Monday, April 11, 2016

Islam, Hindu, Dan Kristen Dalam Keluarga Anak Agung Panji Tisna, Raja Buleleng



Nama Informan : A.A. Agetis Panji Tisna

Tempat :  Lovina, Singaraja, tanggal 4 – 10 –2001
Pewawancara :  Putu Ayu Rastiti, team peneliti TSP
Transkriptor : Ida Ayu Ratih, staf admin TSP
Korektor: Nyoman Wijaya, Ketua TSP


Ibu Putrinya Bapak Panji?
Saya putrinya Bapak Panji Tisna yang nomor delapan, dari 13 bersaudara.


Yang pertama dimana ?
Yang pertama sudah meninggal, laki-laki namanya A.A. Ngurah Agung; yang kedua, Anak Agung Made Dipa, dia adalah seorang Pendeta di Gereja Leteran di Jakarta sudah meninggal; ketiga, anak Agung dr. Made Udayana, sekarang ada disini; terus yang nomor empat adalah Anak- Agung Gede Oka, seorang pendeta juga; yang nomor lima Anak-Agung Ayu Sraya Wati yang menjadi iparnya bapak ibu Luis Catra, Dr. Catra; lantas yang nomor enam almarhum Anak Agung Made Jelantik GA, jadi seorang kepala sekolah SD di Lovina; yang nomor  tujuh sekarang ada di Hawai menjadi warga negara namannya Anak Agung Ngurah Perdika; lantas yang nomor delapan adalah saya sendiri; nomor sembilan adalah Anak Agung Made Sentosa yang sekarang ada di Amerika;  nomor sepuluh Anak Agung Ngurah Rejeki, itu sudah meninggal saat berusia 30 tahun; nomor sebelas anak Agung Ketut Daniel yang juga disebut Anak Agung Ketut Dolar, itu adalah seorang pendeta di Gereja Betami di Teuku Umar; nomor dua belas Anak-Agung Gede Kertiayasa sekarang ada di Nusa Dua; dan terakhir nomor 13 adalah seorang putri Anak Agung Ayu Kristianti, sudah menikah. Itu adalah tiga belas putra dan putri Anak Agung Panji Tisna dengan empat orang Ibu.

Ibu, ibunya yang keberapa ?
Yang keempat.
Istri-istrinya Anak-Agung Panji Tisna ini siapa saja Bu?
1.      Anak Agung Istri Manik,
2.      Jero Mekele Sroja
3.      Jero Mekele Sempaga
4.      Jero Mekele Resmi
Jadi saya anak pertama dari Ibu yang keempat.

Pak Agung Tisna ini tahun berapa ganti agama ?
Panji Tisna tahun 1942.

Kalau Ibu masuk Kristennya dari lahir ?
Saya udah tahu-tahu jadi orang kristen. Kalau bapak itu masuk agama Kristen dari tahun 1942, itu yang mulanya diinjili oleh pendeta dari Lote, namanya Bapak Pendeta AF Ambesa, dari Lote.

Dibabtis atau di Injili ?
Di Injili, dibabtis lagi oleh Bapak Pendeta ini tapi istri-istrinya belum, baru bapak saja, tahun 1942 di babtis di Srayanadi. Istrinya itu menyusul. Ibu Mekele Sroja menyusul menjadi Kristen tahun 1945, kemudian menyusul istri yang kedua, ketiga trus keempat. Yang pertama tidak. Sampai sekarang.
Kalau anak-anaknya ini semuanya masuk Kristen Bu ?
Yang pertama tidak, dr. Udayana tidak. Jadi dua yang tidak.

Kalau istri yang pertama berapa anaknya Bu?
Dua, itu A.A. Ngurah Agung, dengan Anak-Agung Made Dipa. Istri yang No 2 anaknya yaitu dr. Udayana, Sraya dan Perdika, tiga orang. Lantas yang ketiga itu, A.A. Gede Oka dengan A. A Made Jelantik. Yang keempat paling banyak.

Purinya dimana Bu?
Dulu purinya di Jl. Mayor Metra No 12. Itu dari jl. Veteran terus terus melingkar ke Mayor Metra, dekat dengan LP Pasar Buleleng. Terus itu Puri sampai ke LP.

Kalau Pak Panji Tisna ini berapa saudaranya ?
Pak Panji Tisna saudara kandungnya ada 5, yaitu yang ke :
1.      Anak Agung Istri Badra,
2.      Anak _agung Biang Oka
3.      Anak-agung Panji Tisna
4.      Anak Agung Mr. Jelantik. Itu mertua saya
5.      Anak Agung Gd Jelantik
Jadi Mr. Jelantik itu mertua saya. Jadi sama sepupu saya menikah, saya menikah lain agama.

Saudaranya Pak Panji Tisna yang masuk Kristen siapa saja?
Ada dua, anak-agung Panji Tisna dan Mr Jelantik. Itu ada sejarah juga Mr Jelantik masuk Kristen.

Kalau Bapak Panji Tisna masuk Kristen sejarahnya apa ?
Sejarahnya begini, dia dulu kan (Panji Tisna) dikatakan Pro Belanda. Padahal dia itu bukan pro belanda. Bapak itu belajar dari orang Belanda kesaksian orang belanda. Orang Belanda itu Kristen, jadi Bapak suka sekali mambaca buku. Tapi dikatakan Bapak itu Pro Belanda. Pertama kali bapak itu kan menanam Jeruk di Sayo, dari sini 3 Km ke selatan, katanya saat itu Bapak saya memakai korden itu, bendera belanda. Disangka oleh Jepang dia Pro Belanda. Lantas diobrak abrik perpustakaannya, bukunya, oleh Jepang, tahun 1942 itu. Padahal bapak itu sudah belajar agama Kristen. Mungkin diantara tentara Jepang itu ada salah satu orang Kristen sehingga bapak saya itu luput dari tuduhan, bahwa dia itu pro  Belanda. Korden itu dipajang, disangkanya dia Pro Belanda, orang Jepang kan susah kainnya. Jadi waktu itu pendeta Ambesa sudah masuk. Pendeta satu-satunya yang paling berani menginjil ke Istana adalah Ambesa itu.

Dulu Pak Panji Tisna jadi orang penting di Puri ?
Raja Buleleng. Setelah kakek Meninggal digantikan oleh Pak Panji Tisna. Jadi itulah dituduh Pro Belanda, padahal tidak.
Berarti beliau Kenal Kristen dari Pak Ambesa atau sebelumnya ?
Dari Pak Ambesa. Waktu itu pak Ambesa masih perjaka, masih muda belum menikah sudah keluar masuk-keluar masuk ke Puri dan diberi ijin oleh kakek saya. Jadi satu-satunya pendeta yang boleh keluar masuk-keluar masuk Puri adalah Ambesa. Makanya dengan leluasa Pendeta Ambesa ini menginjili orang Puri. Jadi yang menerima hanya bapak, bapak yang menekuni.

Pendeta Ambesa dulu jadi penginjil atau apa waktu kecil ?
Pendeta penginjil. Pendeta tapi penginjil juga. Banyak sekali Jiwa-jiwa disini, sekarang dilanjutkan oleh kakak saya pendeta Oka.
Apa tujuan dari pendeta Ambesa memang mau menginjil disini Bu?
Mau menginjil, pernah tinggal disini di Lovina, setelah punya istri anak diberikan pekerjaan oleh Bapak saya membuat sabun, kopra sambil menginjil. Dari sanalah sampai ibu saya pun dibabtis oleh pendeta itu. Dan kami sebagian besar dibabtis oleh Pendeta Ambesa.

Termasuk ibu juga?
Kalau saya tidak, di Gereja Bali, Pendeta Fis.

Kenapa istri pak Panji yang pertama tidak ikut Kristen ?
Yang pertama itu, dia cerai menikah lagi sama saudaranya Pak Panji.

Terus apa tidak ada tanggapan apa dipuri dulu, rajanya kok bisa pindah agama ?
Kalau dulu siapa berani sama raja, tidak ada yang berani. Dari kakek kami sudah ada toleransi, makanya raja-raja yang lain berfikir Raja Buleleng itu adalah raja yang paling modern diantara raja-raja yang lain, raja yang dimokratis dan raja yang paling pintar. Dan raja yang terobosannya itu paling berani, dan sekarangpun ada pindah agama di dalam kraton, Kristen, Islam, Hindu, tapi mereka bersatu aneh kan. Kalau yang Galungan Kuningan kami kesana datang. Kalau yang Islam kami salaman tidak ada di puri begitu. Kalau yang Kristen apalagi kita kalau Natalan mereka datang dan kita sama-sama kebaktian disini tanya pak Sukanada. Di Buleleng ini kelebihan dari puri-puri yang lain, mereka saling merangkul.

Tadi Ibu mengatakan kalau Bapak Mr. Jelantik itu ada sejarah menjadi Kristen ?
Mertua saya itu  dulu sekolahnya di  Belanda tahun 1930 an sebelum merdeka. Beliau itu sekolah di Belanda. Saya pernah ke Belanda, saya berbicara dengan dosennya, masih ada dosennya namanya Mr. Chel (?), suatu ketika Mr. Jelantik ini pernah buta. Mr Jelantik Muda ini buta total tidak melihat apa-apa. Kami mahasiswa Belanda mengadakan doa berantai, kami berdoa terus, lantas Mr. Jelantik Muda ini bersumpah dan berjanji, kalau saya melihat, saya akan mengikut Kristus.

Waktu itu belum Kristen ya?
Masih Hindu. Bapak saya juga masih hindu, lantas sempat ke dokter, dan semua dokter angkat tangan. Lantas melihat dia, dan kemudian mengirim suratlah Mr. Jelantik kepada ayahnya, si Raja. Saya mau masuk Kristen, karena saya melihat karena doa-doa nya. Jawababnya begini, saya diperlihatkan surat-suratnya, jawabannya begini: jika anak saya masuk agama Kristen tidak akan mendapat hak apa-apa, tidak akan mendapat warisan apa-apa. Teman-temannya mahasiswa di Belanda tidak ada yang berani, tidak ada satupun pendeta yang berani membabtis. Sehingga tidak jadi masuk agama Kristen sampai sudah menjadi Mr, lama kemudian menikah dengan anaknya Cokorda Sukawati, lantas bukannya menjadi orang Kristen dia malah tenggelam lagi menjadi ke agama Hindu, fanatik. Hancurlah…. Sampai dia pindah ke Jakarta. Purinya dipakai oleh Gereja. Kan dapat Gereja Bali mengontrak disana beberapa tahun, sebab keadaan … Jelantik sudah hancur, diberikan halaman oleh ayah saya untuk membuat rumah dibelakang, saya menikah jadinya di halaman sendiri. Sebab Prima diam disana lalu itu diambil oleh Pendeta, Gereja Dulu, setelah tahun berapa 1967 Bapak mertua dan Ibu mertua ke jakarta, di sana dibantu oleh Hamengku Buwono. Maka menetaplah kami di Jakarta. Saya, suami saya, adik suami saya. Lantas mertua saya waktu itu sakit sakitan, dan saya dalam keluarga itu sendiri beragama Kristen. Saya ke Gereja dan lama-lama mertua saya ikut, mungkin dia sudah sadar atau bagaimana ada panggilan Roh Kudus, saya berdoa dan saya sendirrian dalam rumah ini. Lantas Geraja kami di Vitang dengan Pendeta Gosama dan Pendeta .…, lama-lama Mertua saya ikut. Kemudian kami dipanggil semua, saya mau dibabtis, istrinya seperti tidak memberi atau tidak mengijinkan tetapi diam saja. lantas dibabtislah mertua saya di Gereja Vitang di Senen, Gereja Protestan waktu itu. Kalau tidak salah tahun 1968, dia dibabtis. Jadinya saya sama beliau saja, kebaktian dan istrinya belum, anaknya dua-duanya juga belum, suami saya juga belum. umur 59 tahun dibabtis tahun 1968, dan meninggal tahun 1969. Terus datang surat dari Belanda, tidak bersedih tetapi bersuka cita, kami semua bersuka cita oleh karena Mr. Jelantik meninggal dalam Tuhan. Oleh karena Mr. Jelantik itu berjanji akan bertobat apabla bisa melihat. Kami semua kahawatir dan sangat takut kami semua berdoa, di Belanda ini, jika Mr. Jelantik di panggil Tuhan belum juga memenuhi janjinya kepada Tuhan ternyata Tuhan kasihan dan Tuhan lebih mengasihi Mr. Jelantik, maka dari itu kami sasemua sangat bersuka cita kami semua mengadakan doa syukur. Kami tidak bersedih tetapi kami bersyukur di Belanda. Waktu saya ke Belanda, Mr Pocil itu terus ceritara terus sama saya. Semua surat dikeluarkan. Dia sangat menderita menikah dengan istri dari Ubud ini, macam-macam ceritranya. Tapi itu tidak masalah bagi kami, yang penting sudah bertobat dan sudah menepati janji. Suami saya belum. waktu pemakaman saya sendiri yang Kristen saya sendiri yang menghadapi dari gereja mana-dari gereja mana kerena semua Hindu. Tetapi waktu itu saya masih muda. Tetapi saya puji Tuhan karena saya masih mampu mengatasi semuanya, saya masih muda sekali umur 21 tahun. Saya menikah muda. Untuk ukuran orang tua kan saya tidak mengerti, saya tua dipaksakan. Tapi saya ada hikmahnya semua, karena saya tua dipaksakan, saya biasa saja sampai sekarang ini. Selesai itu saya bilang ke Tuhan, Tuhan bagaimana dengan suami saya, saya tidak mampu, hanya roh Kudus Tuhan yang mampu menoloong saya. Saya berdoa terus. 7 tahun setelah saya menikah suami saya mau ke Gereja, ikut persekutuan. Lama-lama suami saya bilang begini, saya mau belajar ah. Ngomong terus sama ibunya minta ijin untuk di babtis. Ibunya tidak ngomong apa-apa, cemberut saja. terus tahun 1974 dibabtis sekalian minta pemberkatan nikah, sekalian anak-anak dibabtis semua, karena anak-anak saya satupun belum dibabtis, dua punya anak masih kecil-kecil, tapi anak-anak itukan mebulanan, karena bapaknya  masih Hindu. Jadi saya ada suka cita juga kalau kami sudah sejalan. Tapi bukan berarti saya berhenti dari segala cobaan, itu ceritranya menjadi orang kristen. Jadi saya menjadi orang Kristen ditengah-tenagh orang Hindu sudah saya alami, bagaimana menghadapi orang Hindu. Menghadapi orang Hindu itu kita tidak pernah menyombongkan diri, tetapi saya kasi contoh dengan perbuatan, dari dulu. Lebih dulu saya mengajarkan memberikan contoh, terus merendah hati. Saya selalu, kalau dipuri kan siapa aku, saya tidak. Jadi mereka melihat o orang Kristen begitu. Jadi mereka kan tidak bisa berbuat apa-apa, kami orang Kristen itu seperti orang yang mengalah dan bukan berarti kalah. Sebab apa yang diajarkan oleh Kristus itu yang kita ajarkan. Jadi seperti umpamanya begini satu hal. Galungan atau Kuningan. Ee jangan itu dimakan, itu tidak sukla surudan, berarti kita kan dihormati, berarti dia kan lebih di bawah, akhirnya dalam hati bukannya saya menyombongkan diri, ampunang niki nak sukla ampunang ajengang, niki surudan di merajan, tapi mereka kan menghargai kita, jadi kami bisa bergaul hingga mereka menghormati kita.

Terus ada  ibu mengalami tantangan yang tidak mengenakkan ?
Tidak ada. Cuma dari ibu mertua saja,

Satu puri Ibu ya ?
Lain-lain. Itu ada areal beberapa hektar dibagi ke anak laki-laki ada 4 dan lain ibu satu. Bapak Panji Tisna punya adik tiri satu. Ya tantangan saya ya dengan ibu mertua saya saja. Ibu mertua saya itu sangat fanatik sampai akhirnya tidak pindah agama sampai sekarang. Pernah mengatakan begini, udah tua sekali waktu itu “kalau saya mati tolong saya ditanam disamping……” terus saya bilang Ibu, kalau nanam ibu disamping putranya ibu tidak mudah, ibu harus bertobat habis itu baru bisa. Dari sana saja sudah mencirikan bahwa kita tidak bisa bersama-sama.

Suaminya ibu siapa namanya ?
Anak Agung Ngurah Jelantik.

Saudaranya berapa ?
Satu.

Oh saudara tunggal ya ?
Tidak. Dia sama adiknya. Adiknya dia itu Islam.

Terus Ibunya meninggal siapa yang mengabenkan ?
Ya kita semua. Kita punya persekutuan di Puri orang Hindu, jadi mereka nanti yang akan menangani. Kita hanya uang-uangnya saja. makanya pernah suami saya wanti-wanti, Ibu apakah ibu mau belajar agama Kristen atau Islam, digitukan sama suami saya tidak jawab apa-apa. Bapak ikut apa. Bapak ikut Kristen, tidak juga. Jadi saya selalu minta tolong  sama pendeta-pendeta mohon didoakan. Sekarang susah dia untuk berjalan tapi dia agak bingung, suaminya dikubur dimakamkan di Menteng Puri, di Jakarta. Waktu Bapak Mertua saya meninggal tidak ada yang bersedih umat kristen, semua bersuka cita, sebab meninggal dalam Tuhan, persis satu tahun setelah dibabtis itu. Itu waktu di sana yang menghadiri adalah ulama-ulama Buya Ham Ka, Hamengku Buwono, Radis Prawiro, ada Islam, ada Hindu ada Budha. Dan yang menghadapi saya, yang masih muda ini. Suami itu semua hindu. Apa salah saya Tuhan.., gemetar waktu itu, saya sendiri kecil ini. Waktu saya berumah tengga saya masih jadi satu dengan bapak dan Ibu mertua, saya kan cuma berdua saja yang Kristen. Bapak pendeta apa ini. Tenang, tenang, dan saya sudah panik sendirian. Bayangkan itu yang datang itu ulama-ulama, Radius Prawiro, orang Hindu, Budah Kristen Islam sedangkan saya sendiri orang Kristen. Suami saya kan Kristen kamu dong yang berdoa, kamu kan Kristen begitu semuanya, tapi semuanya sudah berjalan dengan baik.

Dulu pak Panji Tisna itu kan raja dulu? Kalau di puri itu apa tugas-tugasnya ?
O seperti pemerintahan sekarang saja. bagaimana Bupati itu, jadi ngurus-ngururs kepemerintahannya, Raja Buleleng paling luas wilayahnya, paling kaya wilayahnya karena leluhur-leluhur suka berperang mengalahkan raja-raja yang lain. Jajahannya banyak. sekarang sampai diambil sama Bangli, Kintamani, itu kan sudah sebagian diambil, Bali Barat ngambil. Terlalu banyak hampir separuh pulau Bali punya Singaraja.

Ada kewajiban dengan agama tidak ?
Ya. Sangat besar kewajiwabbnya. Waktu itu Bapak saya menjadi raja kakinya satu di Kristen dan satu di Hindu jadi tidak full jadi orang Kristen. Jadi kalau belajar di Kuliah dia satu belajar agama Kristen dan dilain pihak dia harus memnuhi kewajibannya terus berjalan begitu.

Berapa lama begitu, selamanya begitu ?
Tidak. Sampai datang pendeta Ambesa ini.

Sebelum Ambesa ini datang, dia sudah tahu agama Kristen dari Belanda?
Sudah tahu. Sudah belajar-belajar dari orang Belanda, tapi hati kan belum 100%. Setelah menjadi orang Kristen benar, setelah berhenti menjadi raja.

Dari tahun berapa beliau menjadi rajanya ?
Dia dituduh anti Jepang dan dimasukkan ke sel tahun 1942. Dibilang dia anti Jepang, berarti dia belum menjadi Kristen, tahun 1942 dia baru belajar. Saat itu dia mendapat pengampunan dari orang jepang karena dia punya Bebel (kitab suci), ada kesaksian-kesaksian di dalamnya. Lantas tentara-tentara Jepang bertanya kamu orang Kristen ya. Dijawab Ya. Tapi belum 100 %. Lantas tidak jadi di bunuh. Itu ceritanya. Dia ditangkap di Kebun Jeruk, yang sekarang ada Gerejanya, dan beliau sendiri disana di makamkan. Waktu itu mau dibunuh karena disitu ketahuan ada Bebel, lantas belajar agama dari orang-orang Belanda, disitu mungkin salah satu dari tentara Jepang itu ada orang Kristen, disana dapat pengampunan. Maka ayah saya berjanji saya akan menjadi orang Kristen. Jadi semua itu adalah kesaksian.

Terus menjalankan Kristen dari tahun berapa?
Seingat saya menjadi Kristen beneran tahun 1947-1948-an, sesudah beliau menjadi Raja baru dibabtis begitu ?waktu itu satu kali dibabtis oleh pendeta Ambesa. Waktu beliau menjadi raja itu keinginan beliau untuk menjadi raja itu tidak 100 %. Tidak suka bapak saya menjadi raja, karena bapak saya tidak suka bermewah-mewah, bapak saya kerakyatan sekali. Jadi ayah saya suka bergaul dengan orang biasa maka kenyataannya di sini dibangun puri, kemudian pindah ke luar puri. Dia orang sederhana sekali. seperti terpaksa menjadi seorang raja, karena putra pertama.

Sampai berapa tahun dia mejadi raja ?
1 tahun. Singkat sekali. bersyukur cuma sebentar sekali. cuma 1 tahun, kemudian adiknya yang mengganti, dia sudah tamat di Nedherland, pulang lantas Mr Jelantik, mertua saya. Disuruh adiknya menjadi raja, lantas beliau pindah ke Puri Sala. Ini rumah beliau dulu.

Terus sampai sekarang keturunan adiknya yang tetap di Puri ?
Ya.

Adiknya yang kedua kan Islam di Jakarta. Yang dipuri sekarang kan Ibu mertua saya saja. saya kan kadang di Puri kadang disini, saya lebih sering tinggal di sini. Saya lebih suka di sini ketimbang di Puri, ngarang-lah disini, lebih bebas lebih merdeka. Di Puri itu memang saya harus tinggal di puri, tapi saya katakan saya bisa di Puri di sini di mana-mana. Malah mau saya katakan saya sudah tidak punya suami saya di mana saja bisa. Saya gituin tapi tidak lepas dari tanggung jawab. Tanggung jawab pemelliharaan Puri, mertua,

Berat ya Tugas di puri itu ?
Lumayan. Kita toleransi dengan agama. Di sini sebenarnya kita harus memberikan penerangan kepada mereka. Seorang Kristen itu begini: hanya menyembah satu. Kalau ke merajan (kuil keluarga) tidak boleh. Tapi kami toleransi kalau ke merajan ada karya apa disana kami tolerasi tidak menyembah tapi duduk. Kan ada ruangan kita duduk disitu, pakai pakaian adat. Sebab apabila kita mengadakan kebaktian-kebaktian meraka pun datang, duduk bersama-sama. Saya masuk ke merajan tapi tidak sembahyang. Di sana ada sakenem (balai bertang enam), kita duduk di sana, semua orang Kristen begitu. Di sana ada tempat leluhur, kami menganggap tempat leluhur itu sepertu monumen. Kan banyak monumen di negara kita, kita anggap itu begitu. Kita anggap merajan, itu kami siarah. Kami tidak menyembah kami mengerti, justru kalau ada orang kristen yang menyembah atau muspa, mereka bertaanya-tanya, ya tidak ? Itu Kristen apa itu, Kristen benar itu ? .

Ada yang kejadian begitu ?
Ada.

Masih keluarga
Masih. Malah orang Puri bilang begini. Itu orang Kristen apa itu ?

Kira-kira kenapa dia ikut sembahyang ?
Mungkin karena dia terlalu toleransi. Tidak ada tekanan. Mungkin dia anggap itu perbuatan yang baik. Padahal orang Hindu itu bilang sendiri ………, malahan orang Hindu sendiri yang bilang begitu. Makanya saya hati-hati. Kitaumat Kristen ya  duduk saja di sakenem. Kita menghargai mereka buat Banten, kita hanya dari sikenem. Nah apa kata mereka. Nah pada saudara umat Kristen silahkan berdoa menurut agama masing-masing. Yah karena nenek moyang satu, maka tidak boleh terlalu berfanatik, terlalu kita fanatik yang susah kan kita sendiri. Kalau kami mengadakan kebaktian rumah tangga dan sebagainya, kami mengundang mereka, mereka juga datang bernyanyi juga. Kalau saya pikir kalau terlalu kaku sulit sekali. Yesus sendiripun lahir ke dunia sebagai manusia. Jadi kalau umpamanya di merajan ada upacara saya ikut. Tapi tidak berarti saya ikut menyembah, tidak. Kan disitu ada bale sakenem-nya untuk lain agama. Kita ikut menyaksikan.

Kalau membuat sarana banten dan saebagainya itu membantu?
Tidak.

Kalau di pura atau merajan duduk disitu ikut mendoakan atau tidak ?
Kalau duduk disitu, mau ikut mendoakan silahkan kalau tidak juga tidak kenapa. Makanya silahkan berdoa menurut agama masing-masing. Jadi mereka tidak memaksa untuk berdoa di sanggah. Kan ada rong-rong di Sanggah itu, tempat-tempat pemujaan. Kita tidak, kita ada bale sikenem sendiri,untuk duduk. Kita kalau mau berdoa mohon keselatamatan pada Tuhan untuk keturunan kita semuanya, pasti kita berdoa, jadi toleransinya disitu. Ada saudara saya yang sangat fanatik, dia agama Kristen. Dia sangat dikucilkan sekali, dicuekin. Itu yang tidak kita mau. Kalau kita hidup seperti itu kan susah. Kalau kita mencari jiwa, menarik supaya menjadi orang Kristen. Kita harus memahami mereka dan mereka harus mengerti kita juga.

Berarti ibu dari kecil sudah Kristen ya ?
Ya. Setahu saya ya.

Dari kecil kan bergaulnya kan dengan saudara sepupu yang lainnya, ?
Tapi meraka tidak pernah mengejek agama meraka dan kamipun tidak pernah mengejek agama mereka.

Ibu tidak pernah merasa aneh sewaktu kecil kok ?
Tidak pernah. Cuma kita kan sekolah Hindu, pemuda pemudi, udah begitu saja bergaul. Kan ada sepupu, Galungan, Kuningan, kalau suud natab (setelah diberkati dalam upacara Hindu) tak kasi daging, buah-buahan. Sekarang kasi dong. Oha jangan ini kan sukla. Terus saya bilang nak Kristen tidak boleh makan surudan (makanan yang sudah dipersembahkan) dari dewa-dewa. O. ngak boleh ya, o ini sukla (makanan yang belum dipersembahkan kepada para dewa). Kalau seandainya orang Kristen bertandang ke Orang Hindu pasti dikasi yang sukla, selalu dia menyediakan itu.

Waktu ibu menikah itu pakai upacara apa ?
Adat Hindu. Menikahnya dulu tidak di merajan,

Maksud saya suami ibu kan Hindu jadi ?
Kalau dia mau ke Pura ya suru saja di Pura, saya hanya toleransi duduk saja.

Terus upacara banten tidak buat ?
Tidak, yang buat saudara, saja. Yang natab ya dia saja. makanya tahun 1974 saya menikah lagi di Gereja. Makanya saya bilang sama anak-anak kalau menikah sebaiknya satu agama. Agama apapun itu. Hindu ya Hindu. Apapun dia.

Ibu menikah tahun berapa itu ?
Tahun 1968.

Kalau boleh tahu tahun lahirnya ?
Saya masih muda. Tahun 50. Saya Sagitarius.

Di kantor Bupati dia kerja, Pokoknya dia kerja di Pemda, kalau tidak salah adiknya di Penggawa, pokoknya dia memegang suatu jabatan, pemerintahan Belanda. Waktu itu pegawai bapaknya. Setelah beliau berhenti menjadi raja setelah merdeka, beliau menjadi anggota MPR DPR di Jakarta.

Bapaknya Pak Panji Tisna siapa ?
Anak Agung Putu Jelantik. Jadi setelah merdeka itu tahun 1950 an beliau itu jadi anggota MPRs/DPR di Jakarta[]




1 comment:

  1. Enter your comment...mohon maaf, tolong di koreksi untuk asal Papa saya Pdt. A.F. AMBESA, dari pulau ROTE, bukan Lote,
    sekian dan banyak terimakasih.

    ReplyDelete