Nama Informan: I Made Gedab [1]
Pewawancara : Putu Ayu Rastiti, team peneliti TSP
Tempat : Banjar Semate - Abianbase, Badung, 20 September 2001
Transkriptor : Putu Ayu Rastiti,
team peneliti TSP
Editor : Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Transkriptor : Wahyuni, team
peneliti TSP
Bapak tahun berapa pindah agama ?
Waktu Injil kesini ?
Ya, Tuan Tsang itu.
Bapak tahu Tuan Tsang
itu ?
Tahu, saya sudah SD.
Bapak sudah SD ?
Sudah SD, ya kira-kira umur saya 6
atau 7 tahun. Orang tua saya waktu itu sudah mulai.
Siapa yang pertama,
orang tua bapak ya ?
Orang tua
saya, saya khan cuma mengikuti ajakan orang tua. Sebab pada waktu itu di
sekitar keluarga orang tua saya itu di Utara itu, sekarang Pak Sudirman,
kakeknya dialah yang saya ajak bertetangga, dialah yang mengajak waktu turunnya
Tuan Tsang itu.
Siapa nama kakeknya Pak Sudirman itu ?
Wayan
Landuh.
Dari sini juga ?
Saya
bertetangga, pisah tembok saja. Sekarang masih ada keluarga saya disana, disini
khan dulunya sawah, saya khan baru kesini sekitar tahun 80-an.
Dulu bapak tidak disini ?
Tidak,
disana di Selatan, di desa. Di kampung, sama Pak Sudirman.
Terus pindah kesini ?
Ya,
pindah kesini.
Orang tua bapak siapa namanya ?
Bapak
saya, I Wayan Celos.
Bersama ibunya bapak dulu semua berpindah agama pada waktu itu ?
Ya,
sekeluarga.
Ibunya bapak siapa namanya ?
Wayan
Sadri.
Sama saudara-saudara juga pak ?
Ya.
Bapak berapa bersaudara ?
Saya,
lima orang. Disini, yang lahir di Abianbase-Semate empat orang, di Blimbingsari
satu.
Bapak nomor berapa ?
Nomor
dua.
Siapa-siapa saja nama saudara bapak ?
Nomor
satu Ni Wayan Cebur.
Nomor dua bapak ?
Ya, saya
Made Gedab.
Nomor tiga ?
Nyoman
Gedib.
Nomor empat ?
Itu
perempuan, Ketut Catri.
Nomor lima ?
Mulai
Wayan, Wayan Rustin, pindah ke Prigi.
Prigi Sulawesi ?
Ya,
Sulawesi Tengah, kota Palu.
Transmigrasi pak ?
Ya
transmigrasi, dari Blimbingsari transmigrasi pindah ke Palu.
Ayahnya bapak berapa jumlah saudaranya ?
Saudaranya
? Yang pertama, I Wayan Celos, kakek saya. Yang nomor dua Made Celes.
Yang ketiga ?
Yang
ketiga Nyoman Celis. Kemudian Ketut Gubed.
Wayan Celos itu kakek atau ayahnya bapak ?
Ayah
saya.
Saudara ayahnya bapak semuanya masuk Kristen ?
Ya semua
waktu itu. Waktu itu “seguluk”, bagaimana diajak oleh saudaranya, begitu dia
ikut, tidak mau dia mengasingkan diri lain agama, tidak. Makanya semua disini
percaya waktu Tuan Tsang itu, karena begitu Tuan Tsang datang lebih mantap mendapat
keterangan daripada pekabar-pekarab yang lain, mantap. Dia mengajar di
kampung-kampung itu lebih aktif, lebih keras, begitu. Kalau saya ceritakan itu
mengerikan, kalau sekarang pendeta berkotbah seperti pada waktu Tuan Tsang
banyak orang yang tunduk, pada waktu itu khan....
Coba bapak ceritakan......
Pada
waktu itu kalau ada orang mau minum anggur, arak, dan bermacam minuman yang
keras, dia marah. Malah ditobatkan atau diajar di gereja atau dirumahnya. Kalau
ada yang mau merokok, makan sirih, dsbnya itu.
Tidak boleh itu ?
Tidak
boleh merokok, minum, makan sirih, tidak boleh. Keras, malah dihujat. Begini
dia “Kalau orang mengukuti Kristus masih ada tabiat yang lama, mau menuruti
hawa nafsu, misalnya minuman ketan, merokok, minuman macam yang memabukkan,
dsbnya, itu adalah sifatnya seperti babi”. Begitu dia, itu khan keras artinya.
Tuan Tsang itu bilang begitu ?
Ya. Waktu
itu semua orang disana takut, tidak mau pergi ke warung, tidak mau
belanja-belanja di luar itu, takut dia, karena ajarannya begitu keras. Malah,
“Kamu kalau sudah menjadi murid Kristus, jangan lagi bermabuk-mabukkan, jangan
lagi mengotori diri”. Artinya kalau orang memakan sirih itu dia menganggap
kotor.
Apa yang menyebabkan kotor itu pak ?
Kotornya
itu dia khan meludah, merah, begitu. Kalau ada yang merokok itu artinya dia
tidak sebagai pengikut Kristus, artinya belum begitu tobatnya sampai mendalam.
Makanya dia mengandaikan pada waktu itu kamu sebagai sifat babi. Tahu sifat
babi, celeng itu ?
Jorok ?
Tidak,
kalau sifat babi itu, kalau dia sudah habis makan dia khan senang ke tempat
yang berlumpur, bergumul di lumpur dengan debu, begitulah, khan keras. Kalau
sekarang ada pendeta yang berani berkotbah seperti Pak Tsang itu, banyak yang
mundur. Kalau saya lihat saudara-saudara kita yang di Protestan, banyak yang
masih makan sirih, minum minuman keras, merokok.
Saat sekarang maksudnya pak ?
Saat
sekarang khan banyak, coba Pak Sudirman itu khan masih suka merokok. Itulah,
kalau dulu ada yang sifatnya begitu, terus dicaci maki sampai dia betul-betul
bertobat.
Tidak takut Pak Tsang bersikap keras begitu pak ?
Tidak
takut. Malah kalau ada orang Hindu yang mendengar kotbahnya itu wih...marah
orang Hindu. Malah sering dia menghujat, disindir-sindir begitulah agama Hindu
itu sering disebut agama pengotor, berani dia begitu, dia tidak takut dimarahi,
dilempari kayu, atau batu dia tidak takut, berani.
Dulu bagaimana caranya Tuan Tsang bisa sampai disini, kemana dia
pertama ?
Kalau
pada tahun itu, dekat di Buduk yang bernama
Gusti Putu Sanur, dirumahnya Gusti Putu Sanur, di balian itu.
Kesana dia Tsang To Hang begitu ?
Ya, pasti
ada satu rumah yang dia tempati sementara, untuk tempat tinggalnya sementara.
Disini tempo hari dirumahnya Pak Ketut Yahya. Nama aslinya itu Ketut Nggi,
kemudian setelah menjadi orang Kristen, Ketut Yahya.
Dimana lebih dahulu Pak Tsang tiba, di Buduk apa di Abianbase ?
Di Buduk
pertama.
Di Buduk ?
Ya.
Disana dia ingin mencari orang yang menjadi tokoh agama, itu Gusti Putu Sanur
itu menjadi tokoh agama, tokoh agama Hindu, makanya dia menjadi begitu, sebab
dia dukun. Balian istilah Balinya. Sesudahnya menjadi Kristen, masih dia
melakukan obat-obatan, mau menolong orang-orang yang memerlukan penyembuhan.
Kalau di Abianbase dirumah Pak Ketut Yahya itu hanya ini tokoh yang sangat berbahagia,
sangat berbahagia tokoh ini. Apa sebabnya saya bilang begitu, tempat gereja
sekarang itu...
Yang baru dibangun itu ?
Ya, yang
disebelah barat jalan itu, itulah tanda bukti dia mempersembahkan tanahnya.
Itu dulu milik Pak Ketut Yahya begitu ?
Ya, sekian
are itu dipersembahkan. Sebab pada waktu itu dia merasa hatinya sangat
terpanggil oleh Tuhan. Begitu dia punya tanah, ya diartikan boleh dikatakan ada
sisa dari tempat yang dia bangun rumahnya sendiri. Rumahnya sendiri itu khan
disebelah utaranya.
Di sebelah utara gereja pak ?
Ya. Itu
persaudaraannya itu. Dia bersaudara 4 orang berani dia mempersembahkan tanahnya
sekian are itu. Pada waktu itu saya masih ingat tanah yang dipersembahkan pada
waktu itu kurang lebih 8 are. Penuh dengan tanaman kelapa, berani dia
mempersembahkan. Maka itulah dia boleh dikatakan tokoh. Sampai dia itu banyak
membaptis orang.
Pak Ketut Yahya ini ? Berarti sudah pendeta ?
Dia dapat
dikursuskan ke Makasar.
Siapa yang mengursuskan ?
Utusan
dari gereja Jawi Wetan.
Jawi Wetan ?
Ya, Jawa
Timur. Hanya jadi pemimpin pada waktu itu. Tapi pada waktu itu kebanyakan
menggunakan bahasa daerah.
Bahasa Bali ?
Ya,
supaya orang tua-tua itu sangat mengerti. Kalau saya ceritakan, pada waktu itu
banyak pemangku-pemangku yang menjadi Kristen, misalnya Pan Montong dari banjar
Gede, dia jadi Kristen. Pada waktu Tuan Tsang juga dia jadi pemangku Pura Desa
Abianbase, pada waktu itu.
Apa sebabnya bapak bisa pindah agama ?
Begini,
Tuan Tsang pada waktu itu memperbandingkan agama Hindu dengan agama Kristen,
kalau di agama Hindu apa yang menjadi pegangan yang mutlak, jadi pada waktu itu
pemangku atau tokoh-tokoh yang lain, seperti misalnya klian, tidak bisa
menjawab dengan tepat. Kalau di cari didalam ajaran agama Hindu di Anombaksari
namanya, di kitab Saracamuscaya, atau di geguritan-geguritan, tidak ada
pegangan yang kuat untuk menuju hidup manusia dikemudian hari tidak ada
pegangan yang kuat. Biar dia sudah menjadi pemangku di pura-pura tidak ada.
Hanya Tuan Tsang itulah yang memberi keterangan yang jelas pada waktu dia
mengajar di jemaat, di rumah-rumah tangga, pegangan yang kuat dalam menjadi
murid Yesus Kristus, hanya Tuhan itu berjanji memberikan kepada tiap-tiap
manusia yang percaya kepadaNya diberi hidup yang kekal, itu dia pegang. Ini
khan jelas dalam Injil Yahya 3 ayat 16. Itu yang dipakai dasar oleh Tuan Tsang.
Makanya banyak dibanding-bandingkan dalam ajaran Hindu da disebutkan Allah atau
Dewa disana tidak ada menjanjikan akan memberi hidup yang kekal, artinya
memberi pahala, biarpun dia itu menjadi begitu banyak agama, banyak penganutnya
tidak ada dijanjikan itu oleh Tuhan, hanya di agama Kristen, hanya di dalam Yesus Kristus ada dijanjikan oleh
Tuhan. Ini yang menjadi perbandingan yang tepat sekali pada waktu itu, makanya
pemangku-pemangku itu bisa dia memberi perbandingan dengan agama yang lain.
Makanya dia menjadi pengikut Kristus. Itu kotbahnya yang pertama yang menjadi
tema pada waktu itu.
Tahun berapa Tuan Tsang kesini pak ?
Tahun
30-an.
Dari Buduk datang kesini begitu ?
Ya,
artinya dekat disini. Terus di Buduk, di Untal-Untal, di Sading, itu khan
artinya keluarga, satu camat. Jadi pada waktu itu begini, kalau Tuan Tsang
memberi arahan, ajaran di rumah atau di gereja, dia terus memaparkan dari
pertama bagaimana Yesus itu mendapat pengikut. Begitu, dari sana dicari jalan
untuk menangkap orang-orang di desa, di kampung. Lagipula yang saya jelaskan
tadi itu khan dari sudut agama, makanya orang yang tua-tua, tidak ada yang
umur-umur bujangan pada waktu itu menjadi pengikut Kristus, pasti orang yang
sudah lansia, yang tahu sudah membedakan ajaran agama. Maka dari itu dia terus
memaparkan caranya untuk mencari pengikut Kristus. Umpamanya seperti saya,
bapak saya, bapak saya khan dia punya saudara bapaknya Wayan Sudirman, artinya
berdekatan bertetangga. Begitu juga pada waktu Yesus datang ke dunia, dia khan
mencari muridnya yang ke 12, bagaimana caranya ? pasti Simon – Petrus, dia
bersaudara dengan Yohanes, pada Yakub, khan begitu. Begitulah caranya
mengembangkan.
Berarti dari saudara begitu ?
Dari persaudaraan
atau dari kekeluargaan.
Siapa yang pertama pindah agama disini, yang mempelopori pindah
agama disini di Abianbase ?
Yang di
Abianbase sudah tua-tua, saya kalau disini masih banyak yang saya ingat, kalau
disana di Abianbase itu Pak Kranjing ditanyakan, karena saya sama umur.
Kalau di Semate ini siapa yang bapak ketahui pertama ?
Disini,
Wayan Landuh, itu khan dulu. Pan Wayan Riden, ini saudaranya Wayan Landuh.
Ini yang pertama ?
Ya,
itulah orang-orang tua, orang yang ahli dalam agama Hindu. Itu hanya
persaudaraan saja ini, Pan Wayan Riden, Pan Wayan Geledeg. Persaudaraan juga
ini satu keluarga, Wayan Riden ini punya adik Ketut Kuntu.
Adiknya Wayan Geledeg itu ?
Ya, Wayan
Geledeg, Ketut Kuntu, Ketut Brani. Kalau yang di selatan di Banjar Gaduh itu Pan
Wayan Rembyak, itu di Br. Gaduh. Kalau dia Abianbase disitu ditanyakan, kalau
saya disini masih ingat nama-namanya. Itu kalau Pak Kranjing ditanyakan pasti
jelas dia bisa menceritakan masalah orang-orang yang percaya pada waktu itu,
orang-orang yang dibaptis, baptis celup pada waktu itu.
Baptis celup, dimana itu pak ?
Di rumah,
di rumah Ketut Yahya itu, memakai bak.
Memakai bak ?
Ya,
membuat bak.
Siapa yang membaptis ?
Tuan
Tsang.
Tahun berapa itu pak ?
Itulah
pada tahun 30-an.
Langsung tahun 30-an itu ?
Ya. Diberikan
pengajaran beberapa bulan. Lagi pula pada waktu itu entah berapa sanggah
dihancurkan. Kalau dia sudah dibaptis, dia punya sanggah yang mewah, sanggah
yang sederhana terus dibongkar, diturunkan, supaya jangan dia lagi dia
mengingat-ingatkan, atau dia masih ke pura-pura atau ke sanggah itu.
Sanggah bapak ikut dibongkar ?
Ya,
sampai di jual oleh orang tua.
Apanya yang dijual ?
Sanggah-nya,
sesudah diturunkan ada orang Hindu itu yang mau beli.
Bangunannya maksud bapak ?
Ya, masih
utuh begitulah, diturunkan, banyak pada waktu itu.
Tidak ribut pada waktu itu pak ?
Ya,
orang-orang itu cuma kaget saja, tetangga. Banyak saya melihat pada waktu orang
menurunkan sanggah, pada waktu baptisan. Ini khan orang belum ke Sungai Yeh Poh
baptisan.
Mana duluan baptisan di Sungai Yeh Poh apa disini ?
Kalau
disini begini, apa namanya, kalau sudah begitu banyak pengikutnya akan
disatukan lagi ke Sungai Yeh Poh, yang berdekatan misalnya Untal-Untal, Buduk,
yang berdekatan. Disini berhubung pada waktu masih banyak anggotanya, maksudnya
Tuan Tsang itu perlu diresmikan dia menjadi pengikut Kristus agar jangan lagi
dia kocar kacir, jangan lagi dia maju mundur. Begitu dia mengaku menjadi
pengikut Kristus yang sungguh-sungguh, begitu sanggahnya diturunkan, lantas dia
dibaptis, begitu. Makanya dibikin bak dirumahnya Pak Ketut Yahya itu.
Apa yang digunakan membuat bak itu pak ?
Itu
seperti tempat air itu, semen.
Khan lama membuatnya ?
Lama.
Besar baknya ?
Besar
baknya, segini kira-kira ada. Dicemplungkan.
Satu-satu pak ?
Ya, satu-satu.
Pada waktu itu mantap sekali, apa yang menyebabkan mantap, begitu dia mengaku
kepercayaan dimuka saudara-saudaranya, dimuka pendeta, begitu dia diresmikan,
kalau istilah sekarang dimatsaikan dia dalam air. Itu pada waktu itu menurut
Injil, Yesus Kristus khan di baptis di Sungai Yordan. Inilah yang sebenarnya
kita menuruti Injil Yesus Kristus, ajaran Yesus Kristus. Pada waktu itu, banyak
sekali orang kaget melihat, pada waktu itu orang masuk kumpulan namanya, si itu
sekarang masuk kumpulan, begitu, karena sering kumpul-kumpul. Kalau pada waktu
itu, kalau kita tidak kebaktian misalnya pada hari Minggu itu, pasti dikunjungi
kerumahnya, ditanya apa sebabnya, apa perlu didoakan, masalah apa yang ada,
begitu. Kalau pada waktu itu berani orang-orang yang menjadi pengikut Tuhan
Yesus, biar dia dicaci maki misalnya, tidak diperbolehkan minum yang keras,
merokok, makan sirih, itu, keras artinya dilarang itulah, apalagi makan makanan
surudan.
Tidak boleh itu ya ?
Tidak,
padahal kitab suci khan mengatakan Rasul Paul bagaimana jemaat di perintis,
khan ada perintis itu.
Orang tua bapak, baptisan pertama disini ? bersamaan dengan
ayahnya Pak Sudirman itu ?
Ya,
disana sudah dirumah Pak Ketut Yahya itu.
Banyak waktu itu pak, berapa orang ?
Kalau
kira-kira pada waktu itu paling banyak 7 keluarga, jiwa. Khan orangtuanya,
istri, anak, begitu pada waktu itu. Kalau di Sungai Poh itu khan pilihan dulu,
dari jemaat Buduk, jemaat Untal-Untal, dari Sading, dari Sini.
Bapak tahu waktu itu 7 yang dibaptis siapa saja ?
Ini sudah,
keluarga saya, keluarga Pak Wayan Landuh itu, keluarga-keluarga dia itu.
Bapak ikut pada waktu itu ?
Ikut,
baptis celup sudah waktu itu.
Bapak pada waktu itu berapa orang yang dari keluarga bapak ?
Kalau
saya cuma berempat pada waktu itu.
Berempat, ayah bapak, ibu, bapak sendiri dan siapa lagi satu ?
Orang
tua, dua, anak empat orang, berenam jadinya.
Berenam ?
Ya,
keluarga perempuan juga ikut keluarganya.
Berarti banyak KK-nya ?
KK-nya
sedikit, saya, Landuh, Pak Riden, khan tiga. Tiga KK itu saja sudah banyak
jiwanya begitu, kurang lebihnya begitu. Yang penting khan KK-nya itu, banyak
sedikitnya tidak, anggota itu tidak begitu penting.
Tuan Tsang yang langsung membaptis ?
Ya. Itu
tandanya dia, kalau saya menilai supaya orang itu jangan lagi maju mundur, begitu
dia diberi pengajaran di rumah atau di gereja, begitu dia sudah memahami
pokok-pokok itulah soal jawab, ia diresmikan dibaptis dan sanggahnya
diturunkan.
Yang menyuruh menurunkan itu Pak Tsang langsung pak ?
Ya,
keluarga-keluarga itu ya. Khan dia, kasi upacara juga itu, tidak diturunkan
begitu saja, dia upacara. Upacara ya...sekedar baca alkitab, ya berdoa, begitu.
Bapak tahu tidak apa yang menyebabkan Tuan Tsang kesini, ada apa
disini sehingga Tuan Tsang sampai disini ?
O.....
ada hubungannya. Ada hubungannya dari.... umpama, di Buduk dia soal jawab hanya
bertanya khan begitu, apalagi pada waktu itu Gusti Putu Sanur itu menjadi
balian. Nah.. saya, orang tua saya juga pernah mencari obat pada Gusti Putu
Sanur, khan dia menceritakan disana, begitu. Kalau didesa sana khan begitu
misalnya Pak Tsang To Hang bertanya, siapa kamu kenal di desa Abianbase khan
begitu mungkin dia bertanya. Lantas Gusti Putu Sanur bercerita,”O...disana saya
punya anak buah, dia sering mencari obat kesini”, khan begitu dia bilang. Begitu
caranya. Lantas sampai umpamanya disini di Abianbase khan dia ngobrol,
tanya-tanya, “Kalau di banjar Semate, siapa yang kamu kenal ? siapa yang
menjadi tokoh agama Hindu disana”, begitu. Diceritakan lantas, begitu, padahal
hubungan secara keluarga tidak ada.
O...begitu, berteman saja pak ya ?
Ya, tidak
ada hubungan keluarga. Umpamanya saya dengan Ketut Yahya, Ketut Nggi itu khan
tidak ada hubungan keluarga. Umpamanya saya dengan Gusti Putu Sanur khan tidak
ada hubungan keluarga. Hanya dalam cerita, kontak, begitu. Makanya saya
ceritakan caranya Tuan Tsang ini mengabarkan Injil, dia tetap seperti Tuhan
Yesus mencari murid. Tuhan Yesus mencari murid yang 12 itu khan persaudaraan.
Seperti yang saya katakan tadi itu, khan Petrus, Yakub dan Yohanes itu khan dia
bersaudara, coba di Injil-Injil itu pasti itu.
Ayahnya bapak pada waktu itu langsung mau pindah agama pak ?
Ayah
saya ?
Ya pada waktu itu ?
Bagaimana
ya, makanya saya ikut begitu khan karena orang tua yang pertama, sampai
sanggahnya diturunkan, dijual, saya masih ingat itu. Lantas uangnya digunakan
pindah, itu tidak ada apa-apa pada waktu itu.
Bagaimana keadaan disini pada waktu itu pak ?
Masih
zaman Belanda, masih genting-gentingnya Belanda memerintah. Pemerintahan sedang
ketat sekali. Kalau saya bekerja sehari menjadi kuli, dapat upah satu ketip, 10
sen artinya.
Bapak khan masih kecil pada waktu itu ?
Saya
sudah bisa nyabit, memelihara sapi, memelihara anak sapi, terus SD.
Ketip itu berapa pak ?
Kalau
sekarang Rp 100,-. Itu. Makanya kalau sehari kita bekerja paling banter dapat
uang 15 sen. Satu hari.
Sen itu lebih sedikit dari ketip begitu ?
Ya.
Uang pada waktu itu perak.
Yang tebal besar itu pak ?
Ya.
Kalau seandaianya bekerja, terus membeli celana, itu susah. Waktu itu mahal
seluruhnya. Makanya Injil bisa masuk ke Bali pada waktu itu, zaman Belanda
tidak begitu diperhatikan agama-agama itu.
Tidak diperhatikan ?
Tidak,
tidak ada artinya fanatiklah, bebas pada waktu itu. Makanya pemangku-pemangku
itu banyak yang menjadi orang Kristen. Kalau disini para penginjil itu,
penginjil khan tahu di Abianbase itu, sekarang Pan Nambrig namanya, mertuanya
Pak Mastra jadi penginjil.
Pak Mastra yang di Karangansem itu ?
Ya,
yang jadi ketua Sinode dulu.
Pan Nambrig namanya ?
Ya
panggilannya Pan Nambrig. Itu istrinya Pak Mastra khan Luh Nambrig namanya.
Namanya yang menjadi penginjil itu Nyoman Gedol.
Nyoman Gedol ?
Ya,
penginjil yang pertama di Abianbase namanya Nyoman Gedol. Ini pertama sekali
pada waktu Tuan Tsang.
Penginjil ini ?
Ya,
cuma tamat SD saja. Saya sering disindir-sindir diajak bercanda. Begini caranya
kalau dia habis kebaktian di gereja, dia jalan naik sepeda gayung….
Dulu dimana gerejanya ?
Disana
sudah di rumah Ketut Yahya.
Memang sudah disana ?
Ya.
Dibuat bangunan “sekepat” beratapkan jerami.
Tidak seperti sekarang ini ya ?
Tidak,
kalau saya ceritakan dibandingkan dengan sekarang seperti kandang ayam.
Terus jalan disini, jalan kecil dulu ya ?
Kecil,
seukuran untuk dilewati satu motor saja tidak ada, jalannya tidak begini. Kalau
saya ceritakan, Nyoman Gedol itu aduh…..waktu sudah setiap habis kebaktian di
gereja dia jalan menginjil ke warung-warung, dimana saja ada warung dia
berhenti sambil beli teh atau kopi tiap-tiap warung itu, sambil cerita-cerita,
begitu caranya mengabarkan. Kalau dia melihat saya, “Hai…. gadingan”,
dibegitukan saya. “Begini..begini ya”, saya orang tua saya khan sudah Kristen,
disindir saya, begini ada biar tahu diberitahu oleh Tuan Tsang, “Seperti pasir
dipantai laut……”. Begitulah dia menyanyikan saya. ”Seperti pasir dipantai laut........”.
Apa maksudnya itu pak ?
Begitu
banyaknya orang memuji Ida Sang Hyang Widhi, “Seperti pasir dipantai
laut.....begitu banyaknya yang memuji Tuhan ........seperti pasir dipantai
laut......” begitu lagunya. Pokoknya dia selalu begitu bernyanyi sambil menaiki
sepeda. Lalu saya jawab puji Tuhan Haleluya, begitu.
Mana lebih tua bapak dengan Nyoman Gedol ini ?
Lebih
tua dia.
Jauh lebih tua dari bapak ?
Dia
sudah jadi penginjil saya masih SD.
Bapak dulu dimana SDnya ?
Di
Kapal. Cuma satu ada sekolahan disitu saja.
Sekolah apa namanya pak ?
Sekolah
SD, bayar lagi.
Bayar ?
Ya,
bayar tiap bulan.
Berapa bayarnya ?
Tiga
sen.
Khan jauh bapak sekolah dari sini ?
Jauh,
jalan kaki. Cuma satu, di Buduk, di Abianbase, di Untal-Untal, dimana-mana
tidak ada sekolahan. Belanda membuat
sekolah satu itu saja.
Apa nama sekolah itu ?
Sekolah
Dasar Kapal, Desa Kapal.
Di sebelah mana tempatnya itu pak ?
Di
lurusan jalan dari Timur ini ke Barat.
Jalan dari Timur itu lurus ke Barat khan ada belokan ?
Ya,
pas disebelah barat belokan itu.
Jalan ke Barat itu pak ya ?
Ya,
jalan ke Barat itu. Setelah tamat sekolah disana, saya ke Mengwi, jalan kaki 2
tahun.
Bapak sekolah SMP di Mengwi ?
Ya.
Di Mengwi, cuma satu itu saja yang ada.
Dimana itu tempatnya ?
Di
sebelah Selatan Kantor Camat, di Timur jalan. Sekarang sudah jadi
sekolahan.....
SD yang disebelah Taman Ayun itu pak ?
Di
Selatan, di Pura Desa Mengwi itu.
Pura Bale Agung itu ?
Ya.
Di sebelah Barat khan ada Pura Desa, di sebelah Timurnya itu sekolahnya. Cuma
itu saja satu.
O...yang di SD itu, di pertigaan itu ya ?
Ya...vervolgscholl
nama sekolahnya. Waktu itu tidak ada. Disitu saya bayar perbulannya 1 ketip, 10
sen. Dua tahun jalan kaki kesana, bagaimana.....tidak naik sepeda dengan
teman-teman, inilah yang dulu saya ajak bapaknya Wayan Sudirman.
Kenapa dua tahun sekolahnya pak ? bagaimana orang sekolah pada
waktu dulu ?
Dua
tahun apa tiga tahun ya ? tiga tahun rasanya. Begini waktu itu.....
Berbeda dengan sekarang pak ?
Ya
berbeda, sekolah SD tiga tahun, sekolah SMP dua tahun. Di kejar lima tahun.
Ijasah saya masih ada sampai sekarang.
Lalu, siapa yang membiayai sekolah bapak ? bapak mencari uang
sendiri ?
Begini,
saya ya....masih bisa mencari, menjadi kuli biasanya menyabit, mencarikan
rumput sapinya teman, ada orang yang menyuruh menyabit, menyuruh merabas
rumput, dapatlah gaji segitu untuk sekolah. Lainnya, membantu orang membajak
sawah diberikan uang 5 rupiah, 5 sen, untuk bekal sekolah.
Banyak teman-teman bapak disini yang bapak ajak sekolah
sama-sama disana ?
Disini,
saudara Pan Sudirman dua orang, dan saya, khan jadinya bertiga. Disini di
banjar saya orang Hindu satu, jadi berempat. Di Selatan di Abianbase, I Mandri,
masih hidup dia sampai sekarang. Nyoman Pinia juga, dia sudah meninggal. Rentor
juga saya ajak dulu, juga sudah meninggal. Jalan kaki waktu itu.
Pak, dulu disini
khan sedikit orang berpindah agama ya, tidak pernah seperti di Untal-Untal misalnya, saya pernah dengar orang Kristen
mengalami kesengsaraan ? disini di Abianbase tidak pernah terjadi ?
Banyak
ada, banyak. Kalau diceritakan sekarang dukanya, kalau saya waktu itu banyak
sekali melihat duka, sengketa begitulah di desa itu. Sekarang khan sudah
berbanyak. Kalau pada waktu pertama orang tua saya, memanglah ada. Bisa tidak
diberi kuburan, tidak diberi tanah kuburan untuk menanam mayat. Waktu itu ada
orang tua saya, sekarang menghadap, begitu. Sampai tiga hari mayatnya dirumah.
Terus kita memohon ke Lurah, ke Camat, disitu berdialog. Kemudian ada keputusan
dari sana, begini diberikan keputusannya, “Nah..ini sekarang boleh kamu
mendapat tanah kuburan, tetapi jangan kamu menguburkan mayat pada saat Tilem
atau Purnama, menjelang hari Tilem atau Purnama”.
Siapa yang diberitahu begitu, orang-orang Hindu ?
Bukan,
kita.
Orang-orang Kristennya ?
Ya,
biar kita rukun bersaudara, begitu. Kita kemudian dikenakan kewajiban pada
waktu itu, dikenakan uang, urunan artinya, setiap ada upacara Melis, bulan tiga
itu, jadi setahun sekali. Tiap-tiap orang Kristen kena urunan, 200 uang kepeng,
kalau sekarang berapa itu, mungkin berharga lima puluh ribu, mahal uang itu,
sampai sekarang juga masih mahal.
Dulu mahal juga pak ?
Mahal,
susah mencari uang kepeng itu.
Harus uang kepeng pak ?
Ya.
Tidak boleh diganti dengan yang lain ?
Tidak,
karena itu yang dipakai untuk upacara ke niskala. Lama kelamaan boleh akhirnya,
sebab uangnya itu mahal dan susah dicari, akhirnya bisa diganti dengan uang
kertas. Uang apa saja ada, uang perak ada, uang perak dipakai. Begitu yang
pertama, setelah itu lama-kelamaan ada yang kedua, hambatan yang kedua, berhenti
diberikan kebebasan, Purnama-Tilem tidak boleh, kemudian lama-lama tidak
diizinkan. Biar dia membayar urunan, pokoknya harus dipisahkan, jangan diberi
orang Kristen ikut, tanah kuburan ini
milik orang Hindu, begitu kemudian jadinya. Tiap langkah, ada saja rencana baru
di desa khan begitu, lagi begitu...waktu itu disini kering, sampai keluarga
disini di Semate ini waktu sebanyak 12 KK dirampas, apa saja punya dirampas,
apakah itu belati, cangkul, yang penting-penting.
Bapak kena pada waktu itu ?
Kena,
saya dulu punya pedang yang mau dipakai berperang, waktu itu khan Jepang sudah
masuk ke Indonesia, khusus ke Bali. Kemudian membuat persiapan pedang untuk
dibawa berperang, menyerbu tentara Jepang. Itulah akhirnya diambil pedang saya,
50 ribu mungkin ada harganya itu, bagus, ada sarungnya, maunya untuk dibawa
berperang khan bagus saya buat. Akhirnya diambil, dirampas, karena saya tidak
mau membayar urunan.
Tidak diizinkan menguburkan disana, lalu dimana menguburkan ?
Sampai
akhirnya ke Bupati, terus berdialog. Semua Dewa Sangan datang kesini, sampai
polisi, tentara. Awalnya waktu itu ada kejadian saudara Katholik setelah habis
pembagian tanahnya, tanah kuburannya, masih saja dia menanam disana, padahal
sudah habis tanah bagiannya, sampai tanah bagian orang Hindu itu dia pakai.
Umat Hindu kemudian marah dan membongkar mayatnya.
Mayat orang Katholik yang ditanam itu ?
Ya.
Dikembalikan kemudian, mayat itu dikembalikan, coba bagaimana keras baunya itu.
Darisitu kemudian ada keterangan Bupati perihal pembagian tanah kuburan orang
Kristen sekian, sekarang ada di Selatan, dipinggir jalan itu.
Yang dibelokan itu pak ?
Ya.
Orang Katholik segini, orang Protestan segini.
Berkumpul disana lokasinya pak ?
Ya,
berkumpul, tanah cuma 10 are, dibagi dua, masing-masing 5 are. Itu terakhir
pengukuran tanahnya, sebelumnya itu tidak dapat diungkapkan hebatnya. Kalau
saya pada waktu itu ber-12 orang kesana ke Camat, menghadap bersoal jawab
disana, pokoknya berani pada waktu itu. Biar mati karena ini, pokoknya berani
tidak ada rasa takut.
Tuan Tsang masih disini waktu kejadian itu pak ?
Tidak.
Sebelumnya sudah tidak, tetapi masih ada di Indonesia. Dia tidak masih disini.
Sebelum itulah hebat, kalau saya ceritakan waktu itu di Pelambingan, sampai
anak kecil meninggal, dimana-mana tidak diberikan kuburan, sampai akhirnya
dibakar kemudian waktu itu di Pelambingan. Kalau disini khan tidak sampai
begitu. Terus berdebat, dirampas, dilelang, pokoknya berani. Ke kantor Camat
menghadap, seingat saya waktu itu 12 orang kesana. Macam-macam omongannya disana
Camat memberikan keputusan, dihibur kita, mau membayar urunan dapat kuburan.
Tanah kuburannya habis terus bagiannya seperti Katholiknya, keluar lagi
pertengkaran, begitu.
Kalau Tuan Tsang, lama disini pak ? berapa tahun dia disini ?
Ya
paling tidak 3 tahunan ada. Tapi akhirnya dia keliling mengabarkan, tidak hanya
di Indonesia saja, tidak hanya di Bali saja didikannya dia. Kalau saya, matap
pada waktu itu, masih saja saya ingat semangat-semangatnya dia mengabarkan Injil, bernyanyi. Kalau bernyanyi
alat-alatnya di gereja itu.... [bersambung]
No comments:
Post a Comment