Monday, April 11, 2016

Jro Mekele Seroja, Istri Kedua Anak Agung Panji Tisna: Sang Primadona Stambul


Nama Informan : Jro Mekele Sroja (1)
Tempat wawancara : Puri Liligundi, Singaraja, tanggal 4 Januari 2002
Pewawancara : Nyoman Wijaya, ketua TSP
Transkriptor : Dewa Ayu Satriawati, admin TSP

Pengantar

Hari ini, Kamis tanggal 4 januari 2002, saya Nyoman Wijaya dari TSP, sedang berada di hadapan Jro Mekele Seroja, istri kedua dari Anak Agung Panji Tisna. Saya sedang berada di Puri Liligundi.  Ibu, sebelumnya, saya mohon maaf, karena saya ini tidak bisa bicara pakai bahasa Halus.



Kalau asalnya dari desa Suwug ya?
Ya, saya berasal dari Desa Suwug.

Berapa punya saudara dulu?
Saya bersaudara 9 orang dan saya yang nomor 8, jadinya saya itu Ketut Balik (sebutan orang Bali yang lahir nomor 8). Saya itu Ketut Mayas.

Kalau orangtuanya jadi apa?
Kalau orangtua saya itu kan masih kolot, jadinya hanya jadi petani saja.

Kalau Suwug itu dekat dari sini?
Ya dekat. Di Sangsit itu keutara.

Kalau sekolahnya dulu dimana?
Di sini, di kota, kakaknya saya kan diambil orang Belanda dulu.

Oh orang Belanda?
Ya, Tuan Bang (?) dari Belanda. Orang Belanda yang mengambil dan menjadi kepala Bank seluruh Indonesia (sic). Lalu saya tinggal di Banjar Paketan di tempat kantor bupati sekarang bersama kakak saya itu.

Kakak kandungnya itu?
Ya yang paling tua.

Diambil orang Belanda dan menikahnya sudah sah saat itu?
Ya, itu tinggal disini itu sudah lama, kira-kira sekitar 13 tahun di sini.

Punya anak dia?
Tidak, setelah pindahnya dari sini, setelah 13 tahun di sini lagi ke Malang gitu.

Penari juga kakaknya itu?
Tidak, kalau yang jadi penari itu kakak saya Siti dan Sita, dan terkenal dulu.

Siapa itu?
Siti dan Sita.

Kalau yang itu juga kakak kandung?
Ya kakak kandung.

Kan keluarga penari jadinya Jero Mekel ini?
Ya memang semuanya jadi penari.

Kalau bapaknya juga penari?
Kalau bapaknya saya itu bukan penari, dia kan sudah tua.

Kalau ibunya?
Ibunya saya juga tidak.

Jadinya hanya anak-anaknya saja gitu?
Ya hanya anak-anaknya saja.

Dimana dulu belajar menarinya?
Orang dari Klungkung datang ke sini, ada juga yang dari Karangasem. Kalau dulunya saya itu di Kota dan terkenalnya saya itu di Kota, saya itu sambil sekolah dulu.

Sekolah SD jadinya dulu itu?
Ya SD. 

Sekolah Rakyat ya?
Ya.
Sekolahnya di Banjar Paketan gitu?
Ya.
Berarti kan dekat dari sini?
Ya dan kakak saya itu disebelah baratnya tinggal.

Kalau tanggal lahirnya masih ingat?
Saya lahir, 9- 4-1918.

Kan saat gempa buminya?
Ya. itu kan orang-orang dari Suwug itu kan sekolahnya dulu di Bubunan, dan semuanya orang-orang itu sekolahnya di sana. Katanya dulu itu memang tidak ada sekolahan. Kalau Dewa Agung (raja)- nya yang di sini, juga ke sana sekolahnya, sampai kelas III.

Kalau dengan Dwagung (Dewa Agung)-nya sekelas dulu?
Kalau itu, paman-paman saya yang sekolah ke Bubunan, dan saya itu lebih dulu dicatat, dan memang semuanya dicatat saudara-saudaranya saya itu tanggal kelahirannya, karena itu pamannya saya itu. lalu kakak saya itu ke sini, tahun 1932 dan saya 1933 datang ke sini.

Siapa yang mengambil kakaknya?
Adiknya Anak Agung Panji Tisna. Setelah itu saya jadi parekan (abdi) dan saya berhenti jadi penari, memang begitu di Buleleng, meski jadi apa saja di sini, maka itu harus berhenti tidak seperti di Denpasar. 

Jadi setelah jadi parekan berhenti menari gitu?
Ya dan keluar pun sama sekali tidak boleh.

Kalau dulu sampai dimana saja menarinya, hanya di kota saja?
Hanya di kota saja di sini. Saya itu jadi tambul dulu, jadi kroncongnya.

Bukan tarian Bali?
Kalau tarian Bali juga ada. Seperti misalnya Legong, Calonarang.

Sandiwara juga, gitu ya?
Ya, pokoknya asal sudah yang namanya tarian maka saya yang lebih dulu.

Kalau tarian Jawanya juga bisa?
Bukan, hanya Balinya saja, seperti Gandrung itu bisa saya.

Kalau sandiwaranya juga begitu?
Kalau sandiwara yang di tempat saudaranya saya, yang disebelah selatan pasar ini, di sana saya itu jadi galuhnya, kakak saya jadi Panji, atau grantangnya. Kalau di banjar Tegal, lantang Lasem juga membawakan tema itu.

Jadinya kan sudah terkenal di kota, kan gitu jadinya ya?
Ya. memang kalau di Kota itu tidak mau jika saya bikin group, pokoknya biar semuanya memakai. Tidak dikasi bikin group sendiri-sendiri, biar semuanya dapat memakai.

Bagaimana ceritanya, sampai bisa menjadi parekan di puri?
Karena saya itu dulu kan jadi tambul dulu, itu sekitar tahun 1930.

Dimana saja pernah bermain jadi Tambul itu?
Di sini banjar Paketan, kota, dan banyak yang diajak main Tambul waktu itu, karena itu dilombakan. Saya itu bisa terkenal, kan karena terus menang.

Apa nama Tambulnya dulu, groupnya itu apa namanya?
Kan sudah dibilang Stambul, hanya itu saja, kalau namanya saya tidak tahu.

Belajarnya dulu dimana?
Di sini saja.
Yang mengajarnya dari Jawa?
Bukan, asalnya dari Singapura, diajarkan main kaki, makanya saya itu sampai bisa.
Main kaki gimana? Balet itu ya?
Ya.
Itu yang paling dulu mengajari gitu?
Ya.

Kalau itu orang Bali?
Bukan. Itu orang Singapura, ada kira-kira di sini satu bulan setengah.

Berapa jumlahnya groupnya Stambul itu?
Kalau itu banyak.

Lebih dari 20?
Ya lebih.

Kalau Jro Mekel jadi apanya?
Kalau saya kan jadi pemain utamanya, saya yang menjadi pengajarnya, kalau gadis-gadis Balinya, kan tidak bisa menari waktu itu, kan saya ajari seperti tari Janger dan lain sebagainya.

Kalau Jro Mekel bisa menari karena kakaknya gitu?
Bukan, kalau yang mengajar itu kan orang dari Denpasar, Klungkung dan Karangasem.

Ke sini dia mengajari gitu?
Ya.

Bayar itu?
Ya bayar. Kalau di sini saya belajar menari Legong Gongnya.

Mana yang lebih dulu bisa, Stambul atau Legong Bali?
Legong Bali, setelah semuanya saya tahu, baru saya ditarik saya untuk belajar itu.

Nah saat sebelum menjadi parekan di Puri, kan bebas jadinya menari, kemana saja menarinya?
Kalau itu jika saya itu menari baru saya keluar. Jika saya di rumah pasti banyak sekali priya yang apel ke rumahnya saya dan saya dikunci dikamar, dan tidak dikasi keluar.

Sama siapa?
Sama ibu saya, tidak dikasi saya itu mengajak ngomong, sampai ibu saya itu bingung karena setiap hari ada saja yang datang ke sana. Bermacam-macam orang yang datang ke rumahnya saya, ada orang Cina dan lain sebagainya, sampai orang yang jadi Raas datang ke sana.

Apa itu Raas?
Itu kan buruh kapalnya, dan bawaanya ikan kering.

Jadinya merayu gitu ya?
Ya. kalau dulu itu kan tidak berani main ke rumah yang perempuan dengan tidak membawa apa-apa seperti sekarang. Pokoknya bermacam-macam bawaannya dulu, ada yang membawa ikan kering, ikan teri sampai terasi ada yang membawakan kerumahnya saya. Memang banyak sekali priya yang datang ke rumah saya, bahkan rumah saya itu sampai penuh, tapi saya itu pintunya di kunci dan saya tidak dikasi keluar. Kalau saya memang tidak pernah meladeni. Kalau saya menari baru saya dilihat dan jika saya tidak menari maka saya tidak akan dilihat, saya itu memang tidak pernah kelihatan.

Lalu diamnya, di mana? Bersembunyi ya?
Kalau saya itu di sini, kan dibelikan rumah. Lalu kan ada datang panjinya, kalau panjinya dulu itu kan suka membunuh orang. Lalu kalau ada yang datang dari sana, bisa sampai 21 orang yang diajak datang dari sana, beriringan, lalu kan di stop, sampai lantas dicarikan polisi. Dan polisinya berjaga di rumahnya saya. Itu kan menakuti, jika ada yang apel ke rumahnya saya, tapi itu siangnya. Kalau orang itu apel kan siangnya, kalau malamnya kan di stop. Kalau siangnya memang dikasi tapi kalau malamnya tidak.

Saat itu sudah pacaran dengan Anak Agung Panji Tisna-nya?
Saat itu belum, saya juga tidak begitu memperhatikan. Kalau menari, mamang saya itu menari.

Jadi beliau yang membawakan musiknya gitu?
Ya. dia main siul.

Lalu Jro Mekel yang menyanyinya gitu?
Ya.

Saat itu sudah pacaran?
Kalau beliau memang senang sama saya tapi saya kan tidak perduli, baik senang atau bagaimana. Kalau saya memang tidak pernah meladeni siapa-siapa. Saya memang tidak dikasi meladeni siapa-siapa.

Siapa yang tidak mengasi?
Ya ibunya saya. Kan bingung ibu saya itu banyak yang datang ke rumah.

Kalau Jro Mekel itu tahu, kalau Panji Tisna itu senang dengan Jro Mekel?
Kan ke sana beliau itu membawa surat, anaknya juga ke sana membawa surat, yang sudah meninggal itu, Anak Agung Ngurah Ganteng.

Apa isi suratnya?
Ya hanya itu saja, yang namanya merayu kan hanya itu saja.

Sekarang masih ada suratnya?
Kalau itu kan sudah lama sekali kan sudah tidak ada lagi.

Sama sekali tidak ada yang tersisa?
Kan tidak memperdulikan yang begitu, semuanya itu kan sudah dibuang. Saat saya pulang dari Paketan, saya itu dilempari sama Punggawa Cakra.

Cakra Tanaya?
Ya, dia kan bilang, “baru orang kaya mau diterima, kalau yang miskin seperti saya itu tidak mau diterima.” Begitu katanya.

Kalau Cakra Tanaya itu Anak Agung ya?
Ratu Bagus. Ratu Bagus Cakra Tanaya.

Ratu Bagus Cakra Tanaya?
Ya.
Apa yang menyebabkan dilempari itu?
Itu dah karena banyak sekali priya yang datang ke sana, dan ibu saya itu sudah pusing menghadapi itu.

Karena terlalu banyak yang mengapeli ya?
Ya itu dah tak pernah berhenti, pergi lagi datang.

Tidak ada yang diterima satu pun?
Siapa yang diterima, mereka hanya datang saja dan saya tidak pernah meladeni siapa-siapa.

Lalu siapa yang dicari ke sana, Jro Mekelnya kan sudah tidak ada?
Itu kan ibu saya, kakak saya, yang sudah tua-tua.

Oh begitu? Kalau Jro Mekel sembunyi gitu ya?
Ya.

Kalau itu perkataan Anak Agung itu?
Kalau Anak Agung main ke sana itu, bukan hanya beliau saja yang apel ke sana, masih banyak lagi yang lainnya.

Kalau seandainya Anak Agungnya menikah, dengan berapa orang datang ke sana?
Kalau itu banyak, kadang-kadang ada 9 orang.

Kalau seandainya beliau datang, baru Jro Mekel keluar gitu?
Tidak, saya itu memang tidak meladeninya. Memang tidak dikasi meladeni siapa-siapa. Kalau dulu itu kan masih malu-malu, tidak seperti sekarang bergandengan.

Kalau Anak Agung datang juga tidak diladeni ya?
Tidak. Kalau itu kan hanya ibu saya  saja yang meladeni.

Sebelum menikah, pernah menjadi parekan di sini gitu?
Ya di sini. Nah saat itu kan semua datang ke sini, ceritanya diajarkan semua sama Anak Agungnya.

Diajari apa?
Ya diajari main Tambulnya itu.

Anak Agung Panji Tisna yang mengajari gitu?
Ya, biar orang itu kenal dengan pemainnya. Kalau yang di sini itu berbanyak yang ke sini.

Di sini latihannya?
Ya. Kalau yang ke sini itu banyak sekali, ada sampai 25 orang. Dan teman-temannya saya sampai 9 orang yang datang ke sini. Saat itu kakak saya sudah di sini, sudah diambil sama adiknya.

Kalau dia bilang senang itu, apa hanya bilang senang lewat surat saja atau langsung pernah bicara sama Jro Mekel?
Tidak, kalau beliau itu tidak pernah dekat dengan saya.

Tidak pernah bicara langsung?
Tidak.
Lalu Jro Mekel-nya membalas surat itu?
Tidak, tidak pernah dibalas. Saat itu saya kan masih buta dengan itu dan belum tahu dengan hal itu. Kalau latihan, latihan di sini berbanyak.

Lalu kapan, lantas tinggal di sini?
Setelah agak lama, sesudah saya disenangi selama setahun (pacaran selama setahun). Setelah itu saya kan diomongi sama madunya saya.

Saat itu sudah menikah beliau?
Sudah. Sudah punya anak Anak Agung Ngurah Ganteng. Kalau namanya yang bagus itu Anak Agung Ngurah Agung, kalau Anak Agung Ngurah Ganteng itu kan panggilannya.
Hanya satu saja punya anak?

Dua, dari istrinya yang pertama?
Ya, dua kalau yang masih hidup. Dan kedunya laki-laki. Lalu kan disuruh anak-anaknya membawa surat ke sana, asal sudah ada anak-anak pasti beliau yang membawa surat. Itu kan disembunyikan dari Atu Biangnya. “kaden suba tusing.” Mungkin begitu beliau bilang. Beliau itu kan menikah dengan saudaranya. Dwagung memang galak sekali dan suka sekali memukul.

Siapa?
Anak Agung Panji. Lalu Anak Agung Biyang Manik, kan mungkin tidak senang dengan orang lain, masih lagi enam katanya yang disenangi. Tapi kalau yang ini kan menikah karena perjodohan jadinya.

Siapa nama istrinya yang pertama?
Anak Agung Biyang Manik.

Darimana?
Dari sini juga.

Masih saudara jadinya?
Ya masih saudara. Itu yang menyuruh saya, “janganlah kamu lama-lama, sudah satu tahun pacaran (disenangi), sampai I Ratu tidak pernah tidur-tidur, lebih sering ngeluyur dan tidak pernah di puri. Kalau beliau ngeluyur bukan, hanya ke tempatnya saya saja, kan main juga ke tempat yang lain, beliau kan membawa mobil Sedan. “turut dah dengan saya, saya tidak akan memadu dengan dirimu, buktikan dah kalau saya itu memang tidak memadu, turut dah sekarang ke puri.” Saya itu memang tidak memberikan jawaban ya, saya diam saja, saya kan takut juga nanti dobohongi dan dikerjai, karena beliau itu kan lebih senang dengan saya, karena saya itu kan penari. Setelah lama-lama, saya kan diambil dan pindah saya ke Suwuk, lalu beliau sering datang ke sana, bahkan selalu, setelah itu mungkin ada sekitar 6 bulan, baru saya diambil. Dipaksa dah saya, dilarikan saya biar saya mau turut. Kan sudah lama sekali, saya mondar-mandir dan semua suah memarahi saya.

Siapa yang melarikan, beliau?
Ya beliau sendiri.

Tidak pakai sopir?
Ada sopirnya.

Jro Mekel saat itu masih di Suwug?
Ya.
Saat itu dipaksa dengan diseret atau bagaimana?
Tidak, kan dengan bicara di jalannya, lalu yang lain-lainnya banyak yang ngomong dan saya diseret dan diajak naik ke mobilnya. Saat itu kakak laki-laki saya galak sekali dan memang pernah dikasi tahu Dwagungnya. “kan sudah ada satu, kenapa banyak-banyak Ratu, cukup hanya adik saya itu saja satu.”

Saat itu langsung melaksanakan upacara pernikahan saat itu?
Belum. Saat itu saya diajak bersembunyi, dan dibawa ke Lombok saya, biar saya tidak dicari sama kakak saya.

Kakaknya galak ya?
Ya galak.

Siapa nama kakaknya?
Kaler.

Jadi Polisi?
Bukan jadi polisi, hanya orang biasa.

Lalu berani sama Anak Agungnya?
Kalau kakak saya itu memang berani sekali. Kakaknya saya saja saat ngerangkat-nya (sistem pernikahannya pakai sistem rangkat), diambil secara sembunyi-sembunyi waktu itu. kakak (Blinya) saya itu memang galak sekali. Makanya Dwagungnya tidak berani dan saya itu dibawa ke Lombok, biar tidak diketemukan sama kakaknya saya, biar sepi dulu, setelah datang dari Lombok, baru dibikinkan ayaban (sesajen perkawinan)

Naik apa ke Lombok?
Beliau itu kan banyak kepunyaannya di Lombok, punya sawah, tegalan. Memang banyak sekali kepunyaannya di sana, sawahnya saja 500 hektar di sana, di sini juga 500 hektar.

Berapa bulan lantas di Lombok?
Hanya sebentar, mungkin ada kira-kira selama 4 bulan. Kan dicari lantas sama panji-panjinya, kemana-kamana sudah dicari, ke Bubunan dan yang lainnya tapi tidak diketemukan. Setelah diketemukan lalu dibikinkan banten.

Dibikinkan bantennya di Lombok gitu?
Bukan tapi di sini. Di sini kemudian baru dibikinkan ayaban.

Setelah menikah kan tidak boleh lagi menari jadinya?
Ya tidak boleh, memang tidak bisa ngapa-ngapain lagi, pokoknya  hanya di puri. Memang dikasi keluar tapi saya memang tidak pernah kemana-mana.

Berarti kan memang hanya beliau satu-satunya laki-laki yang dikenal, kalau sebelumnya kan tidak pernah pacaran jadinya?
Kalau calon istri, memang banyak para gadis yang dipersembahkan, seperti misalnya, anak para Punggawa, Sedahan, kan punya anak gadis, lalu dibawakan ke sana. Tapi malah saya yang jadi penari yang dikejar-kejar dan saya juga tidak bisa apa-apa dan saya juga sanggat bodoh.

Sekolahnya hanya sampai kelas tiga saja, kan gitu jadinya?
Ya, sampai kelas tiga. Baru lantas sampai di Puri saya itu belajar, jika ada kursus maka saya dah yang ikut, saya itu belajar biar bisa juga.

Kalau Anak Agung Panjinya berapa punya saudara?
Lima orang, itu gambarnya.

Kalau yang ini siapa?
Anak Agung Gede Jelantik.

Adiknya beliau?
Ya, adiknya sekali (adik kandungnya).

Kalau yang ini?
Anak Agung Panji Tisna.

Kalau yang ini?
Anak Agung Gede Agung.

Ini juga adiknya?
Ya semua ini adiknya.

Kalau yang ini?
Anak  Agung Ngurah Parta.

Kalau yang ini siapa?
Kalau yang ini kan ayahnya.

Namanya siapa?
Anak Agung Jelantik.

Anak Agung Jelantik ini berapa punya istri?
Dua orang.

Namanya siapa?
Mekele Rengga.

Kalau Anak Agung Panji Tisna siapa ibunya?
Itu juga Mekele Rengga. Itu dah putranya kelima-limanya.
Darimana asalnya istri Anak Agung Jelantik?
Dari Delod Pasar.

Kalau nama aslinya?
Kalau namanya yang asli saya tidak tahu, setelah menikah kan diganti namanya. Kalau yang ini lain ibunya, kan dua punya istri yang sah. …….

Kalau Fotonya ini saat sudah menikah?
Sudah.

Sudah pindah agama?
Belum, saat itu belum lahir anak saya yang paling kecil.

Jro mekel menikah tahun berapa?
Tahun 1933.

Anaknya yang paling kecil menikah tahun berapa?
Tahun 1945. Saya menikah tahun 1933, bulan Januari dan saya punya anak juga tahun 1933 bulan November.

Siapa nama anaknya Jro Mekel yang pertama?
Anak Agung Gede Gora. Karena ibunya orang Sudra, maka pakai nama Gede. Kalau yang nomor dua biasa juga namanya Made. Jadinya namanya Anak Agung Made Udayana. Yang nomor tiga, Anak Agung Ayu Seraya. Kalau yang nomor empat Anak Agung Ayu Ketut, dan namanya saya sudah lupa karena sudah lama meninggal. Yang nomor lima Anak Agung Ngurah Terdika, sekarang berada di Amerika.

Kalau Agetis itu siapa?
Kalau itu kan lain ibunya.

Mekel juga itu?
Ya mekel juga.

Istri yang ke berapa itu punya?
Kalau itu kan ibunya tidak jelas statusnya, karena tidak dinikahi secara sah. Tidak seperti saya, pakai pedanda. Dia kan mengadakan perjanjian dengan Anak Agung Gede, saat itu masih kecil, makanya dipengadilan kalah.

Apa yang menyebabkan ke Pengadilan?
Itu kan karena ibunya Agetis itu yang nakal sekali. Nah anak tiri saya, Anak Agung Ngurah Ganteng kan laki-laki, punya tanah, tidak minta ijin dijual tanahnya dia. Saat saya datang ke sana sudah ada lebelnya, “ini bagaimana ini, kok dijual tanahnya orang.” “itu kan saya yang disampingnya.” “lo kan tidak bisa begitu, kan orang lain yang punya kok kamu malah mau menjualnya.” Itu dah makanya sampai menyebabkan terjadinya perkara itu di pengadilan.

Lalu siapa yang menang perkaranya?
Ya saya. Itu kan karena saya sudah lama di puri. Kalau dia kan orang baru yang masuk ke puri, setelah itu kan kalah jadinya dia dan kalahnya karena ntidak ada saksi. Desa Suwuknya tidak mau menjadi saksi.

Dari Suwug juga?
Ya. Malah desa Suwuknya membela saya.

Ada hubungan apa dengan Jro Mekel?
Kalau dengan saya memang tidak ada hubungan apa-apa.

Penari juga ibunya Agetis?
Tidak.

Hanya Agetis saja anaknya satu?
Itu kan anak dari luar, saat datang ke puri itu masih terikat perkawinan. Saat itu masih suaminya Semeca, saat itu belum cerai, lalu datang ke sini mau jadi rabi (istri raja), jadinya orang yang di Suwug kan tertawa jadinya.

Karena cantiknya diterima?
Tidak, karena masih muda, sebaya dengan anaknya saya.

Belum mengadakan upacara pernikahan ya?
Mesakapan-nya, bukan dengan Dwagung-nya tapi dengan Anak Agung Gede yang tidak bisa melihat dan saat itu juga masih kecil.

Belum remaja?
Belum, saat itu kan hanya formalnya dan tidak ada yang menjadi saksi waktu itu, hanya biar bisa jadi Mekel saat itu, makanya saat dipengadilan dia itu bisa kalah, kan karena tidak ada yang menjadi saksi.

Berapa Hektar tanahnya itu?
Saat itu hanya satu sawah, itu yang menyebabkan. Itu karena saya kasihan dengan Anak Agung Ngurah Ardipa, adiknya Anak Agung Ngurah Ganteng, karena saya merasa kasihan kepada beliau, karena tidak punya tanah, jadinya kan saya merasa terpanggil untuk mencari kebenaran. Semuanya di sini ngomong, “mekele, mekele sudah tua bukannya akan menang, tapi hanya akan kalah, mekele itu sudah tua, mau mengajukan perkara, pasti akan kalah.” Kalau saya kan hanya merasa berkewajiban, karena saya merasa itu anak saya, meskipun anak tiri karena saya juga yang mengasuh saat masih kecil, karena ditinggal menikah. Karena saya itu sudah Kristen, saya itu kan tidak dikasi berperkara oleh anak saya Anak Agung Ayu Sraya. Kalau seandainya saya tidak mengajukan perkara itu, malah saya yang dikatakan sebagai gundik dan dia sendiri yang mengaku sebagai istri yang sah. Saat itu saya kan tidak terlalu mempermasalah, apakah saya kalah atau menang, sebab saya ini kan sudah tua dan akhirnya dia itu kalah dalam pengadilan, karena tidak ada saksi. Saat itu kan Pak Mastra yang ikut saat kejadian gereja-gerejanya di Sraya, saat itu belum menjadi gereja sah karena tidak ada yang mengakui. Saat itu kan baru gereja rumah. Di situ dah dipakai tempat melangsungkan pernikahan, pak Mastra yang menjadi saksi dan Pak Mastra juga ikut. Saat itu dia dibilang menikah tapi saya sama sekali tidak tahu (bersambung)



No comments:

Post a Comment