiapan pedang untuk dibawa berperang, menyerbu tentara Jepang. Itulah akhirnya diambil pedang saya, 50 ribu mungkin ada harganya itu, bagus, ada sarungnya, maunya untuk dibawa berperang khan bagus saya buat. Akhirnya diambil, dirampas, karena saya tidak mau membayar urunan.
Tidak diizinkan menguburkan disana, lalu dimana menguburkan ?
Sampai akhirnya ke Bupati, terus berdialog. Semua Dewa Sangan datang kesini, sampai polisi, tentara. Awalnya waktu itu ada kejadian saudara Katholik setelah habis pembagian tanahnya, tanah kuburannya, masih saja dia menanam disana, padahal sudah habis tanah bagiannya, sampai tanah bagian orang Hindu itu dia pakai. Umat Hindu kemudian marah dan membongkar mayatnya.
Mayat orang Katholik yang ditanam itu ?
Ya. Dikembalikan kemudian, mayat itu dikembalikan, coba bagaimana keras baunya itu. Darisitu kemudian ada keterangan Bupati perihal pembagian tanah kuburan orang Kristen sekian, sekarang ada di Selatan, dipinggir jalan itu.
Yang dibelokan itu pak ?
Ya. Orang Katholik segini, orang Protestan segini.
Berkumpul disana lokasinya pak ?
Ya, berkumpul, tanah cuma 10 are, dibagi dua, masing-masing 5 are. Itu terakhir pengukuran tanahnya, sebelumnya itu tidak dapat diungkapkan hebatnya. Kalau saya pada waktu itu ber-12 orang kesana ke Camat, menghadap bersoal jawab disana, pokoknya berani pada waktu itu. Biar mati karena ini, pokoknya berani tidak ada rasa takut.
Tuan Tsang masih disini waktu kejadian itu pak ?
Tidak. Sebelumnya sudah tidak, tetapi masih ada di Indonesia. Dia tidak masih disini. Sebelum itulah hebat, kalau saya ceritakan waktu itu di Pelambingan, sampai anak kecil meninggal, dimana-mana tidak diberikan kuburan, sampai akhirnya dibakar kemudian waktu itu di Pelambingan. Kalau disini khan tidak sampai begitu. Terus berdebat, dirampas, dilelang, pokoknya berani. Ke kantor Camat menghadap, seingat saya waktu itu 12 orang kesana. Macam-macam omongannya disana Camat memberikan keputusan, dihibur kita, mau membayar urunan dapat kuburan. Tanah kuburannya habis terus bagiannya seperti Katholiknya, keluar lagi pertengkaran, begitu.
Kalau Tuan Tsang, lama disini pak ? berapa tahun dia disini ?
Ya paling tidak 3 tahunan ada. Tapi akhirnya dia keliling mengabarkan, tidak hanya di Indonesia saja, tidak hanya di Bali saja didikannya dia. Kalau saya, matap pada waktu itu, masih saja saya ingat semangat-semangatnya dia  mengabarkan Injil, bernyanyi. Kalau bernyanyi alat-alatnya di gereja itu....  [bersambung]

No comments:

Post a Comment