Friday, April 8, 2016

Masuknya Komunitas Kristen di Desa Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali


Nama Informan:  I Wayan Geledeg (Pan Luh Sudanti)
Tempat wawancara : Desa Belimbing Sari, 1 September 2001,
Pewawancara : Nyoman Wijaya  Ketua TSP
Transkriptor : Putu Yuliani, staf admin TSP
Korektor : Nyoman Wijaya, Ketua TSP

Sidang pembaca yang terhormat. Karena file sebelumnya ada yang salah ketik, maka saya ganti dengan file resivi. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.


Tahun berapa lahir ?
Tahun 1920

Sekolah waktu itu, Pak ? Di mana ?
Iya, sekolah di Kapal.

Tinggalnya di Abian Base ?
Iya.

Asal dari Abian Base ?
Iya, Abian Base, banjar Semate ujung Utara. Di Selatannya ada banjar Gaduh, Banjar Gede. Ada lima banjar waktu itu. Paling Utara banjar Semate. Lalu saya sekolah tahun 1932, 3 tahun kemudian tamat yaitu tahun 1935. Saya melanjutkan ke Vervolgschool, (sekolah sambungan) di Mengwi 2 tahun.


Melanjutkan ke Mengwi pernah ? Dimana ada Vervolgschool di Mengwi ?
Di sebelah Timur jalan waktu itu, di Selatan Taman Ayun di pengkolan (tikungan), di Banjar Pengiasan.

Kok jauh sekali Bapak sekolah ?
Soalnya tidak ada lagi Vervolgschool selain itu di sana, yang lain ada di Badung.
Jadi 3 tahun sekolah di desa  Kapal di sebelah mana itu Pak ?
Di Kapal itu di Banjar Tambak.

Berarti tidak jauhkan dari rumah ?
Iya.. dekat di pertigaan sebelah Barat jalan.

Berapa orang waktu itu sekolah Pak ?
Waktu itu dari Semate saya hanya sendirian. Di Selatan di  Abian Base dari Banjar Gede ada lagi satu, dari Tangun Yeh satu . Dua orang jadinya.

Yang sudah beragama Kristen berapa yang sekolah ?
Tiga, saya, Wayan Diblog, Wayan Riug dan  Ni Luh Gumbling.

Siapa nama orang tua mereka ?
Bapak saya Pan Wayan Geledeg,  namanya I Nengah Ketog, I Luh Gumling (bapaknya I Wayan Sawi), I Wayan Diblog I Wayan Kanyar, bapaknya Wayan Riug saya tidak tahu.
Saudara I Nengah Ketog.

Bapak bersaudara berapa?
Ada lima.

Semua Kristen ?
Iya, semua. Yang laki saja empat: I Nengah Pecog, I Nyoman Kutug, Ketuk Kuntu, Ketut Kunai, semua Kristen.

Siapa dulu Kristen ?
Semuanya keluarga saya.

Gimana ceritanya itu ? Siapa pendetanya dulu ?
Tuan Cang  (Tsang To Hang) waktu itu, orang Cina, jalan kaki ke Abian Base. Turun dari pabrik berjalan dia ke sana. Itu dah pabrik kopra Cia Poni di kapal.

Pernah melihat tuan Tsang To Hang ?
Iya pernah ketemu, saya. Tapi bapak saya, kakek  dan nenek saya debaptis di Abian Base, ada bak gede di sana. Gede setengah ruangan ini dan dalamnya kira-kira satu meter.

Berapa orang waktu itu dibaptis ?
Tidak tahu saya, pokoknya orang banyak waktu itu.

Siapa pertama mengajak Tsang to Hang ke sana ?
Tidak tahu saya. Ketut Yahya waktu itu yang dihubungi. Ketut Yahya dari Abian Base.

Siapa itu Ketut Yahya? Bapak kenal dia ? Pendeta dia ?
Kenal saya, jadi guru Injil dia.

Jadi dia yang pertama disana ?
Iya. Itu juga Made Ayub, bapaknya Pak Ketut Suyaga, banyak lagi Ketut Lantah lagi

Jadi di banjar bapak duluan ?
Yang di Selatan duluan, Banjar Gede duluan. Begini waktu saya beragama Hindu kan karena tokoh agama Hindunya dari rumah, keluarga saya. Di rumah ada cakepan lontar. Itu Lontar Bali. Waktu itu saya bisa membacanya. Dalam lontar itu ada cerita tentang agama Bali tentang kemoksan. Disitu juga ada disebutkan akan ada cerita nabi injil namanya Nabi Isah, ia putra raja. Pemerintahannya bersinar seperti sinar terang bulan, begitu isi lontarnya.

Apa nama lontarnya Pak ?
Tidak tahu saya.
Bapak pernah membacanya ?
Tidak boleh waktu itu, karena belum di-winten tidak boleh baca itu.

Dalam lontar termuat seperti itu, apa artinya Pak ?
Itu dah Nabi Isa yang saya sembah sekarang. Itu namanya nabi Isah. Begini sih katanya:   ” Bapan Wayan...,” begitu kakaknya pekak Sedep, kakak misan I Nengah Ketog., “ Saya tidak tahu arti yang termuat dalam isi cakepan ini, coba menghadap ke Sibang ke Gusti Ngurah Berata, soalnya kan dia sakti di Sibang. “
 “Nah kalau begitu, saya yang akan ke sana,” kata Ayah saya.
 Terus, “ Ini siapa ? “ tanya Gusti Berata.
 “ Saya dari Abian Base, rakyat Tuan. “
Katanya lagi “ Ada apa ? “
“ Ada yang saya perlukan sedikit. Begini, saya punya cakepan (lontar) tua, yang dibawa leluhur saya dari Majapahit yang memuat tentang Nabi Injil, namanya Nabi Isah yang pemerintahannya bagus seperti terangnya bulan. Begitu termuat di sana. Apa Gusti ada punya di sini ?”
“ Aduh tumben (baru pertama kali) saya dengar cerita seperti ini. Kalau ada di sini, pasti sudah saya ceritakan,” katanya.
“Kalau begitu, saya permisi pulang.“
Setelah sampai di rumah, ayah saya ditanya tapi karena Gusti Berata tidak punya akhirnya ayah saya disuruh ke I Kutek di Kekeran, orang Bali yang beragama Islam. Ayah saya Kekeran tanya-tanya tapi tidak ada yang tahu. Ceritanya terputus di sini. Tahu-tahu th 1931 ada I Ketut Yahya beragama Kristen. Saya sering mendengar kidung, “ Lihatlah Sang Hyang Isah... “bukan nama yesus dibilang.“ Pujilah San Hyang Isah, Sang Hyang kebentah di Golgota. Pujilah Ida...”Inilah Sang Hyang Isah yang termuat di cakepan kita, sekarang ayo dah kita masuk Kristen. Karena benar dia penguasa jagat. Lalu ayah saya masuk agama Kristen th 1932, gitu.

Sekarang di mana cakepan itu, Pak ?
Ada yang pinjam ke Banjar Gunung Mambal, dipinjam kakek saya di sana. Tahun 1943 saya ke sana nagih, lalu dibilang hilang dipinjam orang, begitu ceritanya.

Orang tua dulu dalang ? Siapa yang jadi dalang ?
Saya dah di sini, tapi orang tua saya memang seniman.

Seniman apa ?
Tidak tahu, ia jadi penasar (punakawan). Kalau ada yang bangun kesenian-kesenian dia dah yang jadi penasar. Saya tidak tahukarena waktu itu masih remaja, senang membaca lontar-lontar, banyak ada cakepan-cakepan waktu itu.

Dimana sekarang cakepan itu ? Masih ada ?
Saudara  Kristen banyak yang ngambil, di situ di Barat ada sepeti, ada Sunarya Bongkah, Sunarya Gading macam-macam ada. Ada yang minta ini satu, itu satu sampai habis tidak tersebar kemana-mana. Kalau ada sekarang kan bagus ya... pengetahuan jadinya. Cuman masih keceritakan lewat Aji Saka saja. Tapi juga tidak tahu sekarang di mana saya taruh di rumah  ini tidak ada.

Waktu di SD masih agama Hindu ? Yang lain sudah Kristen ?
Masih . Sekarangkan saya sudah Kristen th 1932.

Orang tua Kristen apa bapak ikut-ikutan saja ?
Saya sih tidak hanya orang tua, waktu itu tidak terpikir oleh saya. Apa kata orang tua saya hanya ikut saja.

I Ketut Yahya dibandingkan I Nengah Ketog siapa yang besaran ?
Orang tua saya besaran.

Siapa I Ketut Yahya ?
Bukan siapa- siapa, hanya ia senang belajar apa saja. Kawinnya di Dalung, asalnya dari Abian Base, yaitu Banjar Gede, rumahnya di tempat yang jadi gereja sekarang.

Siapa yang memperkenalkan Kristen pada Ketut Yahya?
Tidak tahu saya, mungkin karena belajar-belajar jadi percaya karena Sang Hyang Yesus itu rahayu. Kan begitu.

Mana besaran Made Ayub dengan Ketut Yahya ?
Besaran Ketut Yahya. Ia dijadikan paman. Ibunya Ayub, kakaknya Ketut Yahya.

Ketut Yahya itu pegawai atau petani ?
Petani dia.

Kok pintar begitu ya ?
Ya karena senang belajar itu, seperti ayah saya, padahal umurnya lebih kecil.

Siapa nama saudara ayah paling besar ?
Kakaknya perempuan paling besar masih Hindu dan kawin dengan Wayan Garbe di Sibang. Cicitnya bernama Wayan Astra. Nomor dua I Nengah Ketog, Nomor tiga  I Nyoman  Kutug, nomor 4  perempuan I Ketut Kanti kawin di Gaduh Abian Base, sekarang sudah meninggal, demikian juga I Ketut Kanta adiknya yang dulu masih Hindu.

Berapa orang yang Kristen saudara ayah, Bapak ?
Empat orang, I Nengah Ketog, I Nym Kutug, I Ketut Kuntu,  Ketut Kania  bersamaan tahun 1932. Bahkan kakek saya ikut dibaptis karena masih hidup waktu itu. Karena sudah tua kakek ikut ayah saya. Gimana ayah saya dia ikut saja.


Umur berapa bapak waktu ada pembaptisan tersebut ?
12 Tahun, Kakek saya ada berumur 90 tahun, namanya I Nym Retig nenek saya I Ketut Garut, bersamaan dibaptis, ayah kakek namanya I Gede Cengeg masih Hindu, mati dalam pengungsian.

Berapa orang Bapak bersaudara ?
4  orang, 3 laki  semua sudah dibaptis

Ceritakan sekarang waktu pembabtisan, siang atau malam ?
Pagi jam 8 itu. Banyak waktu itu yang dibaptis hanya dari Abian Base saja.

Ada yang seumur Bapak sekarang yang masih hidup ?
Tidak banyak yang sudah mati, bahkan yang lebih kecil banyak yang sudah mati.

Tahun 1932 dibaptis, ke Blimbing Sari tahun 1939, jadi selama 7 tahun sempat di Abian Base. Coba ceritakan apa seluruh banjar yang masuk Kristen atau ada yang masih Hindu?
Masih banyak, tidak semua, banyak saudara sepupu ayah terutama yang perempuan, masih Hindu.

Tidak bingung karena ada yang Hindu , ada yang Kristen bercampur ?
Tidak. Kan yang paling bagus yang dicari.

Waktu itu sudah ada gereja ?
Sudah. Beratapkan daun kelapa di rumahnya Ketut Yahya di gereja sekarang, di tanah sosial yang diserahkan ke anggota jemaat. Saya sendiri ikut ngayah (gotong royong) benahi gereja waktu itu. Saudara saya yang jadi pimpinan kerja itu. Paman saya I Nyoman Kutug dianggap sakti dan disegani waktu karya di pura Desa th 1930, waktu masih Hindu. Apa perintahnya diikuti orang. Ia dapat pica (anugrah dewa) di Pura Batu Bolong. Sekarang pica dibawa Made Rida anaknya karena sudah meninggal. Dulu ia meyasa (bertapa) di pantai dan dapat kesaktian.
Ceritanya, “waktu bapa (bapak) menyasa (bertapa) di pantai, lalu ada naga di tengah pantai sebesar pohon kelapa, melingkar telapaknya di atas kepala bapa yang jarinya panjang. Coba kalau tidak baca mantra penaung kayu, apa jadinya.
Lalu naga itu bersuara; “ Minta apa ?“
Cuma segitu aja, lalu balik ke tengah laut.
Bapa tidak dapat apa. Begitu pulang, di tempat tidur dapat hanya tiga kata.
“ Coba kasih tahu saya Pak !“  begitu saya.
Sekarang tidak bisa ngasih tahu anak, akan saya berikan ke pemangku (pemimpin dan pelaksana) desa, Nanang Sangri. Kemudian diberikan ke dia dan tidak ada lagi di badannya, sekarang dia sudah meninggal juga.

Katanya Nyoman Kutug sakti, kenapa mau pindah Kristen ? Apa ikut-ikutan ?
Bukan, bukan ikut-ikutan. Pengertiannya begini dalam berita injil, Yesus juru rahayu (keselamatan) disini jalan kita ke surga. Apa lagi yang ditunggu, cerita sudah ada begitu dan sekarang sudah ada juga penjelasan begitu. Jadi kita bukan gampang-gampang. Itu  sebabnya kita percaya kata leluhur di kitab suci. Karena kita bodoh dulu, huruf latin tidak tahu. Itu dasarnya. Pokoknya saya percaya sekarang untuk masuk Kristen. Nah kalau kita nyungsung (menjunjung) soroh Bendesa Gede, kita masih benar karena kita bersaudara. Kita masih tetap berlandasan bersaudara baik, biar sudah ganti agama. Kalau perbuatan tidak baik, itu tidak benar sebagai pengikut Ida Sang Hyang Yesus. Karena kita berlandasan baik dari dulu, supaya baik juga sekarang.

Namanya dulu `meseh agame` ya ? bukan pindah ke Kristen ?
Meseh agama begitu dari dulu.

Keliannya sudah meseh agama dulu ?
Tidak, belum, rakyatnya juga jarang-jarang di banjar Semate.

Keluarga bapak pertama meseh agame (berganti agama) di situ ?
Iya, keluarga saya dah ! Kalau di Selatan banjar ada Pan Renteg namanya. Selain itu tidak ada. Kalau di banjar Gede Ketut Yahya, Ayub, Ketut Kantrungan. Di selatannya lagi Dalung, sudah. Di Banjar Galang belum ada. Kalau di Banjar Dangin Yeh, Pan Ambrik di sana, Nyoman Gedong namanya. Di sana ada telabah (sungai)  di Timur Abia Base, itu dah namanya banjar Dangin Yeh.

Nengah Ketog, sepupunya ada yang Kristen ?
Pertama belum, tapi lama-lama ada iparnya.

Nengah Ketog pernah sekolah ?
Tidak pernah sama sekali, cuman belajar-belajar di lontar, tidak tahu tulisan latin tapi tulisan balinya bagus sekali. Ayah saya lebih pintar dari Nym Kutug. Sedangkan Nyoman Kutug katanya  sakti saja, begitu juga paman saya yang lain ada yang jadi balian

Bapak kenal Pan Loting dari Buduk ? Pernah ke sana dia ?
Tahu, tapi tidak kesini, karena di rumah sudah percaya.

Katanya Pan Loting sakti sekali ?
Iya, dia sakti katanya.

Dia tidak berteman dengan Nyoman Kutug ?
Tidak, malah karena sama-sama sakti malah bisa bertengkar. Mereka memang tidak saling kenal, tapi tahu kalau Pan Loting terkenal sakti.

Lalu siapa yang mengiringi Tsang To Hang ke sana ?
Sendiri, ia bersama istrinya jalan dari pabrik di Kapal ke Selatan (sekarang sudah menjadi areal Rumah Sakit Kapal). Saya tahu itu karena saya punya warung di pinggir jalan, waktu itu saya masih Hindu.

Apa Tsang To Hang ramah orangnya, mau menyapa ?
Iya, baik, kadang menyapa kadang tidak, banyak juga orang yang memusuhinya karena ia Kristen.

Apa yang dicari Tsang To Hang waktu itu ?
Ia ke rumahnya Ketut Yahya, di Banjar Gede.

Oh, saya pikir Pan Loting yang bawa Kristen ke sana. Kalau dia kan banyak orang yang berguru ke dia ilmu pengiwa dan penengen (ilmu hitam dan ilmu putih)?
Kalau benar begitu iya.. tapi dia kan murtad. Ia mundur dari Kristen. Saya tahu karena ia pernah nopeng di depan gereja, mengejek Ida Sang Hyang Yesus. Di situ di gereja di rumah Abian Base, saya sedang kumpul. Ia bersama Gusti Kompyang Gatar dari Untal-Untal. Ia mengejek Sang Hyang Yesus dengan bernyanyi “ Ini Isah, Pujilah Sang Hyang Isah, kisah-kisah. Pujilah Sang Hyang Wawang ...” apa saja dikeluarkan untuk menghina. Waktu itu saya pikir, ini Pan Loting sudah murtad, tidak usah didengarkan.

Waktu itu bapak sudah Kristen ?
Sudah, saya kumpul waktu itu  kebetulan hari Minggu.

Gimana Nyoman Kutug mendengar itu ?
Kita langsung pulang waktu itu.

Tidak mengadu kesaktian waktu itu ?
Oh, tidak. Itu tidak boleh, paman saya sudah tua dan semenjak Kristen ilmunya sudah diberikan orang lain, tidak ada gunanya, jauh dibandingkan dgn mengikuti Tuhan Yesus, begitu kata ayah saya.

Pan Loting menghina begitu, tapi waktu meninggal kenapa dikubur Kristen?
Tidak tahu saya, mungkin kebijasanaan anaknya yang waktu itu masih Kristen.

Terkenal sekali waktu itu Pan Loting, ya... dengan ilmunya ?
Iya.., sekarang di sini ada keluarganya, yaitu soroh  Pasek Badak yang terkenal itu.

Siapa yang menyewa topeng sehingga Pan Loting pentas di sana ?
Ada itu orang-orang Banjar Gede, karena banyak yang benci.

Selama 7 tahum di sana apa saja yang Bapak ingat ?
Gitu sudah, kadang urunan (bayar iuran), ngayah (gotong royong) di pura. Tapi setelah meseh agame (pindah agama) tidak ikut.

Apa bapak bilang ke kelian (kepala dusun) waktu meseh agame atau diam-diam ?
Bilang saya. Saya melapor, demikian juga keluarga saya. Saya masih masuk banjar, rapat apa tetap ikut, tapi ke pura tidak ikut lagi.

Punya bapak pura kawitan (leluhur)? Di mana itu ?
Ada pura Bendesa namanya, pura desa tidak lagi ikut, pura dalem, pura di banjar berhenti. Sanggah diturunkan karena kita tidak lagi menyembah dewa-dewa. Sanggah diturunkan dengan baik-baik.

Siapa yang menurunkan sanggah itu ?
Keluarga saya sih, dan orang tua saya. Padahal waktu itu sanggah-nya baru kelar di-prade (diberi warna kuning keemasan). Saya ikut membongkarnya waktu itu.

Gimana caranya apa isi berdoa sebelum membongkar sanggah itu ?
Iya, berdoa. Doanya supaya Sang Hyang Yesus melindungi kita terhindar dari setan-setan
Karena sanggah yang menyembah dewa-dewa dianggap kuasa setan.

Berapa hari membongkar sanggah itu ?
Cuman satu hari itu, karena sanggahnya beberapa buah.

Terus kalau saudara datang dari jauh kan tidak bisa menghaturkan sembah lagi di sana ?
Iya. Karena sudah tidak ada lagi. Tidak kenapa-napa sih, biasa-biasa saja.

Dijadikan apa tempat bekas sanggah itu ?
Atapnya diambil dan dipakai hal lain lagi

Karena marah membongkar  itu atau karena disuruh orang ?
Ya, karena begitu pengertian berhenti menyembah di sana, cukup di Tuhan Yesus saja sekarang. Pemahaman kita begitu, seperti berjalan kita hanya melewati satu jalan saja bukan dua jalan, begitu ditegaskan oleh paman saya. Tidak ada orang yang menyuruh membongkar sanggah itu. Termasuk To Hang atau Ketut Yahya.

Waktu itu orang yang benci tidak ada yang mengganggu Tsang To Hang ?
Tidak ada, dia bebas berjalan.

Bapak tahu waktu itu Ia orang Cina yang beragama Kristen ?
Tahu ia begitu, tapi tidak tahu apa-apa tentang Kristen, karena masih 12- 13 tahan, saya menggembala di tegalan di sawah di Kapal, senang main-main, masih terlalu muda.

Apa bapak kenal dengan kakek Pak Sunarya ?
Sudah disini (Blimbing Sari) saya kenal. Dia kan dari Abian Base Banjar Gede.

Gimana ceritanya, bersamaan dengan dgn Ketut Yahya kakeknya Sunarya, I Ketut Sela ?
Iya bersamaan dengann Ketut Yahya, kakeknya Wayan Sunarya itu I Wayan Reon, Ketut Sela itu adiknya Wayan Reon.


Berarti Banjar Gede pertama meseh agame ya...?
Iya, Yahya, Ayub, Wayan Reon, Ketut  Lantang, Made Tebing, di Banjar Dangin Tukad Made Ambrik, Nyoman Gedong . Di Selatannya lagi ada Wayan Wara.

Waktu masih sekolah pernah ke kota ?
Pernah, sering saya ke Badung (maksudnya, Denpasar). Waktu itu ibu saya kan jualan buka warung, cari dagangan ke toko Halus cari kue potongan, arak, gula. Saya bonceng ibu saya naik sepeda. Waktu itu saya berani sekali, sering saya ke kota. Karena aman.

Oleh teman yang bukan Kristen bapak diapakan bapak ?
Tidak diapa-apakan saya, karena saya banyak punya teman, biar Hindu biar Kristen sama saja  Apa lagi pergaulan saya baik di warung.

Siapa yang berjualan di warung ?
Ibu saya dan ayah. Ramai sekali. Pernah tidak diizinkan belanja di warung orang Kristen oleh kelian-nya. Ya kalau tidak boleh belanja, kita minta kue tapi tukar uang. Ya memang seperti itu biasa terjadi, kadang sering bertengkar, ada yang baik ada yang tidak.

Ayahnya bapak pernah main ke kota ?
Ayah saya seorang saudagar babi. Ia lincah kemana-mana mencari babi. Ia waktu muda pernah memimpin transmigrasi, membuka hutan Subrata. Saya mimpin, ia mimpin orang tua-tua. Dibuatkan gudang oleh punggawa Bajra. Waktu malamnya terdengar suara `gek` begitu suara kijang dari Dewa Bukit Jambul, semua ketakutan. Tidak tahu kenapa akhirnya semua sakit  dan tidak bisa pulang. Dari situ ayah jualan babi.  Sampai ke sini ayah bahkan ibu saya senang jualan babi dan dikenal demikian.

Anak saudagar jadinya bapak ya ?
Ayah saya ya petani ya pedagang sambilan kadang diburuhkan. Ia lincah walau tidak sekolah, karena tidak tahu mesti sekolah kemana karena bodoh dulu, tidak seperti sekarang ada unud dan macam-macam.

Ketika mau ke sini ke alas Cekik (hutan di Melaya) ini, bagaimana ceritanya ?
Dulu katanya Orang Kristen akan ditaruh di alas Belanda supaya mati semua, begitu kabarnya. Terus ada permohonan Anak Agung Bagus Negara, supaya orang Kristen merambas hutan di sini (Blimbing Sari).  Sebelum ke sini sudah dipersiapkan gudang dan sumur, terus tahun 1939 kita berangkat ke sini dan berkumpul di bangsal di pertigaan Untal-Untal. Jumlahnya 29, naik bus Sapakira 2 bus. 29 orang ini sebagai pelopor.
Di bagian utara 8 orang, Pan Sari, Wayan Dedet, Ketut Kawit, I Wayan Tegeg, Wayan Rembon, Nyoman Jata, Nyoma Grenyik, lupa lagi satu . Di bagian Barat ada Made Jaduk, Made Duk dari Peguyangan, Wayan Suci,Wayan Kerak, Nyoman Cager, Wayan Ludes, Pan Matra,I Wayan Ribet, Pan Sami,  Pekak Sunarya, itu sepuluh orang. Di bagian tengah Made Selo, Pan Legir, Pekak Sudibya, Pan Ratna, Pan Bungkrek, Wayan Garuk, Wayan Regug, Nyoman Suda, berdelapan orang. Bagian Selatan I Gede Tani, Gede Jirna, Gede Rangkep. Itu saja 29 orang.

Kenapa kumpul di Untal-Untal Pak ?
Karena di situ janjinya mau diangkut supaya dekat. Karena ada orang Kristen kan supaya didoakan agar selamat. Lalu berangkat untuk pertama kali sebagi pelopor. Terus  3  bulan kemudian baru saya berangkat ber 69 orang dari Abian Base dari Buleleng, Sading, Untal-Untal, Abian Base, Pelambingan. Diangkut 5 bus Sapakira yang berangkat jam 5 pagi sampai baru jam 6 sore. Busnya menginap besoknya baru kembali ke Badung (Denpasar).

Apa yang bapak saksikan di sini, yang dibuka baru 3 bulan ?
Sampai di sini kita disuruh membuat kubu oleh punggawa I Gusti Ngurah Westra dari Negara Jembrana, setelah jadi kubunya selama tiga bulan, baru yang wanita ke sini. Saya ke sini bulan September, saya belum kawin waktu itu.  Kemudian bulan 10 tanggal 1 yang wanita sudah ke sini,  tanggal 10 menerima bibit padi  gaga di Melaya. Itu yang dijadikan bibit  padi. Tanggal 15-11 baru ditanam, tanggal 15-12 ada hutan dan padinya tumbuh dengan baik.

Rumah ini yang dibangun waktu dapat bagian dulu, yang 2 hektar ?
Iya ini rumahnya, tapi 20 are bukan 2 hektar, pekarangannya tadinya mau dikasih 8 are tapi saya tidak mau. Katanya kalau begitu tegalannya akan dipotong sedikit. Saya jawab iya, asal pekarangannya agak luas.  Jadi semua dapat 20 are, bahkan kadang-kadang ada yang lebih supaya tidak mengubah ukuran sesuai jalan.

Sekarang ini masih 20 are, Pak ?
Masih, bahkan ini lebih 3 are di sertifikatnya. Tegalnya 2 hektar kurang sedikit dan sekarang masih ada.

Waktu itu yang datang 61 orang Pak ?
Iya, yang belakangan. Itu laki semua. Ber 90 orang yang menjadi anggota banjar di sini.

Yang datang duluan dapat bagian yang lebih banyak, Pak ?
Tidak, sama semua. Pemerintah sudah memberi ukurannya

Surat atau pipil diberikan waktu itu ?
Lama setelah 3 tahun baru diberi pipil.

Semua yang meseh agama di Abian Base ikut ke sini ?
Tidak, yang ekonominya baik ya  tidak ikut.

Tapi waktu itu ekonomi  bapak sebagai saudagar babi kan bagus ?
 Kalau saya kan sudah meanehan (pisah dapur) dengan orang tua. Artinya kalau saya campur,  kan saya banyak punya saudara besok-besok tidak tahu bagaimana.

Saudara bapak tidak ikut ke sini ?
Tidak, waktu itu saya masih bujangan ke sini. Padahal saya ditentang oleh punggawa-nya. Waktu itu saya kelihatan masih kecil. Terus saya bilang ini karena saya sangat ingin jadi warga (rakyat)  di Jembrana, jangan kembalikan saya. Bagaimana pekerjaan orang – orang di sini, saya akan sanggup mengerjakannya. Kemudian dikatakan bahasa atau omongan saya dewasa sekali, biarkan saja di sini.

Siapa yang mengajari Bapak matur (menyampaikan pendapat) begitu ?
Itu kan karena sering melihat dan sering mendengar.

Waktu itu benar sudah mau dikembalikan Pak ?
Iya. Katanya ini kecil-kecil 3 orang, saya, Ketut Tisna dan I sabeh. Kalau saya tidak ngomong begitu, kedua orang ini pasti sudah dikembalikan.

Ayah bapak I Nengak Ketog tidak mau diajak ke sini ?
Tidak, soalnya dia mengurus sawah.

Bagaimana dia waktu bapak bilang akan ke sini ?
Iya kasih dia ke sana sebentar. Tapi di sana harus taat karena masih kecil, iya biar diawasi oleh keluarga yang lebih tua. Dan akhirnya saya berangkat dengan kerabat saya.

Katanya kalau sudah kawin baru boleh ikut ?
Begitu sih aturannya, tapi buktinya saya dan banyak lagi yang lain belum kawin. Yang penting mampu mengambil pekerjaan di sana.

Waktu itu bapak paling kecil, ya ?
Paling muda saya dan paling berani saya. Saking beraninya ada cerita, di Surai ada orang panen lebah di tempat yang ada tonya (makhluk siluman) Bagaspati Raja, saya diam saja. Eh nantinya di sini saya yang jadi tukang panen lebah itu. Pokoknya memang berani saya. Orang lain ngomong macam-macam tapi setelah lebahnya keluar, ia langsung lari.

Apa bapak tidak disengat ?
Disengat tapi tidak apa-apa, karena sebelumnya rumah lebah itu sudah diasapi dan lebahnya mengeluarkan cairan sengatnya, lalu jatuh. Lebah itu yang menyengat saya. Jadi saya tidak apa-apa. Waktu itu sering saya panen sehingga banyak punya madu.

Ke mana dijual madu itu Pak ?
Di sini saja. Ada yang mengambil ke sini.

Apa saja kegiatan bapak waktu muda ? Panen madu terus ?
Tidak, itu sambilan sedikit. Waktu itu kan kerja di tegalan, metik jagung,padi gaga, kacang-kacangan. Dan banyak hasil panennya, kalau sekarangkan jadi terkenal desa ini, tapi dulu tidak lancar pengangkutannya, sehingga banyak jadi makanan sapi. Dulu jalannya sangat rusak. Kalau ada datang membeli baru dijual.

Katanya dulu sudah ada jalan dari Melaya ke sini Pak. Apa benar ?
Tidak. Pengangkutan sangat tidak lancar, ada rawa-rawa yang dalamnya sampai 1 meter.

Apa bapak tidak punya perasaan takut ?
Iya, ada takut kalau saat mogoknya cikar (gerogak) yang dipakai jualan oleh istri saya.
Waktu itu bapak sudah kawin ? Tahun berapa Pak ?
Saya punya anak tahun 1943.

Berarti kawin setelah 3 tahun disini ? Dari mana istrinya ?
Iya, ketemu disini, ia dari Untal-Untal.

Siapa mertua bapak di Untal-Untal ?
Bapa Wayan Sungkreg.

Mebaptis di mana dia Pak ?
Di Badung di Untal-Untal, Itu Nyoman Sukarma yang di Sempidi itu cucunya.

Anak Wayan Sungkreg ini yang bapak nikahi ?
Adiknya Sungkreg, kenal di sini. Tidak diharuskan kawin tapi sudah saatnya.

Bagaimana cara kawin orang Kristen ?
Disini saja, tidak balik ke untal-Untal.

Ada beda dengan kawin Hindu ? Apa bedanya ?
Pasti ada bedanya sedikit. Di sini tidak pakai banten (sesaji)  doa sedikit lalu ada pendeta kotbah,doa di Hindu juga ada kan?

Berarti bapak pertama kawin di sini ?
Tidak, ada yang lain duluan  Nyoman Puju, Wayan Tegeh.  Mereka kawin karena bertemu di sini juga.

Berarti banyak yang bujangan waktu itu Pak ?
Iya, banyak juga.

Bujangan punya tanah 2 hektar, berarti kaya sekali Pak ?
Apanya kaya, katanya saja, tapi punya hasil panen tidak ada yang beli. Apa itu kaya ?

Terus siapa yang membuatkan bapak di sini ?
Ayah saya , I Nyoman Kutug yang pernah ke sini.

I Nyoma Kutug mengajak juga istrinya ke sini ?
Iya, tapi belakangan sama seperti yang lain.

Waktu baru pindah tidak diberi tanda atau kertas sedikit oleh pemerintah ?
Tidak, dulu itu seperti transmigrasi. Di beri sih makanan beras, teri dll.

Waktu itu dilotere ya ?
Iya, dilotere kemudian diukur lagi, kebetulan saya dekat dengan Bapa Kutug, tapi boleh ditukar-tuka.   Ini saja sudah pernah ditukar. Tapi kalau terlalu dekat keluarga juga jadi sering berantem.  Makanya lebih baik pisah 3-4 pekarangan. Ketemu jarang-jarang jadi lebih akrab begitu.

Kapan I Nyoma Kutug meninggal ?
Sudah lama, ada kira-kira 10 tahun.

I Nengah Ketog kapan meninggal ?
Di Sulawesi matinya. Ia transmigrasi ke Sulawesi Utama bersama kedua adik laki-laki saya, ayah saya menjual semua tanah di Abian Base, di bawa ke sana tapi akhirnya habis juga. Adik saya sih yang menghabiskan. Bagaimana untuk anakmu nanti ? begitu saya ngomong. Cari tanah kesana, semua tanah jadi habis. Dasar bodoh dia.

Tanah di Sulawesi juga dijual ?
Iya, padahal ia disana digaji. Masih sih dia punya sedikit di sana. Yang di Abian Base semua sudah habis. Yang beli juga orang Abian Base sendiri, ada sekitar 3 hektar

Berarti kaya waktu bapak dulu masuk Kristen, ya?
Bukan karena tidak punya.

Tapi karena cakepan itu ya ?
Iya begitulah waktu dulu.

I Nyoman Kutug Jadi balian dulu ?
Begitu sih, tapi jarang-jarang.

Menurut bapak apa perbedaan perasaan  bapak setelah meseh agama ?
Ada sih bedanya. Perbedaannya ada perasaan terang.

Tapi waktu itu kan bapak ikut-ikutan karena masih kecil?
Biar begitu, tapi sekarangkan saya sudah tahu.

Maksudnya bagaimana perasaan waktu itu, waktu kecil ?
Pada waktu itu juga sudah beda, waktu berdoa ada api terlintas di hati saya, lalu saya sampaikan ke kakek Renggi yang sudah Kristen. Lalu dijawab, “saya tidak tahu, kamu saja yang paling beda sendiri.” Sering saya begitu.

Menutup mata waktu berdoanya Pak ?
Menutup mata, tapi boleh saja yang penting bisa memusatkan pikiran.
Apa isi hati bapak waktu berdoa ?
Biar selamat, dan apa yang diinginkan untuk dicapai kan begitu !

Terus api kelihatan, begitu ?
Itu kalau saya, orang kan beda. Tapi sekarang sudah tidak pernah. Waktu saya jadi dalang wayang kulit melampahan (berjudulkan) Bali, bukan Adam dan Hawa, yang menyewa orang Bali Hindu.

Kan tidak pakai banten wayangnya waktu itu ?
Mau dia, terus saya sih yang buatkan banten di rumah.

Banten apa ?
Tergantung yang menyewa, berikan saja saya tirta Pak, untuk anak saya, karena terlanjur kaul, begitu dia.

Dimana bapak dapat tirtanya ?
Saya sendiri yang buat. Diterima juga, dan biasa.

Di mana bapak belajar jadi dalang ?
Di rumah juga. Saya bercerita pada adik-adik, lalu cari buku  Adi Prabu dan akhirnya bisa.

Berarti pintar waktu itu baca tulisan Bali ?
Iya, bisa, kalau sekarangkan ada buku cerita.

Pertama siapa yang menyewa bapak ?
Orang dari sini, ke Melaya juga pernah dan ada 5 tahun, setelah Gestok baru berhenti.
Th 1939 sudah di sini, sudah sebagus ini desanya ? tahun berapa mulai seperti ini ?
Tahun 1950-an.

Sebelumnya lain ?
Iya, dulu bangunan mesaka (bertiang) empat dan atap alang-alang.

Dari penghasilan apa bangun rumah ini ?
Ya dari begini-begini, saya senang mengergaji, senang bertukang kayu dan    mengerjakannya secara gotong royong, tidak pernah mencari tukang di sini.

Mana lebih tua bapak dibandingkan ayahnya bapak Sunarya ?
Besaran saya dan saya kawin sebelum Jepang datang.

Waktu Jepang datang kehidupan orang di sini sudah bagus? Sudah ada panen ?
Iya, sudah.



Ada Jepangnya yang ke sini ?
Ada, ada yang bawa kapas,karena waktu itu  saya masih jadi perbekel. Saya rapat ke Negara jalan kaki, pagi jalan, jam 1 selesai dan sampai di rumah jam 9 malam, jalan dengan perbekel lain karena diundang oleh punggawa.  Sepuluh tahun saya melayani itu, sangat capek dan tidak dapat apa.

Jaman Revolusi ada yang ikut dari sini ?
Waktu itu hampir mati banyak orang, ada yang lari ke hutan dan tidur di hutan dan kalau diceritakan itu namanya jaman gumi rusak,  hampir mati ditembak oleh NICA, tapi apa boleh buat namanya juga lagi berjuang untuk merdeka.

Berarti saudara Kristen di sini ikut berjuang ya Pak ?
Iya

Dulu di sini hutan, bagaimana caranya supaya bisa berani ?
Kita sudah tidak akan takut dengan tenget (angker) setan, karena kita sudah punya Tuhan Yesus. Itu benteng  yang paling bagus. Jadi tidak ada merasa takut. Saya sering dulu menginap di tengah hutan. Hutan Sang Hyang Gede saya pernah ke sana untuk mencari air dan mengukur jalannya air yang terbuat dari kayu atau seng, sehingga air bisa ke sini. Saya ke sana berempat untuk mengerjakan itu.

Di mana mandi dulu ? Di sini dimana sungainya ?
Di sana di Timur, semua mandi disana, saya pertama buat sumur yang dikerjakan 10 orang secara coba-coba sedalam 11 meter [].

No comments:

Post a Comment