Wednesday, April 13, 2016

Kalau Dia ke Sana Pasti akan Jadi Kristen, Kalau Bisa ya Jangan Semuanya Jadi Kristen.

 Nama Informan : Wayan Jagra (Pan Sadi Adnyana)

Tempat : Di Desa Sudimara, 13 September 2001
Pewancara : Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Transkriptor : Wahyuni, tim peneliti TSP
Korektor : Nyoman Wijaya, Ketua TSP


Pengantar
Hari ini tanggal 13 September 2001, saya Nyoman Wijaya dari TSP sedang berada dalam perjalanan menuju Sudimara Tabanan. Kita sedang berada dalam perbatasan desa Dalung dan Abian Base, di desa perbatasan ini ada sebuah kuburan. Sebelum sampai di tempat tujuan, saya sempat mewancarai Pendeta Wayan Sunarya, merupakan pendamping kami dalam melakukan penelitian sejarah konversi agama di Bali, sebagai berikut:


Di mana tempat ayahnya Pak Pendeta bekerja waktu nandu (penggarap bagi hasil) dulu ? Kakek ?
Di kiri kanan jalan ini.

Punyanya Anak Agung siapa ?
Anak Agung dari Gaji.

Kakek dari mertua berarti ya, Pak pendeta ?
Iya.

Ujung selatan dari desa Abian Base adalah anjar Dalang, terus bagian ke Selatan lagi ada daerah baru, nah inilah ujung yang ke Selatan daerah baru pemukiman baru, di situ sudah banyak sentra-sentra usaha modern seperti art shop dan sebagainya. Kami sudah memasuki tikungan ada sebuah pohon Kepuh yang sangat besar di hadapan pura, dan itulah dulu dianggap tempat yang paling tenget oleh masyarakat sekitarnya dan masih termasuk wilayah banjar Dalang. Beberapa meter dari pohon Kepuh itu, sekitar seratus meter, nah sekarang kita ada melihat sebuah gereja dan ini terdapat di banjar Gede, betul-betul berhadapan dengan balai pertemuan.
Gereja ini cukup besar sekali tapi masih dalam proses pembangunan, di kanannya masih ada sebuah pura, dan rumah-rumah juga masih ada yang sudah modern dan ada yang tradisional, dan sanggah-sanggah penduduk juga masih. Nah ini saya rasa Banjar Sengguan dan kita telah melewati Banjar Sengguan, sebelahnya juga ada pura, dan ini  saya rasa sanggah, masih ada kombinasi antara Kristen dan Hindu. Dan yang ketiga adalah Banjar Gaduh, di sebelah utara dari banjar Sengguan, akan ke banjar Semate, tapi sebelumnya melewati sebuah pura. Nah pas di tikungan akan menuju ke banjar Semate, nah kita melihat sebuah gereja di Banjar Semate berarti, ya.., Khatolik tapi.  
Jadi, dapat dibayangkan begitu jauh Tsang To Hang harus berjalan dari Utara menuju ke Banjar Gede untuk mencapai tokoh-tokoh yang ada di banjar itu. Nah, sebelum dari banjar Semate, kita juga melihat sebuah pohon beringin yang sangat besar. Nah itu namanya Pura Kecet, yang juga sangat keramat sangat tenget pada jamannya, dulu.

Cucunya Pekak Enteg yang di Legian, dia orang pinter itu,  kemudian....
Pekak Enteg itu sudah beragama Kristen ?
Sudah..! Lalu kemudian dia, ada punya murid-murid yang belum cukup mendapat pengajaran, karena Pekak Enteg keburu masuk Kristen. Padahal dia punya hubungan dengan yang di Jalan Sumatra ke Utara, apa namanya itu ?
Banjar Langon

Termasuk ada hubungan denganitu. Yang kaya itu? (maksudnya keluarga Pegeg & Co)
Tidak, yang sebelah Baratnya ! Kalau dia sampai menyebut cucunya Pekak Enteg, wow..., nanti saya tahu orangnya kalau dia punya waktu kapan cerita dengan dia.

Pernah tugas di Legian, Pak Pendeta?    ( Pendeta Sunarya, maksudnya )
Pernah, tiga tahun saya di sana. Saya masih ketemu ental(lontar)-nya selemari, tapi saya kan waktu itu orang tidak tahu apa-apa, ya..., disimpan di  satu lemari, ditunjukkan ke saya, Katanya, Pak Pendeta kalau tidak percaya saya dulu senang belajar, ini lihat !

Pekak Enteg itu, yang memperlihatkan ?
Iya. Pekak Enteg itu. Dia yang punya itu dan memperlihatkan ental itu. Satu lemari ! Lalu kemudian saya tidak tahu ceritanya itu, apakah dikembalikan ke Langon atau gimana.

Cucunya sekarang ada itu Si Pekek Enteg ?
Anaknya yang paling kecil ada, kalau cucunya banyak.

Kami sudah melewati rumah dari Dokter Sutapa, di Kapal menjelang Mengwi Tani, itu yang harus mungkin diwawancarai. Di Kaba-kaba banyak juga katanya komunitas Kristen. Kaba-Kaba dulu termasuk daerah Kerajaan Mengwi yang kemudian masuk wilayah Kerajaan Badung. Kaba-kaba adalah desa yang terletak di sebelah Barat desa Buduk dan memang memungkinkan untuk bisa dikembangkan. Satu saat kita juga akan harus datang ke desa Kaba-Kaba.

Ada juga gereja di Kediri, tapi pendatang, begitu ?
Tapi kebanyakan yang hadir di gereja itu adalah orang-orang yang dapat pendidikan di diklat Tentara. Jadi orang-orang pendatang, bukan komunitas Bali asli.

Bagaimana kaitan Langlang Linggah dengan Sudimara, Pak Pendeta ?
Orang-orang Kristen di Langlang Lingah itu ada hubungan famili dengan yang di Sudimara, sehingga waktu ada upacara kan mereka harus kembali ke rumahnya

Ada hubungan famili ? Diantaranya siapa ?
Itu dah keluarganya Pak Pendeta Nyoman Nama.

O.., Pendeta Nyoman Nama Suyasa itu ?
Iya, itu Pendeta Nyoman Nama Suyasa almarhum. Keluarga mereka kan asalnya Sudimara, Pak. Langlang Linggah itu asalnya Sudimara. Kalau dibilang pengungsian tidak, mungkin cari tanah mereka.

Kami sekarang melewati gereja di depan rumah Pak Puger, dari sini  kita menuju desa Sudimara, sehingga dapat kita bayangkan bagaimana Pendeta Puger dari rumahnya melakukan kebaktian memperkenalkan injil ke Sudimara, melakukan perjalanan yang sangat jauh. Kami ke Selatan. Jalan dari rumah Pak Puger menuju ke Sudimara sudah beraspal bagus tetapi jangan dibayangkan bahwa di tahun 1950-an ketika pendeta Puger menjalankan tugasnya jalan ini juga sudah begitu bagus. Kita sekarang menuju jalan ke Pantai Yeh Gangga. Sekarang memasuki  desa Sudimara Kaja. Desa yang di kanan kirinya masih terdapat pura-pura dan sanggah, sehingga benar bahwa di sini desa yang letak pura tidak mengikuti arah mata angin karena memang berhadap-hadapan. Inilah masalah yang menarik yang perlu kita bicarakan. Kita masuk Betesda Sudimara, GKPB.
Akhirnya saya sampai di banjar Sudimara Kaja, berhadapan dengan Bapak I Wayan Jagra dengan pungkusan (nama pangilan) beliau Pan Sadi Adnyana. Beliau lahir tahun 1933, saya mewawancarai beliau tentang kekristenannya.

Desa Sudimara ini, ya ?
Iya. 

Desa Sudimara, eh Banjar Sudimara ada dua gitu, ya Pak ?
Iya. Sudimara Klod dan Sudimara Kaja.

Bapak ini di Sudimara Kaja ?
Iya.

Yang mana Sudimara Klod ?
Ini, yang ke selatan, ada lagi tikungan lurus lagi kita ke depan, yang ke sini kaja.
Terus yang di sebelah Timur banjar Sudimara Kaja itu wilayah banjar mana ?
Banjar Cengolo.

Kalau di sebelah Barat ?
Karangayar.

Bongannya mana ?
Di Timur itu.

Dari Sudimara ke Bongan itu menurut I Wayan Jagra sekitar 3 kilo meter.

Bapak lahir tahun 1933, Apakah bapak ini Kristen pertama atau yang kedua ini ?
Yang kedua, yang pertama ini ....

Ayah bapak ?
Bukan. O ..., dari keluarga ini?  Pertama ini, dari ayah sampai cucu.

Jadi bapak yang pertama, gitu ?
Iya.

Tahun berapa bapak meseh (beralih) agama ?
Tidak ingat.

Meseh agama umur berapa, jangan dah tahunnya waktu itu jaman apa ? Jaman Jepang ?
Waktu Gestapu.

Siapa yang memperkenalkan agama Kristen ke sini ?
Kerabat saya, tapi sudah ada dasarnya satu di sini.

Siapa itu? Siapa namanya ?
Pan Sungkreg, sudah meninggal.

Dia yang pertama ?
Iya, dia yang pertama.

Di mana rumahnya ?
Di Selatan gereja itu.

Yang baru dibangun itu ?
Iya.

Itu namanya Pan Sungkreg ?
Iya, lalu baru saudara saya.

Apa sebabnya Pan Sungkreg meseh agama ?
Ya itu, dari saudaranya.

Siapa itu saudaranya ?
Pan Wageh

Pan Wageh itu dari mana ?
Dari sini tapi dulu transmigrasi ke langlang Linggah.

Apa hubungannya Pan Sungkreg dengan Pan Wageh ?
Dia bersaudara, kakak adik.

Siapa besaran ?
Pan Wageh yang di Langlang Linggah

Pan Sungkreg yang tinggal di sini, adiknya  ?
Iya, dia sendirian Kristen di sini. Istrinya tidak ikut.

Pan Sungkreg ini ?
Ya, anak dia tidak ada.

Anak Tidak ada? Tidak bisa punya anak ?
Iya, tidak bisa, sendirian dia. Kalau mau ke sanggah (kuil keluarga) ya,..pergi sendiri, saya mau ke gereja dia atur dirinya sendiri.

Pan Wageh yang mengajarkan pertama ?
Iya dia dasarnya, kalau menurut cara Bali yang mempelajari tata krama Bali, apalagi dia sakti.

Siapa Pan Wageh itu ?
Iya.

Kalau Pan Sungkreg sakti juga ?
Tidak. Itu tidak.

Pan Wageh itu memang ....?
Iya, orang dia memang belajar itu.

Bapak pernah ketemu Pan Wageh ?
Orang itu dulu, saya kan masih kecil.

Jadi tidak pernah bertemu ?
Tidak. Semenjak saya di sini, sudah jadi Kristen, gitu.

Sudah meninggal dia waktu itu ?
Belum.

Waktu dia hidup bapak pernah melihatnya ?
Orang dia sambil  mengajar di sini.

Kenapa bisa ke Langlang Linggah dia, punya tanah di sana ?
Tidak, itu kan orang dulu bersaudara banyak, ada empat orang saudaranya.

Siapa saja namanya ?
Pan Wageh.

Pan Wageh itu nama aslinya siapa ?
Aduh tidak tahu saya. Bersaudara empat dia.

Pan Wageh nomor satu ?
Iya. Yang tidak punya pungkusan itu namanya I Gelilin.

I Sungkreg itu ?
Pan Sungkreg itu I Gelilin namanya.

Anaknya I Sungkreg namanya ?
Bukan itu nama pungkusan (nama panggilan yang disesuaikan dengan nama anak pertama)-nya saja, tidak punya anak dia.
Kenapa bisa dipanggil Pan Sungkreg ?
Biar buat saja sih, siapa yang diajak dekat namanya Sungkreg dipanggil begitu.

Jadi sebenarnya namanya I Gelilin?
I Geliling.

Pan Wageh tidak tahu namanya ?
Tidak, ada sih namanya tapi saya lupa, pokoknya berempat sih dia bersaudara, lalu ke Langlang Linggah satu cari tanah. Pan Wageh itu lincah dulu, begitu dah dia belajar –belajar,..anu Bali itu.

Belajar kesaktian ?
Iya, dibilang supaya kita berani sama keluarga gitu. Akhirnya habis ajaran itu, lalu putus tengah jalan.Kenapa kita mempelajari ini,  karena kitab suci juga dipelajari.

Kitab suci apa ? Injil ?
Injil itu. Tidak ada surga itu di agama Bali, tidak ada surga kerahayuan baru ada, surga tidak ada.

O, begitu kata dia ?
Iya, sekarang Kristen yang dia pelajarinya. Nah menurut ceritanya dia, sayakan tidak tahu, saya mendengarkan saja.

Dia bercerita dengan ayah bapak begitu ?
Iya. Cuman keadaan waktu dulu itu diceritakan kepada saya, katanya Bapa begini dulu, bapa begini dulu, begitu.

Gimana dia ngomong, dia mempelajari agama, gitu ?
Dia mempelajari agama, telah habis mempelajari kitab suci Bali dan surga tidak ada, surga tidak ada katanya.

Cuma kerahuyuan yang ada ?
Kerahuyuan (keselamatan) jagat yang ada tapi nungkak (setengah-setengah, belum lengkap).

Untuk apa mempelajari ini ?
Karena kalau kita hidup  bukan kerahayuan (keselamatan) yang dipakai tapi hidup langgeng yang dipakai. Lalu dibuang pelajaran itu. Hidup langgeng yang dipakai, sekarang kita supaya bisa mencapai surga. Kalau jadi agama Hindu, naik ke surga itu tidak ada. Maksudnya saya dengar-dengar benar juga katanya. Berapa lama kita hidup di dunia ini, ya kalau kita rahayu (rahayu) ya rahayu,  kalau sakit sama juga kan begitu walaupun jadi orang Kristen, semua itu sama. Sakit, sehat sama tapi surga tidak ada, jalan ke surga itu yang tidak ada kecuali oleh Tuhan Yesus.



Kemana Bapak memberikan penjelasan Injil di banjar atau ke rumah-rumah ?
Tidak, tidak, waktu itu saya ke rumah-rumah. Di sini yang saya ajak Kristen itu karena dulu setiap tahun di sini ada yang sakit berat-berat.

Siapa itu yang sakit berat-berat ?
Ayah saya yang dulu sakit berat lumpuh, dua tahun. Waktu itu sangat sulit mencari dokter, kecuali ke Sanglah. Ke mantri yang  dari Tandaan juga pernah dan diajak ke sini, Di samping pokoknya di mana tempat yang keramat atau tenget yang mengatakan akan menyembuhkan sudah saya datangi. Tapi tidak bisa sembuh.

Siapa namanya yang sakit ?
I Made Kutang.

Apa hubungan bapak dengan I Made Kutang ?
Orang tua saya itu, ayah saya.

Waktu jaman apa itu ?
Kira-kira tahun 1961 itu.

Kapan meninggal, tahun berapa ?
Tidak ingat tapi di kuburannya ada

Mantri ke sini mengobati ?
Iya, mantri ke sini, tapi malah diobati malah semakin parah. Orang tua saya minta ke Pan Sungkreg karena hanya satu orang Kristen di sini yang dari Langlang Lingah. Saya bingung, kalau ayah ke sana orang dia Kristen sedangkan kita Hindu, tidak mengganggu nanti. Bawa saja saya ke sana, walau tidak dihiraukan. Berulang-ulang dia minta begitu, tidak saya hiraukan, karena saya tidak cocok dengan orang Kristen, itu alasannya. Jadi ke sana kemudian dengan doa-doa dan pengobatan boreh-boreh.

Siapa yang memberi boreh-boreh (parem-parem), Pan Sungkreg ?
Iya, dasarnya boreh itu, ada orang gila yang sepupu dengan ayah saya yang pungkusan- nya Men Rawig, ia gila ia keliling terus tidak mau di rumah padahal punya anak, obatnya disuruh boreh ketan, bawang putih ditambah jangu ( kesuna jangu).

Siapa yang nyuruh ?
Itu dah  Men Rawig itu, katanya saya orang gila-gilaan, Pan Jagra, percaya boleh tidak boleh, sekarang coba buatkan boreh ketan, bawang putih ditambah jangu.

Berarti dia orang gila, kenapa ke sana minta obat ?
Tidak minta obat ke dia, tapi karena sering di jalanan karena gila, ia tahu kalau saudaranya sakit, lalu singgah dia. Kemudian memberi tahu boreh itu. Ayah saya  luka borok karena tidak bisa bergerak, akhirnya  mau  mengikuti apa yang disuruh oleh orang gila atau orang yang dianggap gila itu. Akhirnya selama seminggu dipakai timbul bisul-bisul merah dan bernanah. Setelah sebulan pecah, lukanya di paha sebesar telapak tangan. Itu dikira bekas-bekas suntikan yang obatnya tidak berjalan. Itu keluar semua, lalu kira kira setelah satu bulan satu minggu  baru mau makan nasi sedikit-sedikit.

Pada waktu itu bapak masih kecil ? Sudah sekolah, Pak ?
Sudah, sudah besar. Setelah itu lama-kelamaan semakin sembuh dan sering Pendeta Puger ke sini. Hampir setiap malam. Akhirnya ayah saya sehat dan bisa pergi ke sawah seperti biasa.

Apakah  Men Rawig itu balian (paranormal)?
Tidak, Dia bukan balian, orang gila dia hanya iseng-iseng. Itu menjadi obat karena berkat Tuhan Yesus. Di sini juga karena kita berdoa setiap malam.

Maaf, kurang jelas saya, waktu itu bapak sudah meseh agama ?
Belum, waktu itu dan masih bingung, sebelum  ayah saya sembuh, saya juga sudah belajar-belajar sedikit agama Kristen.

Siapa yang mengajari ?
Pada waktu itu Pan Sungkreg, tapi ia buta huruf.

Pan Wageh ada waktu itu ?
Sering juga dia ke sini.

Masih hidup di waktu itu ?
Pada waktu itu masih sehat dan mengajari kakek saya yang masih ragu untuk meseh agama. Katanya sekarang adalah jalan yang benar, kalau keluarga akan dibuang, kalau tidak perlu ngapain kan tidak ada gunanya.

Sekarang lanjutkan tentang orang tua bapak, setelah sembuh dan bisa kerja ke sawah, apa langsung meseh agama ?

Tidak, pada waktu sakit sudah menyerahkan diri ke Pan Sungkreg. Pertama kan saya dan ayah saya saja dulu.

Maaf, saya belum jelas ini. Pada waktu memakai obat dari orang gila itu, sudah sembahyang ke gereja ?
Sudah, dari lama sudah tapi ke gereja belum karena gerejanya di Bongan.

Di mana sembahyang pada waktu itu ? Di rumahnya Pan Sungkreg ?
Iya.

Berarti duluan sembahyang ke rumahnya Pan Sungkreg, baru ketemu obat dari orang gila itu ?
Ya,iseng dia main ke rumah karena sering di jalan, tahu saudaranya yang sakit, dia mampir karena ia kan orang gila.

Jadi seolah-olah Tuhan Yesus melalui Men Rawig itu memberi obat, ya ?
Iya begitu jadinya ditafsirkan.

Men Rawig itu sudah meseh agama ?
Tidak, dia kan orang gila, keluarganya juga tidak memperhatikannya.

Berarti hutang budi bapak dengan Men Rawig ya ?
Iya, tapi karena orang gila ia tidak merasa saya berhutang budi, pokoknya biar sembuh saja, kan begitu.

Berarti sebelum itu ke Pan Sungkreg sudah sembahyang-sembahyang ya ? Kan berdua saja dari sini ? Dari warga banjar lain kan tidak ada ?
Riwayat itu kan riwayatnya saya saja. Yang dulu ada saudara Pan Sungreg di sini.

Siapa namanya ?
Nang Sangkreg.

Bapak memanggil apa nang atau bapa ?
Saya memanggil uwe (paman) waktu itu

Berarti nang, ya. Berarti besaran dia ya ?
Besaran jauh dia.

Sudah beragama Kristen dia waktu itu ?
Dia sudah meninggal.

Berarti kan dua yang beragama Kristen ?
Iya sebelum saya ada dua, Pan Sungkreg dan Pan Sangkreg.

Hubungan apa Pan Sungkreg dan Men Sangkreg ini ?
Pan Sungkreg dan Men Sangkreg bersaudara, jadi dia saudara sepupu.

Tapi I Sungkreg duluan Kristen dari I Sangkreg, ya ?
Iya.

Kalau dihitung-hitung berarti bapak nomor tiga jadi Kristen di sini, Ya ?
Iya nomor tiga, bukan pertama saya.

Setelah ayah bapak sakit, pendeta Puger ke sini mendoakan ?
Iya.

Apa tidak ada pengaruhnya bahwa pendeta Puger yang menyebabkan bapak meseh agama ?
Oh, tidak. Pada waktu ayah saya sakit, keluarga saya Pan Sungkreg ini yang saya anggap tempat bertanya. Setelah sepakat itu baru dicarikan pendeta.

Siapa yang dicari ?
Itu dah Pendeta Puger, lalu sering dia ke sini mengunjungi, pada waktu itu kan lagi semangat pemuda-pemudi di sini.

Apa yang dicari ke sini ?
Itu dah persekutuan doa

Mendoakan orang tua bapak ?
Iya.

Siapa duluan, sesudah mau sembuh didoakan atau sebelum yang gila itu datang ?
Mulai semenjak saya mengajak ke Pan Sungkreg itu, dua harinya ada sudah yang datang mengunjungi dari Bongan

Mana duluan datang Men Rawig itu ?
Nah, itu dah setelah agak-agak ramai Bongan datang, pendeta, lalu datang dia main,tapi jauh sesudahnya.

Ada setelah tiga bulannya baru Rawig datang ?
Sekitar tiga bulanannya
Berarti setelah tiga bulan bapak sembahyang (ngastawa) baru dapat obat dengan kedatangan Rawig Ya ?

Iya, ya begitu.
Waktu tiga bulan berdoa itu Pendeta Puger ke sini ?

Ke sini.
Setiap hari ?
Tidak, pokoknya kalau ada waktu pasti dia kemari.

Mendoakan sendirian ?
Iya, kadang pemuda-pemudinya diajak ke sini.

Berapa orang kira-kira ? Ada sepuluh orang ?
Ada.

Bagaimana sembahyangnya, Pak ? Ngomong apa atau di dalam hati ?
Bersuara, dalam bahasa Bali, Duh Ratu Widiaji Widi saya di sejeroning nama Tuhan Yesus, saya hambaMu semua akan memuja dan sembahyang untuk hambaMu Pan Jagra, karena dia dari lama menderita, tidak bisa bangun, ada di tempat tidur saja. Sekarang saya memohon dari tangan Yang Maha Kuasa memberkati dia supaya sembuh seperti semula. Doa itu meliputi semua gangguan setan, roh-roh jahat yang menggangunya, melalui kuasa Mu roh-roh setan terusir, namun Ida Sanghyang Roh-Roh suci di tengah-tengah keluarga saya supaya bersinar terang. Seperti ini, saudara saya yang sedang sakit ini. Demikian permohonan saya, saya minta  pertolongan atas restu  Tuhan Yesus yang menjadi juru keselamatan saya, langgeng selamanya.

Siapa yang memohon demikian, pendeta atau siapa ?
Pendeta yang duluan. Kadang-kadang bisa giliran ngomong begitu, mendoakan.

Lama berarti ?
Lama, ada dua puluh menit.

Setiap orang atau keseluruhan ?
Keseluruhan.

Dimana tempatnya dulu ?
Itu di rumahnya Pan Sungkreg.

Ayah bapak dibawa ke sana ?
Di sini dah dia pindah tinggal sampai sembuh.

Setelah dapat obat dari Rawig, melapor ke pendetanya ?
Saya katakan begitu ke pendeta, ada orang gila yang memberi obat dan saya pakai alasannya karena Ida Sanghyang Yesus yang artinya memberi petunjuk Men Rawig itu.

Begitu bapak  melapor ke pendeta ? Ida Sanghyang Yesus yang bapak sebut ?
Iya, Ida Sanghyang Yesus menyebabkan Men Rawig itu memberi obat.

Bagaimana jawaban pendeta, waktu itu ?
Tidak apa-apa, pokoknya apa saja boleh. Yang penting perhubungan kita dengan Tuhan Yesus tidak boleh putus. Karena saya tidak terlalu mengerti tentang agama Kristen, saya nunut saja.

O, begitu kata pendetanya ?
Iya, apa saja boleh, apa lagi sekarang makanan apa saja yang diinginkan kasih saja.

Pada waktu itu bapak kan masih agama Hindu karena belum dibaptis, ya. Tidak ada bapak sembahyang di Betara  Hyang Guru ?

Tidak, karena waktu itu sudah saya lepas, disamping itu saya sudah payah.
Payahnya gimana ?
Soalnya waktu di rumah saya sudah kesana kemari berobat.

Kesana kemari kemana saja bapak sudah mencari obat ?
Ke balian-balian di Bekel Kawan,dekat sini.

Siapa nama balian-nya ?
Men Jenek.

Sudah ke sana berobat ?
Iya.

Apa dibilang oleh balian-nya ?
Tidak ada. Diajak saya ke pura dalam di desa Sudimara ini. Saya tidak tahu, saya hanya mengantar dia ke sana, saya tidak tahu apa-apa. Saya bawa juga  ke Pan Sungkreg itu, tapi ini saya mencari obat sebelum ke Pan Sungkreg.

Berapa sudah balian yang dicari ada sepuluh ?
Tidak, tapi artinya saya sudah payah, malah saya sudah lupa pernah ke Pan Jibreg di Celuk, Sudimara. Saya pernah kesana mencari obat di balian. Ke sana ke Pandak saya juga pernah ke mantri Setor namanya.

Berarti ke balian dua kali dan sekali ke mantri, ya , dan tidak bisa sembuh ?
Iya disamping itu, kalau dulu kan tanya-tanya di mana kena sakit, itu yang penting.

Dimana terus dikatakan kena sakit ?
Di Ngis, secara niskala, lalu ke sana mebanten (menghaturkan sesaji) kalau bisa harus membuat pelinggih (altar pemujaan). Tapi saya tidak sanggup, itu dah  sebabnya saya katakan payah. Lalu pindah saja dah, saya ke Pan Sungkreg.

Pan Sungkreg bisa menyembuhkan orang ?
Tidak, obat Tuhan Yesus saja dengan doa.

Sehat itu  di Pan Sungkreg kan karena Men Rawig itu ya ?
Yang mendoakan dari Bongan ke sini, dari Surabrata ada juga kabar injil, yang dulu sakti.

Ada kabar injil di Surabrata ?
Dulu kalau cerita kabar injil dah

Siapa di Surabrata yang menjadi kabar injil ?
Pan Rena.

Masih hidup sekarang Pan Rena Ini ?
Tidak sudah meninggal

Pernah ke sana berobat ?
Tidak dia yang ke sini ke sini.

Pendeta dia dulu ?
Tidak, artinya yang senang cerita dulu. Kalau sekarang pengkabar injil sekarang kan ada sekolah, kalau dulu dasarnya karena ia balian dulunya, sakti dulunya.

Pan Rena itu balian dulunya ?
Iya, sakti dia lebih sakti dari Pan Wageh.

Ke sini juga dia mengobati ?
Dia juga yang membantu mendoakan dalam sembahyang.
Bukan obat Balinya yang dipakai ?
Tidak, tidak bawa obat dia.

Hanya didoakan saja ?
Iya, karena sudah sah agama Kristen kan tidak lagi balian.

Bapak tidak pernah mendengar apa sebabnya ia meseh agama ?
Nah itu sama riwayatnya dengan Pan Wageh, artinya pelajarannya  lebih tinggi dari Pan Wageh, habis dipalajari ajaran-ajaran di agama Hindu itu, kalau dibanding-bandingkan..

Agama Hindu waktu itu dibilang atau agama Bali ?
Agama Hindu! Katanya, Bapa banding-bandingkan dan cari-cari di kitab suci, tidak ada nak, di Agama Hindu itu tidak ada jalan yang bagus, tidak ada surga pokoknya, tidak ada penebusan dosa. Kalau dibandingkan dengan agama Kristen, lebih bagus jalannya menurut Bapa, kamu tidak boleh percaya dulu. Rahayu ada di sini, surga ada di sini, merta (kehidupan) juga ada, begitu dia bilang kepada saya. Dari sini pikiran saya sedikit demi sedikit berubah, dari tidak tahu.

Pan Rena itu siapa nama sebenarnya ?
Tidak tahu.

Berarti dia yang ke sini? kalau dihitung-hitung sekarang orang yang mendoakan ortu bapak pertama Pan Sungkreg, Pan Wageh, Pan Rena, terus pendeta Puger ? Empat jadinya yang mendoakan ke sini ?
Ya itu yang penting- penting saja yang saya katakan.

Iya pemuda-pemudi itu kan lain. Setelah itu baru ketemu Men Rawig itu, begitu  ?
Nah, itu dah ketika sedang giliran datang itu, baru datang Men Rawig.

Iya itu dah berarti semua datang ke rumah Pan Sungkrreg karena di sana tempat ayah anda  berada kan ?
Iya, ke sana saja, ke rumah ini tidak pernah.

Terus lanjutkan dulu lagi sedikit begitu dia bilang jangan dulu percaya sama bapa, atau gimana ?
Begini, katanya jangan dulu percaya sama bapa, karena ini dipercaya boleh, tidak juga boleh, karena Kristus itu ada yang mempercayai ada yang tidak cocok, atau anti dengan orang Kristus.

Berarti bapak masih ragu-ragu di hati bapak apa ini benar, kan gitu  ?
Itu karena saya bodoh, sekarang pegangan saya kan kenyataan karena saya minta sembuh ya.. kalau sembuh, ya..

Tidak sebelum sembuh ayah bapak, kan masih goncang ?
Masih goncang pikirannya.

Karena belum ada bukti, kan gitu ?
Iya, tapi kalau dibilang tidak ada bukti ada, begini ceritanya dulu supaya tidak ragu-ragu saya ragu juga masih, sedikitan ragunya dibandingkan takutnya, gitu. Takut karena di desa ini, diginikan nanti digitukan nanti, karena sebelumnya saya pernah mengerjain orang Kristen. Melakukan tindakan yang tidak benar, gitu.

Siapa orangnya ?
Pan Suwirya atau Pan Sangkreg itu.

Pan Sungkreg dan Pan Sangkreg itu ?
Iya.

Bagaimana ceritanya ?
Ini kan di desa sering mengadakan sabung ayam, suka duka tajen di pura-pura, setelah upacara di pura itu mengadakan tajen, dia tidak mau ikut.

Sungkreg tidak mau ?
Iya, tidak mau, setelah itu kalau begitu biarkan begitu, buang saja, kucilkan, jangan dia diajak  sebagai warga desa. Saya ikut karena ikut-ikutan karena tidak tahu apa-apa, karena bodoh.

Waktu itu bapak masih kecil ?
Oh, tidak, sudah kawin tapi karena bodoh. Itu karena takut saya nanti saya yang dibegitukan, mereka kan hanya berdua, jadi saya ikut warga yang lain.

Apa saja yang bapak lakukan waktu itu ?
Ikut bagaimana dan apa yang dilakukan orang banyak saya ikut saja.

Kesepekang atau dikucilkan itu diapakan saja, tidak diajak ngomong gitu  ?
Tidak diajak gradag-grudug, tidak diajak bareng-bareng, kalau ada suka duka di desa tidak diajak, kalau di punya  kerjaan tidak diperhatikan.

Kerjaan apa dia pernah punya ?
Waktu itu belum, waktu itu di Bengkel pernah kena  sanksi seperti itu.

Di mana Bengkel itu ?
Di sini, saudara Bengkel kan  dulu ada keluarga Kristen.

Siapa namanya ?
Men Sulandri, Pan Sulandri.

Kasepekang atau dikucilkan juga dulu ?
Iya. Tapi saya waktu itu sudah Kristen, walaupun tidak dihiraukan pekerjaannya bisa selesai.

Sebelum bapak Kristen, bapak tidak ngomong dengan Pan Sungkreg ?
Ke sana saya tidak berani, padahal hidup saya di sana.
Ada hubungan apa bapak ke sana ?
Kalau dibilang saudara tidak, famili tidak hubungannya hanya hubungan klan (braye).

Tidak ada hubungan saudara, soroh apa bapak ?
Saya orang jaba (di luar kelompok Brahmana, Ksatria, Wesia). Pasek Gelgel tapi saya tidak ikut sekarang.

I Sungkreg  pasek juga dia ?
Tidak, apa lain dengan saya.

Berarti waktu itu putus bersaudara ?
Iya, minta apa saya malu ke sana.

Dulu tidak malu ?
Dulu saya ajak saling isi, apa yang ada di sini, apa ada di sana sama saja.
Sawahnya diberi air ?
Diberi.

Sudah dikucilkan kenapa diberi air ?
itu kan di desa.

Berarti di subak dia tidak kena, hanya di banjar dikucilkan ?
Iya. Kalau di subak tidak kena, kalau di banjar sini, bagaimana orang sini dijalankan tapi tidak sampai ke atas.

Tapi bapak waktu itu ikut-ikutan saja ya ?
Iya.

Lalu waktu ayah bapak sakit, bagaimana bapak ngomong dengan Pan Sungkreg ?
Begini, Pa, saya di rumah ayah saya minta ke sini. Kalau saya sulit memutuskan karena sudah tiga kali dia minta ke sini kalau saya tiga memberi, sekarang saya minta tolong, karena begitu permintaannya. Bagaimana rasanya apa Bapa mau menerima ? Kalau saya mau menerimanya dari dulu tapi saya sungkan sama kamu, begitu katanya. Saya malu sama kamu tapi sekarang karena kamu juga yang punya tujuan atau keinginan menaruh ayahmu disini silakan saja, di mana saja mau ditempatkan silakan. Jadi seketika pindah ke sana dan dibuatkan tempat sepecial di jineng(lumbung padi)-nya karena rumahnya  kecil. Katanya karena dia berdua dan sudah tua-tua, ikut juga dong ke sini melihat atau menengoknya walaupun kamu tidak beragama Kristen. Iya, itu tanggung jawab saya, jawab saya. Jadi setelah itu kita berembuk dengan keluarga yang di rumah, saudaranya ayah saya, supaya tidak tersinggung. Ya gimana saja lah di sana, yang penting rahayu saja, begitu katanya.

Siapa nama kakaknya ayah bapak ?
Pan Jagri, adik ayah saya.

Siapa nama sebenarnya ?
I Ketut Lukis.

Ayah bapak nomor berapa ?
Nomor satu.

Nomor duanya siapa ?
Nomor duanya... yang mati-mati saya tidak tahu, namanya saya lupa. Yang diajak di sini I Nyoman  Ceteg, misannya ayah saya.

Berapa KK di sini ?
Lima KK di sini

Jadi misan mindon itu ?
Iya, saudara kandungnya hanya I Ketut Lukis.

Waktu itu rembuk sama yang lain, di mana tempatnya ?
Saya kumpulkan di sini.

Dengan I Ketut Lukis itu kan pamannya bapak? Bagaimana bapak ngomongnya ? Apa bapak yang ngomong ?
Iya, Begini, nang (bapak) semuanya, biar tidak tersinggung, ayah saya sekarang ke Selatan, tidak bisa dilarang karena tujuannya dari lama ke sana terus. Kalau dia ke sana pasti akan jadi Kristen, kalau bisa ya jangan semuanya jadi Kristen.

Siapa yang bilang begitu ?
Itu, paman saya I Ketut Lukis. Kalau mau sembuh ya serahkan saja dia, kalau kamu jangan dulu, katanya.

Jangan dulu, katanya ?
Iya, jangan dulu masuk Kristen. Iya begitu saya jawab, karena saya takut dibuang oleh banjar. Karena saya tidak tahu kekayaan jagat tidak jadi apa terus kekayaan surga itu baru bagus, sekarang kan tidak begitu. Jadi takut saya. Nah, sekarang kan mencari rahayu, nanti itu bagaimana, itu belakangan, sekarangkan mencari kerahayuan biar dimana itu tidak pandang agama.

Berapa lama ayah bapak di Pan Sungkreg ?
Ada satu tahun, di rumah dia dua tahun.

Ayah bapak yang ingin ke sana atau bagaimana ?
Ayah saya yang mau.

Bagaimana bisa terjadi ?
Karena Pan Sungkreg itu sering ke sini. Kalau mau kamu ke Selatan, tapi karena saya Kristen. Kalau tidak ada Tuhan Yesus mengobati tidak bisa itu. Itu dikatakan karena sudah saya sering ajak ke pura dalam dan dalam keadaan payah, begitu.

Siapa saja yang sering main ke sini ?
Pan Sungkreg saja.

Siapa besaran ayah bapak atau Pan Sungkreg ?
Pan Sungkreg besaran. Ia dipanggil beli oleh ayah saya.

Sering dia main ke sini ?
Iya, ke sini saja dia karena dia memang lincah, ada yang sakit ke sini dia.

Kalau tidak Sang Hyang Yesus menyembuhkan tidak bisa, begitu katanya ?
Iya, begitu. Lalu minta ayah saya ke sana, ngomong sama saya.

Bilang sama saudaramu, begitu katanya ? (Maksudnya Pan sungkreg)
Oh, tidak. Saya berunding berdua saja, sambil dia terus minta tolong.

Lalu apa kata ayah bapak ?
Nanti bawa dah saya ke selatan, misalnya  saya mati di sana, pasti saya lega atau puas. Apa, tapi dia kan agamanya lain dia Kristen, kita Hindu kata saya. Nah itu bapa tidak terlalu bapa pikirkan tentang agama, pokoknya kalau sudah di sana saja bapa akan sangat senang. Daripada bapa meninggal di rumah tidak karuan, katanya. Terlalu seringnya, setelah lewat tiga kali baru saya penuhi.

Berpamitan bapak waktu itu dengan sanggah di sini  ?
Oh, tidak.

Katanya sudah dikucilkan kenapa bisa sering main ke sini ?
Itu sudah lama, dikucilkan ada setelah lima bulannya, setelah bersatu lagi.

Oh, lagi bergabung ?
Iya. Kalau dikucilkan (di-sepekang) saya yang paling keras setelah saya menjadi Kristen.

Tidak berpamitan di sanggah waktu itu ?
Tidak, tidak ada, saya juga tidak melakukan itu hanya di keluarga saya. Pokoknya ya jalan pindah ke sana.

Siapa yang mengangkut ke sana ?
Orang banyak waktu itu.

Banjar bagaimana waktu itu diam saja ?
Tidak, karena orang sakit waktu itu, banjar itu kalau kita sehat-sehat begitu baru keras, kalau orang sakit tidak diperhatikan.

Tidak terlalu diperhatikan, begitu ?
Waktu itu saya saja yang ke selatan, saudara lain juga jarang-jarang.

Banjarnya pernah membesuk ke sana ?
Tidak, kecuali yang dekat hubungan saudara saja, itupun hanya bertanya, apa sudah baikan dia ?, begitu saja. Tidak ada yang ngomong apa-apa.

Ayah bapak meseh agama dulu atau setelah sembuh ?
Tidak, pokoknya percaya Tuhan Yesus waktu itu sudah, tapi belum dibaptis.

Belum dibaptis ?
Belum.

Baru percaya itu sudah namanya meseh agama ?
Menurut saya hubungan dengan Tuhan itu sudah cukup, waktu itu.

Belum Dibaptis ? Setelah kapanya baru dibaptis ?
Waktu itu orang lama-lama.

Setelah sembuh ?
Sekitar, setelah ayah saya bisa berjalan belum dibaptis juga, sampai bisa diajak ke Bongan.

Terus dimana dibaptis waktu itu ?
Itu di Bongan

Dapat pelajaran di Bongan juga ?
Iya, pelajaran juga dapat di sana, waktu itu saya sekeluarga, jadi pendetanya datang kesini, mebaptisnya di situ karena gerejanya hanya  satu waktu itu. Setiap minggu ke sana kebaktian.

Jalan kaki ke sana ?
Iya jalan kaki, pada waktu itu hanya saya yang sudah mempunyai sepeda.

Setelah sembuh tapi belum dibaptis, apa waktu itu sudah disebut meseh agama ?
Sampun (sudah)

Kalau bapak sendiri belum ?
Sudah, saya.

Berarti syarat menempatkan ayah di Pan Sungkreg itu sudah ditanya oleh Pan Sungkreg, apa mau meseh agama, begitu ?

Oh, tidak. Katanya begini, kalau di rumah ini nanti akan sembahyang ke Tuhan Yesus, di sini tidak ada dewa hanya ada Tuhan Yesus, apa kamu percaya dengan ini ?  Iya, pokoknya sembahyangin saja, begitu jawab saya, pokoknya rahayu.

Percaya itu ? Percaya atau sembahyang saja ?
Iya.

Bagaimana bapak menjawab kalau begitu omongan Pan Sungkreg ?
Nah saya percaya Tuhan Yesus akan menyembuhkan. Pada waktu itu saya masih terikat oleh keadaan, karena kalau meninggal ayah saya di sana bisa saya berhenti jadi Kristen.

Oh, begitu, itu artinya sedang coba-coba masuk Kristen ?
Iya masih coba-coba, kalau ayah saya sembuh.

Waktu itu ada janji dalan hati  kalau sembuh , maka...   ?
Oh, tidak ada pikiran seperti itu, pokoknya waktu itu supaya sembuh saja

Tidak ada janji dalam diri sendiri ?
Tidak, pokoknya ikut saja ayah saya bagaimana nanti. Kalau sudah sembuh ya Kristen.

Baru kan bapak bilang kalau tidak selamat ayah maka tidak jadi masuk Kristen ?
Itu dah, kebingungan itu.

Apa yang menyebabkan kebingungan itu ?
Yang menyebabkan bingung masih terikat oleh kekayaan dunia, jadi sawah katanya tidak diberikan, seperti dipengalaman Langlang Linggah, sawahnya ditutup aliran airnya, dulu. Ke sana jadinya pikiran saya, tidak konsentrasi.

Menjawab pada Pan Sungkreg, iya, saya ikut, begitu ?
Iya, mulai dari sembahyang  pertama itu saya sudah berpikir

Kan diajari bapak pertama sebelum tahu sembahyang Kristen, ya ?
Dari buku-buku kidung Bali, dari Duaji titiang dari Suargan, itu yang saya pelajari.

Bagaimana bunyinya ?
Tidak ingat saya, Duaji Widi sane sejeroning meparab Tuhan Yesus, Widin titiang sane wenten ring suargan, Titiang ngastawa  reraman titiang semalih keluargan titiang pang suyakti Sang Hyang Yesus mengicening tamba, mangda Ida Sang Hyang Roh suci bersinar ring titiang. (Ya Sang Hyang Widhi Wasa dalam nama Tuhan Yesus, Tuhan saya yang ada di Sorga. Saya mendoakan ayah saya dan keluarga saya supaya benar-benar Sang Hyang Yesus memberikan obat, semoga Ida Sang Hyang Widhi bersinar pada diri saya).

Pada waktu itu diberikan buku untuk dipelajari ?
Iya, buku Bali.

Siapa yang memberikan buku, Pan Sungkreg ?
Kalau asal buku, waktu itu sangat gampang.

Di mana katanya dia mendapatkan buku waktu itu  ?
Di sana di Penyobekan namanya dulu.

Di Penyobekan di Tabanan ?
Itu, sekarangkan di sinode namanya.

Oh, iya,iya.Terus bapak dapat buku untuk dibaca,ya ?
Iya diberi saya buku, yang mana saya mau baca, mau belajar mekidung, ini ada bukunya. Saya, Suryan Sang Tri Surup hafal saya karena setiap sore saya ambil dan baca.

Bapak  belajar dulu atau langsung bawa ayah bapak ke Pan Sungkreg ?
Pindahkan ayah dulu kesana dan belajar di sana.

Mana duluan bapak punya buku atau pindahkan ayah bapak ?
Pindahkan dulu, kalau di rumah mempelajari buku saya kan tidak mau karena waktu itu saya kan anti dengan orang Kristen.

Kemudian setelah ayah bapak di sana baru kemudian belajar, begitu ?
Iya, setelah dua minggunya baru saya belajar-belajar.

Kemudian siapa yang mendoakan pertama kali di sana ?
Pan Sungkreg.

Bapak tidak ikut ?
Kalau sembahyang ikut  saya, tapi tidak tahu, hanya mendengarkan saja.

Tidak ikut komat kamit atau tidak disuruh mengikuti baca ini, baca ini ?
Tidak, belum waktu itu belum, setelah kira-kira dua minggunya baru diajarkan.

Berarti waktu itu bapak hanya mencakupkan tangan saja ?
Iya.

Lalu apa isi pikiran bapak waktu itu ?
Waktu itu belum saya mengerti saya tidak ngomong apa-apa, di agama Hindu juga saya kan tidak terlalu aktif.

Siapa duluan bapak atau ayah bapak dibaptis ?
Samaan.

Di mana dibaptis ?
Di Bongan.

Siapa yang membaptis ?
Pendeta Puger dan mencari lagi pendeta tapi tidak ingat Pak Ayub apa Pak Sueca.

Berapa oraang yang dibaptis di Bongan ?
Ada 4 orang dari sini.

Siapa saja ?
Istri saya, namanya Ketut Jabrig sudah meninggal, ibu saya Wayan Gambuh.

Ikut juga dibaptis ?
Iya

Ayah bapak,  baru dua. Siapa lagi ?
Wayan Sadi.

Baru tiga ?
Nengah Suena.

Empat. Bapak lagi satu ya ? jadi lima orang ?
Iya, yang belakangan ada dua orang lagi.

Pak Sadi, anak bapak belum waktu itu ?
Belum dibaptis waktu itu, eh itudah barengan sama saya.

Berapa umurnya waktu itu ?
Lupa saya.

Mana duluan dibaptis bapak atau pak sadi ?
Itu dah barengan (anaknya, I Wayan Sadi datang dan menjawab ) Ini, ini tanggal 30 Juni 1957,  I Ketut Gelimbeng, ini yang menerima buku Seket Kalih pertama kali, Pan Sungkreg, I Wayan Weris istrinya, Ni Ketut Sidiari anaknya, kemudian I Nengah Jigreg ini yang gila yang pertama ini.

Siapa ini yang membaptis pertama ?
I Gusti Putu Wikandra.

Bukan pendeta Puger ?
Bukan. Ini sudah ditulis ini, Di Bongan oleh I Gusti Putu Wikandra.

Siapa yang mengabarkan injil ke sini ?
Pan Wageh bersama I Made Rena. Pan Wageh itu kakeknya Pak Made Agusta. Pan Wageh itu saudarannya Pan Sungkreg yang mencari tanah di Langlang Linggah. Ada penginjil di sana namanya Pan Made Rena, kemudian Pan Wageh ini percaya, dan ingin saudaranya di sini juga menjadi Kristen, I Ketut Gelimbeng ini, dibawalah buku seket kali itu. Yang sakit ini, I Nengah Jigreg ini orang yang gila.

Men Rawig itu ?
Bukan, lain itu, itu yang memberi ayah saya obat.

Jadi Pak Sadi ini dengan bapak (ayahnya) barengan jadi Kristen ?
Iya ini tahun 1965, saya tahun 1960 dibaptis, ini tanggal 5  Juni 1960 dibaptis oleh Pak I Ketut Sueca. Yang dibaptis I Wayan Kutang ini kakek saya, Ni Wayan Gambuh nenek saya, I Wayan Jagra ayah saya, Ni Ketut Jabrig ibu saya, I Wayan Sadi saya, I Nebgah Suena adik saya, I made Tansi ada jemaat di sini, I Nyoman Mideh masih hidup orangnya ini, ini yang  buta ini. I Made Tansi percaya jadi orang Kristen karena I Nyoman Mideh ini buta dan ia sembuh, gitu. Nyamprug ini anaknya.

Siapa yang mendoakan dia sampai sembuh ?
Orang di sini, termasuk juga kadang-kadang Pak Rena dengan Pan Wageh.

Masih hidup Pak Rena ?
Tidak.

Setelah dibaptis terus bapak dikucilkan ( kasepekang) ?
Dikucilkan tahun 1966, dibaptis tahun 1960 karena waktu itu berkaitan dengan Gestapu karena agama Kristen dianggap masih asing dan mungkin dikaitkan dengan PKI, padahal saya di sini semua PNI dan akhirnya minta perlindungan di cabang waktu itu. Padi saya di sawah hampir lima hektar habis dalam satu malam.

Setelah mendapat catatan orang yang dibaptis, waktu itu banjar tahu bapak dibaptis ?
Tahu. Tapi waktu itu persatuannya masih bagus, aula biasa di sini. Saya tinggal pergi ke Bongan, warga sini yang mengatur tamunya.

Pada waktu berangkat ke sana, diketahui oleh banjar bahwa keluarganya bapak akan dibaptis ke sana ?
Pada waktu itu sebelum merencanakan akan ada kerjaan itu, dibaptis itu, ada atau minggu sebelumnya saya sempat mengundang banjar.

Mengundang kelian banjar (kepala dusun) atau warganya saja ?
Kelian banjar, warga juga.

Bagaimana bapak mengundang kelian  banjar waktu itu  ?
Kalau dulu kan sedikit kelian-nya, saya akan ada kerjaan saya ingin masyarakat datang, saya beritahu keliannya. Sekarang ada kerjaan, sehari sebelumnya minta dibantu, ya seadanya apa adanya di sini.

Ada kerjaan apa, tidak ditanya oleh Keliannya ?
Sudah umum itu seperti memotong babi, menghias sedikit. Lalu warga kerja di sini saya sekeluarga berangkat ke sana.

Ditinggal rumahnya ?
Iya, ditinggal, warga banjarnya yang menerimakan tamu di rumah.

Kerjaan apa ini, tidak ada hari raya, tidak ditanya ?
Orang sudah diketahui saya akan dibaptis.

Oh, banjarnya sudah tahu ?
Sudah, sebelumnya sudah tahu kalau saya akan dibaptis hari anu, gitu.

Waktu itu semua ke sini ?
Pada waktu itu sangat bagus.

Apanya yang bagus ?
Kegotongroyongannya. Apa saja kerjaan selesai. Seperti dua hari yang lalu ini, cucu saya kawin juga dibantu oleh banjar.

Pada waktu itu warga banjar yang membereskan kerjaan, padahal sudah tahu kalau akan menjadi Kristen ?
Karena sudah lama menjadi Kristen, tinggal dibaptis saja. Lalu berangkat saya semua ke Bongan untuk dibaptis, karena hanya di sana ada gereja, di sini kan belum.

Kalau di sini siapa yang menyumbang tanah gereja ?
Pan Sungkreg, itu dengan cara membeli tapi dengan murah.

Sesudah dibaptis, ketika kembali ke rumah kerjaan sudah beres ?
Iya, tinggal menerima tamu yang datang.

Banyak tamu yang datang ?
Iya.

Berarti kan sudah diterima dengan baik bapak menjadi Kristen ?
Sudah, dengan baik.

Setelah Kristen, tidak membongkah sanggah ?
Tidak, sanggah itu kan, setelah saya datang dari dibaptis sanggah saya serahkan ke keluarga lain.

Bagaimana bapak ngomong untuk menyerahkannya ? Sebelum bapak pulang sudah bapak serahkan ?
Iya, Ini sanggah sudah tidak lagi saya yang memelihara.

Bapak ngomong dengan paman bapak I Ketut Lukis ?
Iya, Nah itu jangan dipermasalahkan, biar saya dengan yang masih beragama Hindu yang mengurusnya, gitu katanya. Iya, biar jelas, itu kata saya. Ada juga sanggah di sawah saya, terus ada tidak yang ngurus kalau tidak akan saya bongkar, begitu saya ngomong.

Bukankah siapa yang terima tanah sawah dia yang bertanggung jawab mengurus ?
Tidak, sekarang kan begini, soalnya kan begini maksud saya, sawahnya itu di sini punya saudara, yang di sinian saya, sedangkan sanggah itu ada dekat di tempat saya, kalau saja dipindahkan saja sedikit. Kalau masih ditempat saya, saya takut dan tidak akan saya ijinkan. Kalau dipindah bisa, soalnya kalau tetap di sana, nanti dia bilang sawah ini punya saya karena saya yang mengurus sanggah-nya. Makanya saya bongkar sanggah tersebut.

Dengan siapa bapak membongkarnya ?
Saya ajak Pak Pendeta Puger.

Membongkar sanggah itu ?
Iya, sebelumnya saya berdoa saja, lalu dibongkar.

Pada waktu itu tidak ada warga banjar yang marah ?
Oh, tidak, pada waktu itu tidak ada, karena kenapa repot dia kan membongkar miliknya sendiri. Orang dia kan berani membongkar sanggahnya sendiri, kalau ada apa-apa kan ditanggung sendiri, kenapa kita yang repot.

Pada waktu itu bapak sudah menjadi Kristen sah ?
Iya, sah.

Tapi sampai kasepekang (dikucilkan) itu kenapa ? Padahal jauh sekali jaraknya 6 tahun.
Itu kalau bukan karena Gestapu, itu tidak akan terjadi kalau hanya oleh warga di sini.
Berarti dari tahun1960 sampai tahun 1966 itu, bapak biasa mebanjar di sini ?
Biasa.

Ayahan (pelayanan) apa saja yang bapak dapatkan dari banjar ?
Ayahan dinas saja.

Ayahan adat tidak dapat ?
Tidak.

Kalau ada orang mati di sini ?
Kalau adat tok di desa sini yang termasuk adat pura desa, pura dalam termasuk adat, kalau suka duka biasa, kalau kematian biasa.

Kalau kematian banjar ke sini ?
Ke sini.

Kalau warga banjar Hindu ada kematian, bapak ke sana ?
Ke sana juga. Gotong royong itu. Makanya pada waktu itu  kalau bukan karena Gestapu hal itu tidak akan terjadi di sini.

Waktu Gestapu siapa yang paling dulu memanas –manasi ?
Yang mencari gara-gara itu banyak.

Diapakan bapak waktu itu, mau dibunuh atau apa ?
Oh, tidak,  ada omongan si ini dekat dengan ini, gimana orang Kristen ini,  apa akan dihancurkan dan sebagainya.

Sudah ada gereja di sini ?
Sudah, ada tiga kali pernah gerejanya berubah di sini.

Terus gereja akan dihancurkan, gitu ?
Ya, gara-gara cerita-cerita di luar itu dan ada yang menyampaikan cerita itu ke sini. Ya walaupun gereja dihancurkan kita kan tidak ada salahnya, begitu kata saya. Itu hanya gereja, kita pun mati, kita harus bersyukur meninggal dalam Kristus, tidak apa-apa kata saya kepada orang yang menyampaikan  cerita itu. Tahu-tahunya yang menjadi kenyataan itu di sawah saya.

Diapakan sawah bapak ?
Sawah saya dirampas.

Katanya ada lima Hektar ?
Orang banyak itu yang punya, saya punya sedikit.

Yang lima hektar itu siapa punya ?
Seluruh jemaat di sini.

Setelah bapak dibaptis, ada lagi warga lain yang dibaptis di sini ?
Ada, banyak.

Siapa namanya ?
I Made Tansi sekeluarga, terus ada di Bengkel yang perutnya besar.
Siapa yang mendoakan ?
Orang di sini juga.

Berarti kesimpulannya  kebanyakan orang yang sakit ya ?
Iya.
Sabuk-sabuk (jimat-jimat) Bali penge-leak-an  ada yang pakai ?
Ada juga.

Siapa samuanya itu ?
Itu yang buta itu tapi tidak mencari penge-leak-an dia mencari sikepan (penangkal) supaya leak tidak masuk sehingga dia mencari pelindung, namun dia tidak berani keluar.

Siapa namanya itu ?
Tidak perlu disebutkan, dia tidak berani keluar dia. Setelah masuk Kristen apa yang dipakai alat-alat Bali itu harus dikeluarkan.

Siapa yang ngomong begitu ?
Pak Pendeta Puger.

Bapak ikut menyaksikan waktu orang membuka itu ?
Ikut saya waktu itu.

Dibuka langsung di situ ?
Iya, tapi dibiarkan dibuka sendiri.

Diperlihatkan terus ? Lalu warga di sini tidak mencari sesikepan sampai sakit begitu ?
Tidak, saya tidak begitu tapi juga sakit. Selanjutnya itu semua langsung dibakar.

Itu jemaat yang belakangan dari bapak ?
Iya, yang belakangan.

Banjarnya dari mana itu ?
Dari sini juga banjar Sudimara Kaja.

Termasuk saudara atau hanya teman bapak dia ?
Hanya mebraye (bertetangga) saja. Sekarang kan satu Tuhan Yesus dengan dia.

Begitu dibakar, lansung dia sembuh ?
Oh, tidak tapi ada jarak waktunya, kira 15 harinya kemudian dia baru berani keluar.

Tidak ada di sini catatan nama-nama orang yang dibaptis waktu itu ? Stambuknya tidak ada ?  Siapa yang jadi kelian ?

Tidak tahu anak saya yang bawa stambuknya atau di gereja. Kalau sejarah gereja  ada di sini.

Surat baptis bapak ada ?
Ada sekalian dah di sana []

No comments:

Post a Comment