Nama Informan : Jro Mekele Sroja (1)
Tempat wawancara : Puri Liligundi, Singaraja, tanggal 4 Januari 2002
Pewawancara : Nyoman Wijaya, ketua TSP
Transkriptor : Dewa Ayu Satriawati, admin TSP
Pengantar
Hari ini, Kamis tanggal 4 januari 2002, saya Nyoman
Wijaya dari TSP, sedang berada di hadapan Jro Mekele Seroja, istri kedua dari
Anak Agung Panji Tisna. Saya sedang berada di Puri Liligundi. Ibu, sebelumnya, saya mohon maaf, karena saya
ini tidak bisa bicara pakai bahasa Halus.
Kalau asalnya dari desa Suwug ya?
Ya, saya berasal dari Desa Suwug.
Berapa punya saudara dulu?
Saya bersaudara 9 orang dan saya yang nomor 8, jadinya
saya itu Ketut Balik (sebutan orang Bali yang lahir nomor 8). Saya itu Ketut Mayas.
Kalau orangtuanya jadi apa?
Kalau orangtua saya itu kan masih kolot, jadinya hanya
jadi petani saja.
Kalau Suwug itu dekat dari sini?
Ya dekat. Di Sangsit itu keutara.
Kalau sekolahnya dulu dimana?
Di sini, di kota, kakaknya saya kan diambil orang Belanda
dulu.
Oh orang Belanda?
Ya, Tuan Bang (?) dari Belanda. Orang Belanda yang
mengambil dan menjadi kepala Bank seluruh Indonesia (sic). Lalu saya tinggal di
Banjar Paketan di tempat kantor bupati sekarang bersama kakak saya itu.
Kakak kandungnya itu?
Ya yang paling tua.
Diambil orang Belanda dan menikahnya sudah sah saat itu?
Ya, itu tinggal disini itu sudah lama, kira-kira sekitar
13 tahun di sini.
Punya anak dia?
Tidak, setelah pindahnya dari sini, setelah 13 tahun di
sini lagi ke Malang gitu.
Penari juga kakaknya itu?
Tidak, kalau yang jadi penari itu kakak saya Siti dan
Sita, dan terkenal dulu.
Siapa itu?
Siti dan Sita.
Kalau yang itu juga kakak kandung?
Ya kakak kandung.
Kan keluarga penari jadinya Jero Mekel ini?
Ya memang semuanya jadi penari.
Kalau bapaknya juga penari?
Kalau bapaknya saya itu bukan penari, dia kan sudah tua.
Kalau ibunya?
Ibunya saya juga tidak.
Jadinya hanya anak-anaknya saja gitu?
Ya hanya anak-anaknya saja.
Dimana dulu belajar menarinya?
Orang dari Klungkung datang ke sini, ada juga yang dari
Karangasem. Kalau dulunya saya itu di Kota dan terkenalnya saya itu di Kota,
saya itu sambil sekolah dulu.
Sekolah SD jadinya dulu itu?
Ya SD.
Sekolah Rakyat ya?
Ya.
Sekolahnya di Banjar Paketan gitu?
Ya.
Berarti kan dekat dari sini?
Ya dan kakak saya itu disebelah baratnya tinggal.
Kalau tanggal lahirnya masih ingat?
Saya lahir, 9- 4-1918.
Kan saat gempa buminya?
Ya. itu kan orang-orang dari Suwug itu kan sekolahnya
dulu di Bubunan, dan semuanya orang-orang itu sekolahnya di sana. Katanya dulu
itu memang tidak ada sekolahan. Kalau Dewa Agung (raja)- nya yang di sini, juga
ke sana sekolahnya, sampai kelas III.
Kalau dengan Dwagung (Dewa Agung)-nya sekelas dulu?
Kalau itu, paman-paman saya yang sekolah ke Bubunan, dan
saya itu lebih dulu dicatat, dan memang semuanya dicatat saudara-saudaranya
saya itu tanggal kelahirannya, karena itu pamannya saya itu. lalu kakak saya
itu ke sini, tahun 1932 dan saya 1933 datang ke sini.
Siapa yang mengambil kakaknya?
Adiknya Anak Agung Panji Tisna. Setelah itu saya jadi parekan (abdi) dan saya berhenti jadi
penari, memang begitu di Buleleng, meski jadi apa saja di sini, maka itu harus
berhenti tidak seperti di Denpasar.
Jadi setelah jadi parekan berhenti menari gitu?
Ya dan keluar pun sama sekali tidak boleh.
Kalau
dulu sampai dimana saja menarinya, hanya di kota saja?
Hanya
di kota saja di sini. Saya itu jadi tambul dulu, jadi kroncongnya.
Bukan
tarian Bali?
Kalau
tarian Bali juga ada. Seperti misalnya Legong, Calonarang.
Sandiwara
juga, gitu ya?
Ya,
pokoknya asal sudah yang namanya tarian maka saya yang lebih dulu.
Kalau
tarian Jawanya juga bisa?
Bukan,
hanya Balinya saja, seperti Gandrung itu bisa saya.
Kalau
sandiwaranya juga begitu?
Kalau
sandiwara yang di tempat saudaranya saya, yang disebelah selatan pasar ini, di
sana saya itu jadi galuhnya, kakak saya jadi Panji, atau grantangnya. Kalau di
banjar Tegal, lantang Lasem juga membawakan tema itu.
Jadinya
kan sudah terkenal di kota, kan gitu jadinya ya?
Ya.
memang kalau di Kota itu tidak mau jika saya bikin group, pokoknya biar
semuanya memakai. Tidak dikasi bikin group sendiri-sendiri, biar semuanya dapat
memakai.
Bagaimana
ceritanya, sampai bisa menjadi parekan di puri?
Karena
saya itu dulu kan jadi tambul dulu, itu sekitar tahun 1930.
Dimana
saja pernah bermain jadi Tambul itu?
Di
sini banjar Paketan, kota, dan banyak yang diajak main Tambul waktu itu, karena
itu dilombakan. Saya itu bisa terkenal, kan karena terus menang.
Apa
nama Tambulnya dulu, groupnya itu apa namanya?
Kan
sudah dibilang Stambul, hanya itu saja, kalau namanya saya tidak tahu.
Belajarnya
dulu dimana?
Di
sini saja.
Yang
mengajarnya dari Jawa?
Bukan,
asalnya dari Singapura, diajarkan main kaki, makanya saya itu sampai bisa.
Main
kaki gimana? Balet itu ya?
Ya.
Itu
yang paling dulu mengajari gitu?
Ya.
Kalau
itu orang Bali?
Bukan.
Itu orang Singapura, ada kira-kira di sini satu bulan setengah.
Berapa
jumlahnya groupnya Stambul itu?
Kalau
itu banyak.
Lebih
dari 20?
Ya
lebih.
Kalau
Jro Mekel jadi apanya?
Kalau
saya kan jadi pemain utamanya, saya yang menjadi pengajarnya, kalau gadis-gadis
Balinya, kan tidak bisa menari waktu itu, kan saya ajari seperti tari Janger
dan lain sebagainya.
Kalau
Jro Mekel bisa menari karena kakaknya gitu?
Bukan,
kalau yang mengajar itu kan orang dari Denpasar, Klungkung dan Karangasem.
Ke
sini dia mengajari gitu?
Ya.
Bayar
itu?
Ya
bayar. Kalau di sini saya belajar menari Legong Gongnya.
Mana
yang lebih dulu bisa, Stambul atau Legong Bali?
Legong
Bali, setelah semuanya saya tahu, baru saya ditarik saya untuk belajar itu.
Nah
saat sebelum menjadi parekan di Puri, kan bebas jadinya menari, kemana saja
menarinya?
Kalau
itu jika saya itu menari baru saya keluar. Jika saya di rumah pasti banyak
sekali priya yang apel ke rumahnya saya dan saya dikunci dikamar, dan tidak
dikasi keluar.
Sama
siapa?
Sama
ibu saya, tidak dikasi saya itu mengajak ngomong, sampai ibu saya itu bingung
karena setiap hari ada saja yang datang ke sana. Bermacam-macam orang yang
datang ke rumahnya saya, ada orang Cina dan lain sebagainya, sampai orang yang
jadi Raas datang ke sana.
Apa
itu Raas?
Itu
kan buruh kapalnya, dan bawaanya ikan kering.
Jadinya
merayu gitu ya?
Ya.
kalau dulu itu kan tidak berani main ke rumah yang perempuan dengan tidak
membawa apa-apa seperti sekarang. Pokoknya bermacam-macam bawaannya dulu, ada
yang membawa ikan kering, ikan teri sampai terasi ada yang membawakan
kerumahnya saya. Memang banyak sekali priya yang datang ke rumah saya, bahkan
rumah saya itu sampai penuh, tapi saya itu pintunya di kunci dan saya tidak
dikasi keluar. Kalau saya memang tidak pernah meladeni. Kalau saya menari baru
saya dilihat dan jika saya tidak menari maka saya tidak akan dilihat, saya itu
memang tidak pernah kelihatan.
Lalu
diamnya, di mana? Bersembunyi ya?
Kalau
saya itu di sini, kan dibelikan rumah. Lalu kan ada datang panjinya, kalau
panjinya dulu itu kan suka membunuh orang. Lalu kalau ada yang datang dari
sana, bisa sampai 21 orang yang diajak datang dari sana, beriringan, lalu kan
di stop, sampai lantas dicarikan polisi. Dan polisinya berjaga di rumahnya
saya. Itu kan menakuti, jika ada yang apel ke rumahnya saya, tapi itu siangnya.
Kalau orang itu apel kan siangnya, kalau malamnya kan di stop. Kalau siangnya
memang dikasi tapi kalau malamnya tidak.
Saat
itu sudah pacaran dengan Anak Agung Panji Tisna-nya?
Saat
itu belum, saya juga tidak begitu memperhatikan. Kalau menari, mamang saya itu
menari.
Jadi
beliau yang membawakan musiknya gitu?
Ya.
dia main siul.
Lalu
Jro Mekel yang menyanyinya gitu?
Ya.
Saat
itu sudah pacaran?
Kalau
beliau memang senang sama saya tapi saya kan tidak perduli, baik senang atau
bagaimana. Kalau saya memang tidak pernah meladeni siapa-siapa. Saya memang
tidak dikasi meladeni siapa-siapa.
Siapa
yang tidak mengasi?
Ya
ibunya saya. Kan bingung ibu saya itu banyak yang datang ke rumah.
Kalau
Jro Mekel itu tahu, kalau Panji Tisna itu senang dengan Jro Mekel?
Kan
ke sana beliau itu membawa surat, anaknya juga ke sana membawa surat, yang
sudah meninggal itu, Anak Agung
Ngurah Ganteng.
Apa
isi suratnya?
Ya
hanya itu saja, yang namanya merayu kan hanya itu saja.
Sekarang
masih ada suratnya?
Kalau
itu kan sudah lama sekali kan sudah tidak ada lagi.
Sama
sekali tidak ada yang tersisa?
Kan
tidak memperdulikan yang begitu, semuanya itu kan sudah dibuang. Saat saya
pulang dari Paketan, saya itu dilempari sama Punggawa Cakra.
Cakra
Tanaya?
Ya,
dia kan bilang, “baru orang kaya mau diterima, kalau yang miskin seperti saya
itu tidak mau diterima.” Begitu katanya.
Kalau
Cakra Tanaya itu Anak Agung ya?
Ratu
Bagus. Ratu Bagus Cakra Tanaya.
Ratu Bagus Cakra Tanaya?
Ya.
Apa yang menyebabkan dilempari itu?
Itu dah karena banyak sekali priya yang datang ke sana,
dan ibu saya itu sudah pusing menghadapi itu.
Karena terlalu banyak yang mengapeli ya?
Ya itu dah tak pernah berhenti, pergi lagi datang.
Tidak ada yang diterima satu pun?
Siapa yang diterima, mereka hanya datang saja dan saya
tidak pernah meladeni siapa-siapa.
Lalu siapa yang dicari ke sana, Jro Mekelnya kan sudah
tidak ada?
Itu kan ibu saya, kakak saya, yang sudah tua-tua.
Oh begitu? Kalau Jro Mekel sembunyi gitu ya?
Ya.
Kalau itu perkataan Anak Agung itu?
Kalau Anak Agung main ke sana itu, bukan hanya beliau
saja yang apel ke sana, masih banyak lagi yang lainnya.
Kalau seandainya Anak Agungnya menikah, dengan berapa
orang datang ke sana?
Kalau itu banyak, kadang-kadang ada 9 orang.
Kalau seandainya beliau datang, baru Jro Mekel keluar
gitu?
Tidak, saya itu memang tidak meladeninya. Memang tidak
dikasi meladeni siapa-siapa. Kalau dulu itu kan masih malu-malu, tidak seperti
sekarang bergandengan.
Kalau Anak Agung datang juga tidak diladeni ya?
Tidak. Kalau itu kan hanya ibu saya saja yang meladeni.
Sebelum menikah, pernah menjadi parekan di sini gitu?
Ya di sini. Nah saat itu kan semua datang ke sini,
ceritanya diajarkan semua sama Anak Agungnya.
Diajari apa?
Ya diajari main Tambulnya itu.
Anak Agung Panji Tisna yang mengajari gitu?
Ya, biar orang itu kenal dengan pemainnya. Kalau yang di
sini itu berbanyak yang ke sini.
Di sini latihannya?
Ya. Kalau yang ke sini itu banyak sekali, ada sampai 25
orang. Dan teman-temannya saya sampai 9 orang yang datang ke sini. Saat itu
kakak saya sudah di sini, sudah diambil sama adiknya.
Kalau dia bilang senang itu, apa hanya bilang senang
lewat surat saja atau langsung pernah bicara sama Jro Mekel?
Tidak, kalau beliau itu tidak pernah dekat dengan saya.
Tidak pernah bicara langsung?
Tidak.
Lalu Jro Mekel-nya membalas surat itu?
Tidak, tidak pernah dibalas. Saat itu saya kan masih buta
dengan itu dan belum tahu dengan hal itu. Kalau latihan, latihan di sini
berbanyak.
Lalu kapan, lantas tinggal di sini?
Setelah agak lama, sesudah saya disenangi selama setahun
(pacaran selama setahun). Setelah itu saya kan diomongi sama madunya saya.
Saat itu sudah menikah beliau?
Sudah. Sudah punya anak Anak Agung Ngurah Ganteng. Kalau
namanya yang bagus itu Anak Agung Ngurah Agung, kalau Anak Agung Ngurah Ganteng
itu kan panggilannya.
Hanya satu saja punya anak?
Dua, dari istrinya yang pertama?
Ya, dua kalau yang masih hidup. Dan kedunya laki-laki.
Lalu kan disuruh anak-anaknya membawa surat ke sana, asal sudah ada anak-anak
pasti beliau yang membawa surat. Itu kan disembunyikan dari Atu Biangnya.
“kaden suba tusing.” Mungkin begitu beliau bilang. Beliau itu kan menikah
dengan saudaranya. Dwagung memang galak sekali dan suka sekali memukul.
Siapa?
Anak Agung Panji. Lalu Anak Agung Biyang Manik, kan mungkin
tidak senang dengan orang lain, masih lagi enam katanya yang disenangi. Tapi
kalau yang ini kan menikah karena perjodohan jadinya.
Siapa nama istrinya yang pertama?
Anak Agung Biyang Manik.
Darimana?
Dari sini juga.
Masih saudara jadinya?
Ya masih saudara. Itu yang menyuruh saya, “janganlah kamu
lama-lama, sudah satu tahun pacaran (disenangi), sampai I Ratu tidak pernah
tidur-tidur, lebih sering ngeluyur dan tidak pernah di puri. Kalau beliau
ngeluyur bukan, hanya ke tempatnya saya saja, kan main juga ke tempat yang
lain, beliau kan membawa mobil Sedan. “turut dah dengan saya, saya tidak akan
memadu dengan dirimu, buktikan dah kalau saya itu memang tidak memadu, turut
dah sekarang ke puri.” Saya itu memang tidak memberikan jawaban ya, saya diam saja,
saya kan takut juga nanti dobohongi dan dikerjai, karena beliau itu kan lebih
senang dengan saya, karena saya itu kan penari. Setelah lama-lama, saya kan
diambil dan pindah saya ke Suwuk, lalu beliau sering datang ke sana, bahkan
selalu, setelah itu mungkin ada sekitar 6 bulan, baru saya diambil. Dipaksa dah
saya, dilarikan saya biar saya mau turut. Kan sudah lama sekali, saya
mondar-mandir dan semua suah memarahi saya.
Siapa yang melarikan, beliau?
Ya beliau sendiri.
Tidak pakai sopir?
Ada sopirnya.
Jro Mekel saat itu masih di Suwug?
Ya.
Saat itu dipaksa dengan diseret atau bagaimana?
Tidak, kan dengan bicara di jalannya, lalu yang
lain-lainnya banyak yang ngomong dan saya diseret dan diajak naik ke mobilnya.
Saat itu kakak laki-laki saya galak sekali dan memang pernah dikasi tahu
Dwagungnya. “kan sudah ada satu, kenapa banyak-banyak Ratu, cukup hanya adik
saya itu saja satu.”
Saat itu langsung melaksanakan upacara pernikahan saat
itu?
Belum. Saat itu saya diajak bersembunyi, dan dibawa ke
Lombok saya, biar saya tidak dicari sama kakak saya.
Kakaknya galak ya?
Ya galak.
Siapa nama kakaknya?
Kaler.
Jadi Polisi?
Bukan jadi polisi, hanya orang biasa.
Lalu berani sama Anak Agungnya?
Kalau kakak saya itu memang berani sekali. Kakaknya saya
saja saat ngerangkat-nya (sistem
pernikahannya pakai sistem rangkat), diambil secara sembunyi-sembunyi waktu
itu. kakak (Blinya) saya itu memang galak sekali. Makanya Dwagungnya tidak
berani dan saya itu dibawa ke Lombok, biar tidak diketemukan sama kakaknya
saya, biar sepi dulu, setelah datang dari Lombok, baru dibikinkan ayaban (sesajen perkawinan)
Naik apa ke Lombok?
Beliau itu kan banyak kepunyaannya di Lombok, punya
sawah, tegalan. Memang banyak sekali kepunyaannya di sana, sawahnya saja 500
hektar di sana, di sini juga 500 hektar.
Berapa bulan lantas di Lombok?
Hanya sebentar, mungkin ada kira-kira selama 4 bulan. Kan
dicari lantas sama panji-panjinya, kemana-kamana sudah dicari, ke Bubunan dan
yang lainnya tapi tidak diketemukan. Setelah diketemukan lalu dibikinkan
banten.
Dibikinkan bantennya di Lombok gitu?
Bukan tapi di sini. Di sini kemudian baru dibikinkan ayaban.
Setelah menikah kan tidak boleh lagi menari jadinya?
Ya tidak boleh, memang tidak bisa ngapa-ngapain lagi,
pokoknya hanya di puri. Memang dikasi
keluar tapi saya memang tidak pernah kemana-mana.
Berarti kan memang hanya beliau satu-satunya laki-laki
yang dikenal, kalau sebelumnya kan tidak pernah pacaran jadinya?
Kalau calon istri, memang banyak para gadis yang
dipersembahkan, seperti misalnya, anak para Punggawa, Sedahan, kan punya anak
gadis, lalu dibawakan ke sana. Tapi malah saya yang jadi penari yang
dikejar-kejar dan saya juga tidak bisa apa-apa dan saya juga sanggat bodoh.
Sekolahnya hanya sampai kelas tiga saja, kan gitu jadinya?
Ya, sampai kelas tiga. Baru lantas sampai di Puri saya
itu belajar, jika ada kursus maka saya dah yang ikut, saya itu belajar biar
bisa juga.
Kalau Anak Agung Panjinya berapa punya saudara?
Lima orang, itu gambarnya.
Kalau yang ini siapa?
Anak Agung Gede Jelantik.
Adiknya beliau?
Ya, adiknya sekali (adik kandungnya).
Kalau yang ini?
Anak Agung Panji Tisna.
Kalau yang ini?
Anak Agung Gede Agung.
Ini juga adiknya?
Ya semua ini adiknya.
Kalau yang ini?
Anak Agung Ngurah
Parta.
Kalau yang ini siapa?
Kalau yang ini kan ayahnya.
Namanya siapa?
Anak Agung Jelantik.
Anak Agung Jelantik ini berapa punya istri?
Dua orang.
Namanya siapa?
Mekele Rengga.
Kalau Anak Agung Panji Tisna siapa ibunya?
Itu juga Mekele Rengga. Itu dah putranya kelima-limanya.
Darimana asalnya istri Anak Agung Jelantik?
Dari Delod Pasar.
Kalau nama aslinya?
Kalau namanya yang asli saya tidak tahu, setelah menikah
kan diganti namanya. Kalau yang ini lain ibunya, kan dua punya istri yang sah.
…….
Kalau Fotonya ini saat sudah menikah?
Sudah.
Sudah pindah agama?
Belum, saat itu belum lahir anak saya yang paling kecil.
Jro mekel menikah tahun berapa?
Tahun 1933.
Anaknya yang paling kecil menikah tahun berapa?
Tahun 1945. Saya menikah tahun 1933, bulan Januari dan
saya punya anak juga tahun 1933 bulan November.
Siapa nama anaknya Jro Mekel yang pertama?
Anak Agung Gede Gora. Karena ibunya orang Sudra, maka
pakai nama Gede. Kalau yang nomor dua biasa juga namanya Made. Jadinya namanya
Anak Agung Made Udayana. Yang nomor tiga, Anak Agung Ayu Seraya. Kalau yang
nomor empat Anak Agung Ayu Ketut, dan namanya saya sudah lupa karena sudah lama
meninggal. Yang nomor lima Anak Agung Ngurah Terdika, sekarang berada di
Amerika.
Kalau Agetis itu siapa?
Kalau itu kan lain ibunya.
Mekel juga itu?
Ya mekel juga.
Istri yang ke berapa itu punya?
Kalau itu kan ibunya tidak jelas statusnya, karena tidak
dinikahi secara sah. Tidak seperti saya, pakai pedanda. Dia kan mengadakan
perjanjian dengan Anak Agung Gede, saat itu masih kecil, makanya dipengadilan
kalah.
Apa yang menyebabkan ke Pengadilan?
Itu kan karena ibunya Agetis itu yang nakal sekali. Nah
anak tiri saya, Anak Agung Ngurah Ganteng kan laki-laki, punya tanah, tidak
minta ijin dijual tanahnya dia. Saat saya datang ke sana sudah ada lebelnya,
“ini bagaimana ini, kok dijual tanahnya orang.” “itu kan saya yang
disampingnya.” “lo kan tidak bisa begitu, kan orang lain yang punya kok kamu
malah mau menjualnya.” Itu dah makanya sampai menyebabkan terjadinya perkara
itu di pengadilan.
Lalu siapa yang menang perkaranya?
Ya saya. Itu kan karena saya sudah lama di puri. Kalau
dia kan orang baru yang masuk ke puri, setelah itu kan kalah jadinya dia dan
kalahnya karena ntidak ada saksi. Desa Suwuknya tidak mau menjadi saksi.
Dari Suwug juga?
Ya. Malah desa Suwuknya membela saya.
Ada hubungan apa dengan Jro Mekel?
Kalau dengan saya memang tidak ada hubungan apa-apa.
Penari juga ibunya Agetis?
Tidak.
Hanya Agetis saja anaknya satu?
Itu kan anak dari luar, saat datang ke puri itu masih
terikat perkawinan. Saat itu masih suaminya Semeca, saat itu belum cerai, lalu
datang ke sini mau jadi rabi (istri
raja), jadinya orang yang di Suwug kan tertawa jadinya.
Karena cantiknya diterima?
Tidak, karena masih muda, sebaya dengan anaknya saya.
Belum mengadakan upacara pernikahan ya?
Mesakapan-nya, bukan dengan Dwagung-nya tapi dengan Anak
Agung Gede yang tidak bisa melihat dan saat itu juga masih kecil.
Belum remaja?
Belum, saat itu kan hanya formalnya dan tidak ada yang
menjadi saksi waktu itu, hanya biar bisa jadi Mekel saat itu, makanya saat
dipengadilan dia itu bisa kalah, kan karena tidak ada yang menjadi saksi.
Berapa Hektar tanahnya itu?
Saat itu hanya satu sawah, itu yang menyebabkan. Itu
karena saya kasihan dengan Anak Agung Ngurah Ardipa, adiknya Anak Agung Ngurah
Ganteng, karena saya merasa kasihan kepada beliau, karena tidak punya tanah,
jadinya kan saya merasa terpanggil untuk mencari kebenaran. Semuanya di sini
ngomong, “mekele, mekele sudah tua bukannya akan menang, tapi hanya akan kalah,
mekele itu sudah tua, mau mengajukan perkara, pasti akan kalah.” Kalau saya kan
hanya merasa berkewajiban, karena saya merasa itu anak saya, meskipun anak tiri
karena saya juga yang mengasuh saat masih kecil, karena ditinggal menikah.
Karena saya itu sudah Kristen, saya itu kan tidak dikasi berperkara oleh anak
saya Anak Agung Ayu Sraya. Kalau seandainya saya tidak mengajukan perkara itu,
malah saya yang dikatakan sebagai gundik dan dia sendiri yang mengaku sebagai
istri yang sah. Saat itu saya kan tidak terlalu mempermasalah, apakah saya
kalah atau menang, sebab saya ini kan sudah tua dan akhirnya dia itu kalah
dalam pengadilan, karena tidak ada saksi. Saat itu kan Pak Mastra yang ikut
saat kejadian gereja-gerejanya di Sraya, saat itu belum menjadi gereja sah
karena tidak ada yang mengakui. Saat itu kan baru gereja rumah. Di situ dah
dipakai tempat melangsungkan pernikahan, pak Mastra yang menjadi saksi dan Pak
Mastra juga ikut. Saat itu dia dibilang menikah tapi saya sama sekali tidak
tahu (bersambung)
No comments:
Post a Comment