Nama Informan : A.A. Agetis Panji Tisna
Tempat :
Lovina, Singaraja, tanggal 4 – 10 –2001
Pewawancara
: Putu Ayu Rastiti, team peneliti TSP
Transkriptor
: Ida Ayu Ratih, staf admin TSP
Korektor:
Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Ibu
Putrinya Bapak Panji?
Saya
putrinya Bapak Panji Tisna yang nomor delapan, dari 13 bersaudara.
Yang
pertama dimana ?
Yang
pertama sudah meninggal, laki-laki namanya A.A. Ngurah Agung; yang kedua, Anak
Agung Made Dipa, dia adalah seorang Pendeta di Gereja Leteran di Jakarta sudah
meninggal; ketiga, anak Agung dr. Made Udayana, sekarang ada disini; terus yang
nomor empat adalah Anak- Agung Gede Oka, seorang pendeta juga; yang nomor lima Anak-Agung
Ayu Sraya Wati yang menjadi iparnya bapak ibu Luis Catra, Dr. Catra; lantas
yang nomor enam almarhum Anak Agung Made Jelantik GA, jadi seorang kepala
sekolah SD di Lovina; yang nomor tujuh
sekarang ada di Hawai menjadi warga negara namannya Anak Agung Ngurah Perdika; lantas
yang nomor delapan adalah saya sendiri; nomor sembilan adalah Anak Agung Made
Sentosa yang sekarang ada di Amerika; nomor
sepuluh Anak Agung Ngurah Rejeki, itu sudah meninggal saat berusia 30 tahun; nomor
sebelas anak Agung Ketut Daniel yang juga disebut Anak Agung Ketut Dolar, itu
adalah seorang pendeta di Gereja Betami di Teuku Umar; nomor dua belas
Anak-Agung Gede Kertiayasa sekarang ada di Nusa Dua; dan terakhir nomor 13
adalah seorang putri Anak Agung Ayu Kristianti, sudah menikah. Itu adalah tiga
belas putra dan putri Anak Agung Panji Tisna dengan empat orang Ibu.
Ibu,
ibunya yang keberapa ?
Yang
keempat.
Istri-istrinya
Anak-Agung Panji Tisna ini siapa saja Bu?
1. Anak Agung Istri Manik,
2. Jero Mekele Sroja
3. Jero Mekele Sempaga
4. Jero Mekele Resmi
Jadi
saya anak pertama dari Ibu yang keempat.
Pak
Agung Tisna ini tahun berapa ganti agama ?
Panji
Tisna tahun 1942.
Kalau
Ibu masuk Kristennya dari lahir ?
Saya
udah tahu-tahu jadi orang kristen. Kalau bapak itu masuk agama Kristen dari
tahun 1942, itu yang mulanya diinjili oleh pendeta dari Lote, namanya Bapak
Pendeta AF Ambesa, dari Lote.
Dibabtis
atau di Injili ?
Di
Injili, dibabtis lagi oleh Bapak Pendeta ini tapi istri-istrinya belum, baru
bapak saja, tahun 1942 di babtis di Srayanadi. Istrinya itu menyusul. Ibu
Mekele Sroja menyusul menjadi Kristen tahun 1945, kemudian menyusul istri yang
kedua, ketiga trus keempat. Yang pertama tidak. Sampai sekarang.
Kalau
anak-anaknya ini semuanya masuk Kristen Bu ?
Yang
pertama tidak, dr. Udayana tidak. Jadi dua yang tidak.
Kalau
istri yang pertama berapa anaknya Bu?
Dua,
itu A.A. Ngurah Agung, dengan Anak-Agung Made Dipa. Istri yang No 2 anaknya
yaitu dr. Udayana, Sraya dan Perdika, tiga orang. Lantas yang ketiga itu, A.A.
Gede Oka dengan A. A Made Jelantik. Yang keempat paling banyak.
Purinya
dimana Bu?
Dulu
purinya di Jl. Mayor Metra No 12. Itu dari jl. Veteran terus terus melingkar ke
Mayor Metra, dekat dengan LP Pasar Buleleng. Terus itu Puri sampai ke LP.
Kalau
Pak Panji Tisna ini berapa saudaranya ?
Pak
Panji Tisna saudara kandungnya ada 5, yaitu yang ke :
1. Anak Agung Istri Badra,
2. Anak _agung Biang Oka
3. Anak-agung Panji Tisna
4. Anak Agung Mr. Jelantik. Itu mertua saya
5. Anak Agung Gd Jelantik
Jadi
Mr. Jelantik itu mertua saya. Jadi sama sepupu saya menikah, saya menikah lain
agama.
Saudaranya
Pak Panji Tisna yang masuk Kristen siapa saja?
Ada
dua, anak-agung Panji Tisna dan Mr Jelantik. Itu ada sejarah juga Mr Jelantik
masuk Kristen.
Kalau
Bapak Panji Tisna masuk Kristen sejarahnya apa ?
Sejarahnya
begini, dia dulu kan (Panji Tisna) dikatakan Pro Belanda. Padahal dia itu bukan
pro belanda. Bapak itu belajar dari orang Belanda kesaksian orang belanda.
Orang Belanda itu Kristen, jadi Bapak suka sekali mambaca buku. Tapi dikatakan
Bapak itu Pro Belanda. Pertama kali bapak itu kan menanam Jeruk di Sayo, dari
sini 3 Km ke selatan, katanya saat itu Bapak saya memakai korden itu, bendera
belanda. Disangka oleh Jepang dia Pro Belanda. Lantas diobrak abrik
perpustakaannya, bukunya, oleh Jepang, tahun 1942 itu. Padahal bapak itu sudah
belajar agama Kristen. Mungkin diantara tentara Jepang itu ada salah satu orang
Kristen sehingga bapak saya itu luput dari tuduhan, bahwa dia itu pro Belanda. Korden itu dipajang, disangkanya dia
Pro Belanda, orang Jepang kan susah kainnya. Jadi waktu itu pendeta Ambesa
sudah masuk. Pendeta satu-satunya yang paling berani menginjil ke Istana adalah
Ambesa itu.
Dulu
Pak Panji Tisna jadi orang penting di Puri ?
Raja
Buleleng. Setelah kakek Meninggal digantikan oleh Pak Panji Tisna. Jadi itulah
dituduh Pro Belanda, padahal tidak.
Berarti
beliau Kenal Kristen dari Pak Ambesa atau sebelumnya ?
Dari
Pak Ambesa. Waktu itu pak Ambesa masih perjaka, masih muda belum menikah sudah
keluar masuk-keluar masuk ke Puri dan diberi ijin oleh kakek saya. Jadi
satu-satunya pendeta yang boleh keluar masuk-keluar masuk Puri adalah Ambesa.
Makanya dengan leluasa Pendeta Ambesa ini menginjili orang Puri. Jadi yang
menerima hanya bapak, bapak yang menekuni.
Pendeta
Ambesa dulu jadi penginjil atau apa waktu kecil ?
Pendeta
penginjil. Pendeta tapi penginjil juga. Banyak sekali Jiwa-jiwa disini,
sekarang dilanjutkan oleh kakak saya pendeta Oka.
Apa
tujuan dari pendeta Ambesa memang mau menginjil disini Bu?
Mau
menginjil, pernah tinggal disini di Lovina, setelah punya istri anak diberikan
pekerjaan oleh Bapak saya membuat sabun, kopra sambil menginjil. Dari sanalah
sampai ibu saya pun dibabtis oleh pendeta itu. Dan kami sebagian besar dibabtis
oleh Pendeta Ambesa.
Termasuk
ibu juga?
Kalau
saya tidak, di Gereja Bali, Pendeta Fis.
Kenapa
istri pak Panji yang pertama tidak ikut Kristen ?
Yang
pertama itu, dia cerai menikah lagi sama saudaranya Pak Panji.
Terus
apa tidak ada tanggapan apa dipuri dulu, rajanya kok bisa pindah agama ?
Kalau
dulu siapa berani sama raja, tidak ada yang berani. Dari kakek kami sudah ada
toleransi, makanya raja-raja yang lain berfikir Raja Buleleng itu adalah raja
yang paling modern diantara raja-raja yang lain, raja yang dimokratis dan raja
yang paling pintar. Dan raja yang terobosannya itu paling berani, dan
sekarangpun ada pindah agama di dalam kraton, Kristen, Islam, Hindu, tapi mereka
bersatu aneh kan. Kalau yang Galungan Kuningan kami kesana datang. Kalau yang
Islam kami salaman tidak ada di puri begitu. Kalau yang Kristen apalagi kita
kalau Natalan mereka datang dan kita sama-sama kebaktian disini tanya pak
Sukanada. Di Buleleng ini kelebihan dari puri-puri yang lain, mereka saling
merangkul.
Tadi
Ibu mengatakan kalau Bapak Mr. Jelantik itu ada sejarah menjadi Kristen ?
Mertua
saya itu dulu sekolahnya di Belanda tahun 1930 an sebelum merdeka. Beliau
itu sekolah di Belanda. Saya pernah ke Belanda, saya berbicara dengan dosennya,
masih ada dosennya namanya Mr. Chel (?), suatu ketika Mr. Jelantik ini pernah
buta. Mr Jelantik Muda ini buta total tidak melihat apa-apa. Kami mahasiswa Belanda
mengadakan doa berantai, kami berdoa terus, lantas Mr. Jelantik Muda ini
bersumpah dan berjanji, kalau saya melihat, saya akan mengikut Kristus.
Waktu
itu belum Kristen ya?
Masih
Hindu. Bapak saya juga masih hindu, lantas sempat ke dokter, dan semua dokter
angkat tangan. Lantas melihat dia, dan kemudian mengirim suratlah Mr. Jelantik
kepada ayahnya, si Raja. Saya mau masuk Kristen, karena saya melihat karena
doa-doa nya. Jawababnya begini, saya diperlihatkan surat-suratnya, jawabannya
begini: jika anak saya masuk agama Kristen tidak akan mendapat hak apa-apa,
tidak akan mendapat warisan apa-apa. Teman-temannya mahasiswa di Belanda tidak
ada yang berani, tidak ada satupun pendeta yang berani membabtis. Sehingga
tidak jadi masuk agama Kristen sampai sudah menjadi Mr, lama kemudian menikah
dengan anaknya Cokorda Sukawati, lantas bukannya menjadi orang Kristen dia
malah tenggelam lagi menjadi ke agama Hindu, fanatik. Hancurlah…. Sampai dia pindah
ke Jakarta. Purinya dipakai oleh Gereja. Kan dapat Gereja Bali mengontrak
disana beberapa tahun, sebab keadaan … Jelantik sudah hancur, diberikan halaman
oleh ayah saya untuk membuat rumah dibelakang, saya menikah jadinya di halaman
sendiri. Sebab Prima diam disana lalu itu diambil oleh Pendeta, Gereja Dulu,
setelah tahun berapa 1967 Bapak mertua dan Ibu mertua ke jakarta, di sana
dibantu oleh Hamengku Buwono. Maka menetaplah kami di Jakarta. Saya, suami
saya, adik suami saya. Lantas mertua saya waktu itu sakit sakitan, dan saya
dalam keluarga itu sendiri beragama Kristen. Saya ke Gereja dan lama-lama
mertua saya ikut, mungkin dia sudah sadar atau bagaimana ada panggilan Roh
Kudus, saya berdoa dan saya sendirrian dalam rumah ini. Lantas Geraja kami di Vitang
dengan Pendeta Gosama dan Pendeta .…, lama-lama Mertua saya ikut. Kemudian kami
dipanggil semua, saya mau dibabtis, istrinya seperti tidak memberi atau tidak
mengijinkan tetapi diam saja. lantas dibabtislah mertua saya di Gereja Vitang
di Senen, Gereja Protestan waktu itu. Kalau tidak salah tahun 1968, dia
dibabtis. Jadinya saya sama beliau saja, kebaktian dan istrinya belum, anaknya
dua-duanya juga belum, suami saya juga belum. umur 59 tahun dibabtis tahun
1968, dan meninggal tahun 1969. Terus datang surat dari Belanda, tidak bersedih
tetapi bersuka cita, kami semua bersuka cita oleh karena Mr. Jelantik meninggal
dalam Tuhan. Oleh karena Mr. Jelantik itu berjanji akan bertobat apabla bisa
melihat. Kami semua kahawatir dan sangat takut kami semua berdoa, di Belanda
ini, jika Mr. Jelantik di panggil Tuhan belum juga memenuhi janjinya kepada
Tuhan ternyata Tuhan kasihan dan Tuhan lebih mengasihi Mr. Jelantik, maka dari
itu kami sasemua sangat bersuka cita kami semua mengadakan doa syukur. Kami
tidak bersedih tetapi kami bersyukur di Belanda. Waktu saya ke Belanda, Mr
Pocil itu terus ceritara terus sama saya. Semua surat dikeluarkan. Dia sangat
menderita menikah dengan istri dari Ubud ini, macam-macam ceritranya. Tapi itu
tidak masalah bagi kami, yang penting sudah bertobat dan sudah menepati janji.
Suami saya belum. waktu pemakaman saya sendiri yang Kristen saya sendiri yang
menghadapi dari gereja mana-dari gereja mana kerena semua Hindu. Tetapi waktu
itu saya masih muda. Tetapi saya puji Tuhan karena saya masih mampu mengatasi
semuanya, saya masih muda sekali umur 21 tahun. Saya menikah muda. Untuk ukuran
orang tua kan saya tidak mengerti, saya tua dipaksakan. Tapi saya ada hikmahnya
semua, karena saya tua dipaksakan, saya biasa saja sampai sekarang ini. Selesai
itu saya bilang ke Tuhan, Tuhan bagaimana dengan suami saya, saya tidak mampu,
hanya roh Kudus Tuhan yang mampu menoloong saya. Saya berdoa terus. 7 tahun
setelah saya menikah suami saya mau ke Gereja, ikut persekutuan. Lama-lama
suami saya bilang begini, saya mau belajar ah. Ngomong terus sama ibunya minta
ijin untuk di babtis. Ibunya tidak ngomong apa-apa, cemberut saja. terus tahun
1974 dibabtis sekalian minta pemberkatan nikah, sekalian anak-anak dibabtis
semua, karena anak-anak saya satupun belum dibabtis, dua punya anak masih
kecil-kecil, tapi anak-anak itukan mebulanan, karena bapaknya masih Hindu. Jadi saya ada suka cita juga
kalau kami sudah sejalan. Tapi bukan berarti saya berhenti dari segala cobaan,
itu ceritranya menjadi orang kristen. Jadi saya menjadi orang Kristen
ditengah-tenagh orang Hindu sudah saya alami, bagaimana menghadapi orang Hindu.
Menghadapi orang Hindu itu kita tidak pernah menyombongkan diri, tetapi saya
kasi contoh dengan perbuatan, dari dulu. Lebih dulu saya mengajarkan memberikan
contoh, terus merendah hati. Saya selalu, kalau dipuri kan siapa aku, saya
tidak. Jadi mereka melihat o orang Kristen begitu. Jadi mereka kan tidak bisa
berbuat apa-apa, kami orang Kristen itu seperti orang yang mengalah dan bukan
berarti kalah. Sebab apa yang diajarkan oleh Kristus itu yang kita ajarkan.
Jadi seperti umpamanya begini satu hal. Galungan atau Kuningan. Ee jangan itu
dimakan, itu tidak sukla surudan, berarti kita kan dihormati, berarti dia kan
lebih di bawah, akhirnya dalam hati bukannya saya menyombongkan diri, ampunang
niki nak sukla ampunang ajengang, niki surudan di merajan, tapi mereka kan
menghargai kita, jadi kami bisa bergaul hingga mereka menghormati kita.
Terus
ada ibu mengalami tantangan yang tidak
mengenakkan ?
Tidak
ada. Cuma dari ibu mertua saja,
Satu
puri Ibu ya ?
Lain-lain.
Itu ada areal beberapa hektar dibagi ke anak laki-laki ada 4 dan lain ibu satu.
Bapak Panji Tisna punya adik tiri satu. Ya tantangan saya ya dengan ibu mertua
saya saja. Ibu mertua saya itu sangat fanatik sampai akhirnya tidak pindah
agama sampai sekarang. Pernah mengatakan begini, udah tua sekali waktu itu
“kalau saya mati tolong saya ditanam disamping……” terus saya bilang Ibu, kalau
nanam ibu disamping putranya ibu tidak mudah, ibu harus bertobat habis itu baru
bisa. Dari sana saja sudah mencirikan bahwa kita tidak bisa bersama-sama.
Suaminya
ibu siapa namanya ?
Anak
Agung Ngurah Jelantik.
Saudaranya
berapa ?
Satu.
Oh
saudara tunggal ya ?
Tidak.
Dia sama adiknya. Adiknya dia itu Islam.
Terus
Ibunya meninggal siapa yang mengabenkan ?
Ya
kita semua. Kita punya persekutuan di Puri orang Hindu, jadi mereka nanti yang
akan menangani. Kita hanya uang-uangnya saja. makanya pernah suami saya
wanti-wanti, Ibu apakah ibu mau belajar agama Kristen atau Islam, digitukan
sama suami saya tidak jawab apa-apa. Bapak ikut apa. Bapak ikut Kristen, tidak
juga. Jadi saya selalu minta tolong sama
pendeta-pendeta mohon didoakan. Sekarang susah dia untuk berjalan tapi dia agak
bingung, suaminya dikubur dimakamkan di Menteng Puri, di Jakarta. Waktu Bapak
Mertua saya meninggal tidak ada yang bersedih umat kristen, semua bersuka cita,
sebab meninggal dalam Tuhan, persis satu tahun setelah dibabtis itu. Itu waktu
di sana yang menghadiri adalah ulama-ulama Buya Ham Ka, Hamengku Buwono, Radis
Prawiro, ada Islam, ada Hindu ada Budha. Dan yang menghadapi saya, yang masih
muda ini. Suami itu semua hindu. Apa salah saya Tuhan.., gemetar waktu itu,
saya sendiri kecil ini. Waktu saya berumah tengga saya masih jadi satu dengan
bapak dan Ibu mertua, saya kan cuma berdua saja yang Kristen. Bapak pendeta apa
ini. Tenang, tenang, dan saya sudah panik sendirian. Bayangkan itu yang datang
itu ulama-ulama, Radius Prawiro, orang Hindu, Budah Kristen Islam sedangkan
saya sendiri orang Kristen. Suami saya kan Kristen kamu dong yang berdoa, kamu
kan Kristen begitu semuanya, tapi semuanya sudah berjalan dengan baik.
Dulu
pak Panji Tisna itu kan raja dulu? Kalau di puri itu apa tugas-tugasnya ?
O
seperti pemerintahan sekarang saja. bagaimana Bupati itu, jadi ngurus-ngururs
kepemerintahannya, Raja Buleleng paling luas wilayahnya, paling kaya wilayahnya
karena leluhur-leluhur suka berperang mengalahkan raja-raja yang lain.
Jajahannya banyak. sekarang sampai diambil sama Bangli, Kintamani, itu kan sudah
sebagian diambil, Bali Barat ngambil. Terlalu banyak hampir separuh pulau Bali
punya Singaraja.
Ada
kewajiban dengan agama tidak ?
Ya.
Sangat besar kewajiwabbnya. Waktu itu Bapak saya menjadi raja kakinya satu di
Kristen dan satu di Hindu jadi tidak full jadi orang Kristen. Jadi kalau
belajar di Kuliah dia satu belajar agama Kristen dan dilain pihak dia harus
memnuhi kewajibannya terus berjalan begitu.
Berapa
lama begitu, selamanya begitu ?
Tidak.
Sampai datang pendeta Ambesa ini.
Sebelum
Ambesa ini datang, dia sudah tahu agama Kristen dari Belanda?
Sudah
tahu. Sudah belajar-belajar dari orang Belanda, tapi hati kan belum 100%.
Setelah menjadi orang Kristen benar, setelah berhenti menjadi raja.
Dari
tahun berapa beliau menjadi rajanya ?
Dia
dituduh anti Jepang dan dimasukkan ke sel tahun 1942. Dibilang dia anti Jepang,
berarti dia belum menjadi Kristen, tahun 1942 dia baru belajar. Saat itu dia
mendapat pengampunan dari orang jepang karena dia punya Bebel (kitab suci), ada
kesaksian-kesaksian di dalamnya. Lantas tentara-tentara Jepang bertanya kamu
orang Kristen ya. Dijawab Ya. Tapi belum 100 %. Lantas tidak jadi di bunuh. Itu
ceritanya. Dia ditangkap di Kebun Jeruk, yang sekarang ada Gerejanya, dan
beliau sendiri disana di makamkan. Waktu itu mau dibunuh karena disitu ketahuan
ada Bebel, lantas belajar agama dari orang-orang Belanda, disitu mungkin salah
satu dari tentara Jepang itu ada orang Kristen, disana dapat pengampunan. Maka
ayah saya berjanji saya akan menjadi orang Kristen. Jadi semua itu adalah
kesaksian.
Terus
menjalankan Kristen dari tahun berapa?
Seingat
saya menjadi Kristen beneran tahun 1947-1948-an, sesudah beliau menjadi Raja
baru dibabtis begitu ?waktu itu satu kali dibabtis oleh pendeta Ambesa. Waktu
beliau menjadi raja itu keinginan beliau untuk menjadi raja itu tidak 100 %.
Tidak suka bapak saya menjadi raja, karena bapak saya tidak suka
bermewah-mewah, bapak saya kerakyatan sekali. Jadi ayah saya suka bergaul
dengan orang biasa maka kenyataannya di sini dibangun puri, kemudian pindah ke luar
puri. Dia orang sederhana sekali. seperti terpaksa menjadi seorang raja, karena
putra pertama.
Sampai
berapa tahun dia mejadi raja ?
1
tahun. Singkat sekali. bersyukur cuma sebentar sekali. cuma 1 tahun, kemudian
adiknya yang mengganti, dia sudah tamat di Nedherland, pulang lantas Mr
Jelantik, mertua saya. Disuruh adiknya menjadi raja, lantas beliau pindah ke
Puri Sala. Ini rumah beliau dulu.
Terus
sampai sekarang keturunan adiknya yang tetap di Puri ?
Ya.
Adiknya
yang kedua kan Islam di Jakarta. Yang dipuri sekarang kan Ibu mertua saya saja.
saya kan kadang di Puri kadang disini, saya lebih sering tinggal di sini. Saya
lebih suka di sini ketimbang di Puri, ngarang-lah disini, lebih bebas lebih
merdeka. Di Puri itu memang saya harus tinggal di puri, tapi saya katakan saya
bisa di Puri di sini di mana-mana. Malah mau saya katakan saya sudah tidak
punya suami saya di mana saja bisa. Saya gituin tapi tidak lepas dari tanggung
jawab. Tanggung jawab pemelliharaan Puri, mertua,
Berat
ya Tugas di puri itu ?
Lumayan.
Kita toleransi dengan agama. Di sini sebenarnya kita harus memberikan
penerangan kepada mereka. Seorang Kristen itu begini: hanya menyembah satu.
Kalau ke merajan (kuil keluarga) tidak
boleh. Tapi kami toleransi kalau ke merajan
ada karya apa disana kami tolerasi tidak menyembah tapi duduk. Kan ada ruangan
kita duduk disitu, pakai pakaian adat. Sebab apabila kita mengadakan
kebaktian-kebaktian meraka pun datang, duduk bersama-sama. Saya masuk ke merajan tapi tidak sembahyang. Di sana
ada sakenem (balai bertang enam), kita duduk di sana, semua orang Kristen
begitu. Di sana ada tempat leluhur, kami menganggap tempat leluhur itu sepertu
monumen. Kan banyak monumen di negara kita, kita anggap itu begitu. Kita anggap
merajan, itu kami siarah. Kami tidak
menyembah kami mengerti, justru kalau ada orang kristen yang menyembah atau
muspa, mereka bertaanya-tanya, ya tidak ? Itu Kristen apa itu, Kristen benar
itu ? .
Ada
yang kejadian begitu ?
Ada.
Masih
keluarga
Masih.
Malah orang Puri bilang begini. Itu orang Kristen apa itu ?
Kira-kira
kenapa dia ikut sembahyang ?
Mungkin
karena dia terlalu toleransi. Tidak ada tekanan. Mungkin dia anggap itu
perbuatan yang baik. Padahal orang Hindu itu bilang sendiri ………, malahan orang
Hindu sendiri yang bilang begitu. Makanya saya hati-hati. Kitaumat Kristen
ya duduk saja di sakenem. Kita
menghargai mereka buat Banten, kita hanya dari sikenem. Nah apa kata mereka.
Nah pada saudara umat Kristen silahkan berdoa menurut agama masing-masing. Yah
karena nenek moyang satu, maka tidak boleh terlalu berfanatik, terlalu kita
fanatik yang susah kan kita sendiri. Kalau kami mengadakan kebaktian rumah
tangga dan sebagainya, kami mengundang mereka, mereka juga datang bernyanyi
juga. Kalau saya pikir kalau terlalu kaku sulit sekali. Yesus sendiripun lahir
ke dunia sebagai manusia. Jadi kalau umpamanya di merajan ada upacara saya ikut. Tapi tidak berarti saya ikut
menyembah, tidak. Kan disitu ada bale sakenem-nya untuk lain agama. Kita ikut
menyaksikan.
Kalau
membuat sarana banten dan saebagainya itu membantu?
Tidak.
Kalau
di pura atau merajan duduk disitu ikut mendoakan atau tidak ?
Kalau
duduk disitu, mau ikut mendoakan silahkan kalau tidak juga tidak kenapa.
Makanya silahkan berdoa menurut agama masing-masing. Jadi mereka tidak memaksa
untuk berdoa di sanggah. Kan ada rong-rong di Sanggah itu, tempat-tempat
pemujaan. Kita tidak, kita ada bale sikenem sendiri,untuk duduk. Kita kalau mau
berdoa mohon keselatamatan pada Tuhan untuk keturunan kita semuanya, pasti kita
berdoa, jadi toleransinya disitu. Ada saudara saya yang sangat fanatik, dia
agama Kristen. Dia sangat dikucilkan sekali, dicuekin. Itu yang tidak kita mau.
Kalau kita hidup seperti itu kan susah. Kalau kita mencari jiwa, menarik supaya
menjadi orang Kristen. Kita harus memahami mereka dan mereka harus mengerti
kita juga.
Berarti
ibu dari kecil sudah Kristen ya ?
Ya.
Setahu saya ya.
Dari
kecil kan bergaulnya kan dengan saudara sepupu yang lainnya, ?
Tapi
meraka tidak pernah mengejek agama meraka dan kamipun tidak pernah mengejek
agama mereka.
Ibu
tidak pernah merasa aneh sewaktu kecil kok ?
Tidak
pernah. Cuma kita kan sekolah Hindu, pemuda pemudi, udah begitu saja bergaul.
Kan ada sepupu, Galungan, Kuningan, kalau suud
natab (setelah diberkati dalam upacara Hindu) tak kasi daging, buah-buahan.
Sekarang kasi dong. Oha jangan ini kan sukla. Terus saya bilang nak Kristen
tidak boleh makan surudan (makanan
yang sudah dipersembahkan) dari dewa-dewa. O. ngak boleh ya, o ini sukla (makanan yang belum dipersembahkan
kepada para dewa). Kalau seandainya orang Kristen bertandang ke Orang Hindu
pasti dikasi yang sukla, selalu dia menyediakan itu.
Waktu
ibu menikah itu pakai upacara apa ?
Adat
Hindu. Menikahnya dulu tidak di merajan,
Maksud
saya suami ibu kan Hindu jadi ?
Kalau
dia mau ke Pura ya suru saja di Pura, saya hanya toleransi duduk saja.
Terus
upacara banten tidak buat ?
Tidak,
yang buat saudara, saja. Yang natab
ya dia saja. makanya tahun 1974 saya menikah lagi di Gereja. Makanya saya bilang
sama anak-anak kalau menikah sebaiknya satu agama. Agama apapun itu. Hindu ya Hindu.
Apapun dia.
Ibu
menikah tahun berapa itu ?
Tahun
1968.
Kalau
boleh tahu tahun lahirnya ?
Saya
masih muda. Tahun 50. Saya Sagitarius.
Di
kantor Bupati dia kerja, Pokoknya dia kerja di Pemda, kalau tidak salah adiknya
di Penggawa, pokoknya dia memegang suatu jabatan, pemerintahan Belanda. Waktu
itu pegawai bapaknya. Setelah beliau berhenti menjadi raja setelah merdeka,
beliau menjadi anggota MPR DPR di Jakarta.
Bapaknya
Pak Panji Tisna siapa ?
Anak
Agung Putu Jelantik. Jadi setelah merdeka itu tahun 1950 an beliau itu jadi
anggota MPRs/DPR di Jakarta[]
Enter your comment...mohon maaf, tolong di koreksi untuk asal Papa saya Pdt. A.F. AMBESA, dari pulau ROTE, bukan Lote,
ReplyDeletesekian dan banyak terimakasih.