Pewawancara : Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Tempat Wawancara : Banjar Pasekan, Buduk, Badung
Tanggal :
6 Januari 2002
Transkriptor : Dewa Ayu Satriawati, Staf Admin Tsp
Korektor :
Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Pengantar
Saya diantarkan ke rumah Ketut Rada oleh
Nyoman Bukel, asal Banjar Balangan, Desa Sembung, Mengwi yang masih merupakan
salah satu cucu Pan Loting, anak dari seorang keponakannya (Made Jerug). Dia
sering ikut memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan kepada
Ketut Rada. Sama dengan Nyoman Bukel, Ketut Rada masih satu paibon (tempat pemujaan leluhur dari
keluarga yang masih jelas pertalian kekerabatannya dengan Pan Loting. Pan
Loting (nama aslinya Made Gepek) adalah seorang dukun sakti masuk ke agama Kristen karena ingin melihat
Tuhan secara kasat mata. Dan disebut-sebut pernah dikalahkan oleh Tsang To Hang
(zending) yang penyebarkan agama Kristen di Bali tahun 1930-an. Supaya lebih
jelas, silakan file “Kesabaran Orang-Orang Kristen Itu Membuat Saya Tertarik”
dan “Meskipun Secara Kristen Saya Ucapkan tetapi dalam Hati Saya Lain.”
Dalam perjalanan menuju
ke rumah Ketut Rada, saya sempat bercakap-cakap dengan Nyoman Bukel sebagai
berikut:
Dapat surat edaran saja untuk menonoton, perang api mebarungan di kuburan
Penarungan. Dapat surat edaran gitu?
Ya edaran
langsung.
Dikasi tahu
semuanya gitu?
Ya, pokoknya
siapa yang mau menonton leak bertarung di kuburan Penarungannya.
Kalau Pak De tidak sakit, mungkin bapak juga ikut
kan gitu?
Bisa juga
menonton. Leak Badung melawan Leak Penebel. Kakeknya karena tahu dengan dirinya
sakti kan ikut jadinya, dan memang ada aturan begitu.
Badung melawan
Penebel gitu?
Ya.
Kakeknya kan
kalah di situ jadinya?
Ya.
Karena sudah
saking tuanya?
Ya, karena
umurnya juga sudah 100 an. “nah biar nyen bapa kalah, bapa anak tusing
mekaengan, suba satus bapa ngelah becundang, jani mula ya bapa dadi bukur,
kaplokina ngajak garudane,” (biar bapak kalah, bapak tidak menyesal karena
sudah 100 bapak punya pecundang, sekarang memang bapak jadi bukur dan
dikalahkan sama garudanya). Lalu datang lantas kakeknya pagi-pagi buta, lalu
dilihat sama lalu dilihat sama Guru
Ceteb, “teka uli dija busan?” (datang darimana tadi).
Guru Ceteb?
Ya.
Darimana guru
Ceteb ini?
Dari Buduk,
disebelah rumahnya Ketut Rada
“aduh bapa kalah jani, bapa anak tusing nyidang jani metempo, bapa mesiat mara
di seman Penarungane, bapa dadi bukur kalahange baan garudane.” (aduh! Bapak
sekarang sudah kalah, Bapak sekarang tidak bisa bertahan, bapak tadi bertarung
di kuburan Penarungannya, bapak menjadi Bukur dan dikalahkan oleh Garuda).
Katanya dia itu datang kebasahan. Memang lagi tiga harinya disambung.
Mengaku dia
kalah?
Ya memang
mengaku. Datang dia pagi-pagi buta, dan basah kuyup kena embun (damuh).
Kalau
orang-orang yang di sini, apa ada yang m pernah menonton?
Tidak, hanya
orang-orang Buduk, dan Pan Gede dapat menonton. Nanti Pan Gede Candra, ajak
wawancara baru dia tahu. Memang kakeknya selalu bilang jika akan bertarung.
“delokinnya yan kak mesiat apang tawang kalah menangne” (lihat nanti kalau kakek
lagi bertarung, biar kamu tahu menang dan kalahnya). Memang kalau dulu itu kan
biasa mengadakan pertarungan dan siapa yang sakti maka dia yang akan menang dan
itu sama halnya dengan bermain Tinju.
Kalau tempat
orang mengadu kesaktian jaman dulu itu memang di Kuburan Penarungan ya Pak?
Ya
memang di Kuburan Penarungannya.
Seram sekali
kuburannya itu ya?
Ya.
Katanya sudah
Kristen tapi kok masih dia mengadu leak ya?
Kalau
pelajarannya kemana larinya, kan sudah masuk ke raganya.
Meskipun
agamanya berlainan kan gitu jadinya?
Ya. Kalau
pelajarannya (ilmunya) kan tidak bisa dilepas.
Katanya keponakan
Bapak, Made Suarda, kakeknya pernah bilang: “de ba milu pindah agama.” (jangan
dah ikut Pindah agama), artinya dia itu pernah mendengar?
Kalau Kakek
Loting kan sudah lebih dulu, dia sudah lebih dulu mengambil pekerjaan itu,
kalau memang bagus agar bisa semua orang-orang didorong untuk itu. lalu karena
tidak cocok, karena sama-sama tidak menemukan apa-apa. Kalau kakeknya memang
sudah andal dengan dirinya, dan berani dia ke sana.
Kan tidak masuk
akal.................?
Entah apa yang
tidak dilihatnya lagi, semua makhluk siluman seperti kambing, anjing besar, monyet
ekornya panjang, api sudah dilihatnya.
Kan tidak ada
lampu saat itu?
Ya memang tidak
ada lampu.
Kan begitu
semua orang?
Ya.
Bagaimana itu?
Kalau orang metotoran (memunggal atau menebang),
misalnya menebang kelapa, di sana kita terjun, karena tanah garu itu, maka
manusiannya bisa jatuh.
Disebarkan
dengan air kencing gitu?
Ya, karena air
kencing itu kan meranen (ampuh) juga.
(Akhirnya saya sampai
di rumah Ketut Raa dan langsung bercakap-capap dengannya)
Kalau tunggal paibon itu bagaimana artinya?
Kalau itu artinya kita itu satu pura Ibu.
Kalau memanggil Pan Loting dulu dengan
sebutan apa?
Kalau saya memanggil beliau itu dengan
sebutan pekak (kakek). Kalau maksudnya Bapak menanyakan riwayat kakeknya ini
saat meninggalnya.?
Ya..benar...kalau riwayat saat
meninggalnya boleh dan kalau yang lengkap juga boleh. Kalau memang hanya tahu
sedikit juga bisa? Apa Bapak pernah mendengar, apa yang menyebabkan Pan Loting
dulu berganti agama?
Kalau ini saya dari mendengar cerita,
kalau dari pengetahuan saya sendiri, dengan analisa saya sendiri karena umur
saya masih kecil, kalau jelas ya memang jelas, tapi kalau saya bilang kurang
jelas itu kan karena saya tidak pernah memantau dari permulaan.
Kalau dari cerita, bagaimana cerita yang
pernah Bapak dengar?
Kalau bagaimana dia pindah agama itu,
kalau dari ceritanya kakek, kalau itu secara lisan, dan ini tidak dicatat. Kakek itu artinya orangnya di Buduk, kalau dia
di sana itu termasuk orang yang berpengaruh (ditakuti) dan dia itu juga
termasuk orang yang bisa membuat aksara dengan tulisan Bali itu, yang bisa maurip-urip (perhitungan nilai hari)
karena memang agama Hindu itu dipelajari.
Nanti dulu, aksara maurip gitu?
Ya, beliau itu kan tahu membikin rerajahan (gambar-gambar mistis),
mematikan dan menghidupkan aksara.
Membuat orang sakit beliau itu tahu dan membuat orang sembuh beliau itu juga
tahu. Kalau itu beliau itu masih menyelami dalam keadaan agama Hindu saat itu.
Jadi kalau orang-orang yang di Buduk itu merasa sangat segan dengan beliau dan
kadang-kadang mereka itu juga takut.
Nyeh (takut) kalau ala
Balinya ya?
Ya. Jadi karena beliau itu sudah merasa
mampu menghidupkan dan mematikan sesuatu, dan merupakan sesuatu hal yang ajaib
kan gitu jadinya, beliau itu kan merasa kekurangan, misalnya dari agama itu
kita itu tidak bisa melihat wujud Tuhan itu seperti apa. Pokoknya bagaimana
bentuknya beliau itu sama sekali tidak tahu, saat dia menjadi agama Hindu,
meskipun ilmunya sudah tinggi. Bagaimana pun caranya beliau itu memanggil Tuhan
iu sama sekali tidak tampak wujudnya. Lalu karena ada pengaruh dari luar,
karena lama kelamaan jaman juga sudah semakin memanas, karena desakan-desakan
dan gesekan itu, jadinya kakek ingin merubah agamanya. Darisana beliau itu
mungkin bisa melihat Tuhan yang sebenarnya.
Dari pancaindranya kan gitu?
Ya. Dan itu memang keinginannya Kakek
Loting itu. Dan setelah dia merubah agamanya, yaitu agama Katolik.
Nah sebentar dulu, kalau ceritanya ini Bapak
pernah mendengar langsung dari Kakek Loting atau hanya cerita saja?
Kalau ini saya mendengar cerita dari
orangtua saya. Dan saya juga lupa apa pernah kakek itu cerita sama saya, karena
saya juga sering bergaul dengan dia waktu kecil itu. beliau itu memang senang
dengan anak-anak kecil, kok bisa saya cerita seperti itu.
Itu dah yang dingat-ingat?
Mungkin bisa beliau memberikan petuah yang
seperti itu, karena orang lain belum pernah memberikan cerita begitu.
Pernah jadinya mendengar dari beliau tapi
sudah lupa kapan diberikan begitu ya?
Mungkin karena begitu, tapi kalau saya
analisa mungkin kakek itu berubah agama, dan pernah beliau bercerita dengan kakek
yang di Banjar Balangan (ayah dari Nyoman Bukel). “Kak e ento anak bingung, ulihan
tusing taen nepukin widhi sekala, cara apa Widhine ento. Makane Kak ento kene
nyatua kangin kauh, mekeneh Kak nepukin Widhi sekala, kak tusing nyidang.
dadine makeneh kak to ngerubah agama” (kakek
itu sedang bingung, karena kakek tidak pernah melihat Tuhan itu secara nyata,
seperti apa Tuhan itu. Makanya kakek seperti ini ngomong tidak karuan-karuan,
kan berkeinginan biar bisa melihat Tuhan secara nyata, makanya kakek itu mau
merubah agama). Begitu dia bilang sama kakek yang di Banjar Balangan.
Biar bisa melihat Tuhan, kan gitu jadinya?
Ya, siapa tahu nanti bisa melihat Tuhan
secara nyata. Lalu karena bentuk atau wujud Tuhan tidak bisa dilihat dari agama
mana pun juga, akhirnya dia itu kan bingung, lalu dia itu kembali ke Hindu,
setengah lagi ke Kristen dan lagi ke Hindu.
Berarti kan mendua dah jadinya?
Ya.
Nah setelah di Kristen itu, dia itu kan
mendua jadinya dan dia itu kan masih mengobati jadinya?
Ya.
Pernah dapat berobat ke sana?
Kalau saya saat itu memang sehat walafiat,
Kalau kakak, ibu, atau saudara yang lain
apa pernah dia berobat ke sana?
Kalau itu juga tidak.
Pernah menyaksikan beliau itu mengobati
orang?
Kalau menyaksikan beliau mengobati orang
itu saya pernah.
Bagaimana caranya beliau mengobati?
Caranya beliau mengobati secara langsung
itu, kalau saya lihat dengan diberikan dengan mantra.
Padahal dia sudah Kristen ya?
Kalau pada waktu itu belum dia Kristen. Kalau
dia itu menyembuhkan orang itu dengan mantra, dan bikin ramuan tapi ramuannya
itu sangat rahasia dia pak.
Kan beliau itu masuk Kristen itu kan saat
tahun tidak enak atau sekitar tahun 1930?
Kalau dia masuk Kristen, masuknya Kristen
ke Bali.
Kan dia paling dulu jadinya?
Bukan begitu, kalau masuknya Kristen ke
Bali itu kan sekitar tahun 1930an, tapi bukannya masuk Kristen ke Bali
pertamakali itu dia terjerumus itu tidak begitu, dia itu masih dalam keadaan
Hindu. Lalu di Bali katanya ada agama
lain...., lalu dia itu kan kena pengaruh, kalau dia itu masuk Kristen kan
sekitar tahun 1960-an.
Nyoman
Bukel ikut menambahkan: “kalau saya
lihat tahun 1963 itu dia masih Hindu, kalau iu mungkin sekitar habis Gestok
yaitu tahun 1965-1966 itu. Ya sekitar itu lah,
katakanlah 1965. karena di Buduk, pada waktu itu kan dalam keadaan kiris,
rakyat tidak bisa membiayai hidupnya, dan dari macam-macam unsur lain yang
mendesak itu, mungkin ke sana pengaruhnya, saya kan kurang tahu. karena yang
saya tahu kakek itu pindah tanpa sepengetahuan siapapun.
Berarti saat Bapak masih kecil, itu tidak
pernah melihat beliau ke gereja kan gitu jadinya?
Kalau ke gereja saya memang tidak pernah
melihatnya.
Padahal gereja itu kan dekat di sini?
Ya.
Gereja dimana ini?
Kalau gereja belum ada saat itu.
Belum ada gereja di Buduk?
Belum, yang ada hanya di Tuga saja.
Kapan kalau begitu ada gereja di sini?
Kalau gereja itu di Buduk, kan baru-baru.
Kalau gereja yang ini berdirinya sekitar tahun 1970an.
Jadi dulu di sini tidak ada gereja gitu?
Ya.
Jadi beliau itu tetap mengobati gitu?
Ya, karena kakek itu bingung, seperti
cerita tadi, sekarang saya lanjutkan ceritanya, karena dari agama itu dia kan
sudah masuk agama Kristen, di sana juga tidak pernah melihat wujud Tuhan yang
sebenarnya, entah bagaimana perasaan beliau itu, kembali lagi beliau itu ke
Hindu tapi ke sana lagi gitu. Karena beliau itu sangat disegani oleh masyarakat
yang di sini, pada waktu itu orang membuat sesajen (banten pangrorasan), beliau
itu ikut ......, berarti itu kan nyata lagi Hindu dan dimana pun beliau itu
tidak mencelakan satu dengan yang lain. Kalau Hindu dengan Kristen itu tidak
dicelakan oleh beliau. Karena yang beliau inginkan itu melihat Tuhan dari agama
mana saja dan beliau itu memang tidak mau mengadu domba satu dengan yang
lainnya. Dia itu hanya berpikir, dari agama mana dia itu bisa melihat Tuhan,
hanya itu saja yang menjadi kemauannya beliau itu. karena dari yang ini tidak
dan yang itu juga tidak, akhirnya beliau itu kan bingung jadinya.
Kalau orang Kristen, kesini juga mencari
beliau kemana?
Kerumahnya. Kalau itu anaknya yang
Kristen, bahkan sampai sekarang dia itu tetap Kristen.
Siapa saja nama anaknya?
Kalau anaknya itu kan sudah meninggal saat
Gestok. Mungkin juga kakek itu kena pengaruh, karena satu-satunya anaknya (buah
hatinya) I Made Bacol ini.
Kalau Luh Loting itu siapa?
Kalau itu anaknya yang perempuan dan dia
sudah menikah keluar. Kalau itu masih?
Rasa-rasanya masih itu. itu mungkin karena
anak yang paling disayangi ini kena G 30 S
/PKI, itu yang menyebabkan beliau itu
bingung, mungkin begitu, karena beliau itu memeluk agama Kristen itu kan habis
G 30 S/PKI. Katakanlah aktifnya. Dan itu kakek kan bingung, saya itu kan tidak
berani menebak, apa karena batinnya kena musibah, beliau itu ingin melihat
bagaimana sebenarnya.
Anaknya kena garis (korban pembantaian) gitu?
Ya.
Kan tokoh PKI berarti?
Kalau dibilang tokoh PKI tidak begitu
aktif, mungkin juga ada sentimen pribadi yang dari luar mungkin, sehingga dia
itu kena.
Dimana dia dibantai?
Di kuburan sini.
Anak laki-laki satu-satunya?
Ya memang satu-satunya.
Sudah menikah atau belum?
Sudah dan dia itu sudah punya cucu.
Kalau cucunya sekarang ada?
Kalau itu ada. Kalau memang perlu nanti
bisa saya hubungi.
Sudah dewasa cucunya?
Sudah semua menikah dan dia itu sudah
punya buyut. Kalau cucu-cucunya itu semuanya sudah sukses-sukses.
Kalau saat dia meninggal, kata kakaknya
ini. Tanyakan katanya Bapak itu kan
pernah dapat undangan menonton pertarungan Leak di kuburan Penarungannya?
Kalau cerita itu memang banyak yang
dipanjang-panjangkan, kalau menonton leak
bertarung (adu kesaktian) di Kuburan Penarungan-nya, kalau saya itu tidak
melihat kakek ini dan itu, saya sama sekali tidak melihat kaknya itu ini dan
itu. Hanya saja ceritanya, kakek saya bilang, ada yang melihatnya di jalan,
waktu pagi hari mungkin teman-teman yang dekat dengan dia itu, dia menceritakan
itu dan cerita itu disambung-sambung, katanya kalau kakek itu kalah bertarung.
Kalau begitu kan tidak riil itu ya?
Ya, kalau dengan kenyataan, mata kepala
saya ini memang saya sama sekali tidak pernah melihat.
Kalau Bapak memang pernah melihat kakek ke
Penarungan?
Kalau saya tidak pernah melihat itu.
Kalau yang dapat lihat siapa waktu itu?
Kalau itu saya kurang tahu. Kalau pada
waktu itu, saya pernah dengar ada perang tanding leak di Penarungan, kalau kakek yang di sini itu (Pan Loting) saya tidak pernah melihat kalau
dia itu turut ke sana, saya memang tidak pernah dengar itu, dan saya sangka
beliau itu tidak turun (tidak ikut bertarung).
Tapi benar akhirnya kalau dia itu
meninggal?
Dia itu bilang, “kakek menang?” “menang
musuhnya.” Begitu katanya dia. Lalu dia pulang dan sampai di rumah dia itu
bingung, mungkin karena perjanjian dan memang tidak bisa dipungkiri, akhirnya
mulai disanalah kakek itu bingung dan akhirnya dia itu meninggal. Kalau saya
mengira itu kita bisa lihat dari sekala
(nyata)-nya kita itu bisa lihat dia bertarung secara nyata atau bagaimana dia
bertarung seperti petinju itu tidak bisa kita lihat seperti itu.
Berarti kan hanya suara (isyu) saja
begitu?
Ya hanya katanya saja begitu. tapi kalau
saya mengetahui kakek itu memang betul-betul dia itu bisa.... Kalau dia itu
mengobati orang sakit bisa dia dan kalau mau kakek itu mebuat orang sakit dia
juga bisa.
Apa Bapak pernah mendengar
keajaiban-keajaiban yang pernah dilakukan sama kaknya?
Kalau yang saya kagumi, pada waktu dia itu
mau mengobati orang, dan yang membuat saya kaget, dia itu banyak punya murid di
Bukit Kutuh.
Dimana itu?
Di
daerah naik, di daerah Bukit (Jimbaran)
dah kira-kira itu. Kalau misalnya saat musim, juwet (Syzygium cumini),
waluh (labu) dan kedelai itu, maka rumahnya itu penuh dengan itu, dan memang
banyak sekali dibawakan itu.
Bagaimana maksudnya membawakan itu?
Kalau itu saya kan kurang tahu dan setelah
saya tanya-tanya sama orangtua dan saat itu masih ibunya saya, “anak pekak caine ngelah nyama di
Bukit, murid-muridne kak e.” (itu orang
kakeknya kamu punya saudara di Bukit, dan itu adalah murid-muridnya). Begitu
katanya. Karena saya itu masih kecil, saya kan tidak begitu memperhatikan tapi
saya itu kan ingat. Karena lama-lama setelah dewasa, ingin, “kok kakek punya
saudara di Bukit, kok punya murid di Badung, kok punya kakeknya murid di sini
dan di situ, dari barat sampai timur?” Hampir setiap hari beliau itu didatangi
tamu, pada waktu beliau itu senang mengobati orang. Kalau secara nyata, saya
tidak pernah melihat beliau itu berubah wujud atau bagaimana.
Tapi kan pernah bertanya, bagaimana dia
itu bisa sakti?
Kalau itu rahasianya tidak pernah dibuka.
Artinya Bapak itu pernah bertanya?
Memang saya sering bertanya. “kak dadi kak
bisa keto?” (kakek kenapa kakek bisa begitu?) “ah cening enu cenik, sing dadi
metakon keto.” (ah anak masih kecil, tidak boleh anak bertanya begitu).
Hanya segitu saja ceritanya?
Ya hanya segitu saja. “nguda sing dadi
kak?” (kenapa tidak boleh kak?) “ah yen suba kelih mara dadi.” (ah kalau sudah
besar baru boleh.). Kalau saya memang sering kurang ajar dulu sama kakek itu.
Bagaimana biasanya?
Kalau dulu jalan yang diutara ini, kan
belum begini bersihnya, lalu dia kan ke sudut, “kak ngalih apa ke bucu kak?”
(kakek nyari apa ke sudut?) “kak ngaukin myaman kak e” (kakek memanggil saudaranya
kakek).
Apa maksudnya itu?
Kalau itu dah yang tidak saya mengerti,
karena saya itu kan tidak mempelajarinya.
Membawa dia kurungan ayam gitu?
Ya, membawa kurungan ayam dan ada coblong
(mangkuk kecil yang terbuat dari tanah liat) nya yang berisi api. Lalu itu
ditutup dengan kurungan ayam. Lalu dia bersiul dari jauh gitu. Katanya memang
saudara-saudaranya yang datang dan dilihat seperti kunang-kunang tapi kalau
saya itu sama sekali tidak melihat apa-apa.
Kalau Bapak memang tidak takut dengan dia?
Kalau saya
memang tidak merasa takut dengan dia, sama sekali saya tidak merasa takut.
Mungkin karena saya bersaudara.
Jadi karena bersaudaranya ya?
Ya.
Kalau yang lain tidak berani dekat dengan
dia?
Kalau orang lain, entah bagaimana, saya
kurang tahu. Begitu saya sudah dewasa,
beliau itu sudah meninggal, jadinya antara sentuhan batin yang ingin mengerti
pengetahuan kakek itu, jadinya kan sudah putus hubungannya.
Nah kalau murid beliau yang di sini siapa?
Kalau yang di sini tidak ada yang masih,
kalau yang masih hanya yang diluar saja.
Kalau yang di sini habis?
Kalau yang di sini habis.
Kalau sekarang coba, carikan muridnya saya
satu, yang pernah belajar langsung dengan beliau?
Bapa Rengkug. Saya ingat-ingat dulu, kalau
kakek itu punya murid banyak sekali, kadang-kadang, kuncinya dia itu,
sebagaimana pun akrabnya seseorang kunci (rahasia) nya dia itu sama sekali
tidak dibuka, karena kunci itu merupakan jiwanya.
Kalau Gusti Putu Sanur itu siapa?
Kalau itu sudah tidak ada, dia itu rumahnya
di selatan dibawah pohon Bengkel-nya.
Kalau kakek pernah mendengar tentang
beliau?
Kalau itu saya tidak pernah mendengar.
Kalau yang saya tahu hanya kakek Loting ini, karena saya dengan dia masih ada
hubungan saudara.
Kalau sanggah (kuil keluarga)-nya Kakek
Loting itu dibongkar?
Ini dan pura ibunya, kalau sanggah-nya tidak masih sekarang.
Tidak masih dia punya sanggah?
Tidak.
Dibongkar sanggah-nya?
Ya.
Yang tidak dibongkar paibon-nya gitu?
Ya, ini juga kalau tidak karena saya dan
orangtuanya saya kakek di Banjar Balangan, maka pura ibunya ini pasti sudah
dibongkar.
Siapa yang membongkar?
Ya Kakek Lonting-nya. Penyengker (tembok) pelinggih
(altar pemujaan) atau pura-nya itu sudah mulai dibuka-buka, oleh kakek, karena
kakek kan sudah lain agama.
Lalu siapa yang tidak memberikan?
Karena dari luar penyungsung (penjujung) nya itu banyak, lalu kan tidak diberikan
jadinya. Akhirnya mungkin orang yang dari luar merasa kesakitan, maka akhirnya
ini diperkuat. Saya juga kesakitan, bahkan saya itu hampir mati di sini.
Jadi waktu tahun 1965 ini dibongkar gitu?
Tidak, sebelum tahun 1965. sekitar tahun
1950 keatas itu. saat itu kan pura-nya tidak begitu dirawat, kan hancur jadinya.
Kalau seandainya beliau itu kuat kan tidak dikasi membongkar sanggah-nya,
karena mungkin beliau itu sudah tidak kuat ...
.
Kan setelah anaknya meninggal berarti ya?
Ya. Pura itu keadaannya terbengkelai,
semasih ada anaknya dan anaknya semasih dia itu hidup, dia sudah memeluk agama
lain, dan anaknya itu rasanya duluan beragama Kristen.
Berarti kalau yang membongkar sanggah itu
anaknya?
Artinya, biar tidak salah paham, beliau
itu dengan perjanjian begini, itu hasil rapat Bapaknya saya yang di Banjar Balangan
dengan kakeknya dan orangtua-orangtua saya yang patut, “karena pekak sekarang
beragama Kristen, ada waris purane merupa tanah karang dengan tanah carik,
karange bapa dadi ngenehang, dadine carike lakar serahang ke Paibuan” (karena
kakek sekarang sudah beragama Kristen, ada warisan berupa tanah pekarangan
rumah dan tanah sawah, sekarang tanah karang perumahannya kakek yang menjaga
(memegang) sedangkan ada tanah sawah itu akan kakek serahkan kepada Paibon-nya),
begitu bunyi perjanjiannya.
Dimana rapatnya, di Balangan atau di sini?
Nyoman Bukel menjawab” “Kalau tidak salah rasanya di
rumah di Banjar Balangan. Kalau tempatnya saat ini memang belum bisa saya
pastikan. Kalau yang ini saya dengar dari ayah saya (namanya I Jerug, keponakan Pan
Loting) yang di Balangan.
Jadi yang cerita-cerita itu kakeknya yang
di Balangan gitu?
Ya.
Mencerikan kalau beliau itu berdamai
dengan Kakek Loting begitu?
Ya. “nah jadi karang bapa ane ngelahang,
carik serahang bapa ke Ibu.” (tanah pekarangan rumah saya yang punya, sedangkan
sawahnya akan diserahkan ke pura paibon)
Itu kan kata Kakek Loting itu?
Ya. Karena serah terima dan memang sudah
sepakat, dan antara yang satu dengan yang lain tidak merasa keberatan, karena
Kakek Loting itu merasa karang (tanah pekarangan)-nya sudah merupakan haknya,
jadinya pura itu kan sudah tidak dihiraukan lagi jadinya, itulah salahnya. Jadi
kalau saya bilang dia itu merusak, kan salah juga saya.
Tidak dihiraukan berarti ya?
Ya tidak dihiraukan dan tidak difungsikan.
Jadinya kan begini, karena pemaksan pura itu banyak dari luar, akhirnya pura
itu dipugar dan mau diperluas, tidak dikasi.
Oleh siapa, yang mau memperluas?
Oleh pemaksan pura yang dari Banjar Balangan,
pokoknya pura itu terbuka hanya untuk orang Balangan saja.
Siapa saja yang memakai paibon di sini?
Orang-orang dari Banjar Gulingan,
Balangan, Soko, Antasari, Pedungan, Tanguntiti, Bukit, dan Plaga.
Kalau Carangsari ada?
Ya dari daerah itu dah ke utara ada.
Kalau dari Anggungan, Carangsari?
Ya dari Anggungan ada. Kalau yang dari
Seseh juga ada.
Kalau yang dari Tumbak Bayuh ada?
Tidak. Pedungan ada, Pagan ada.
Lalu semuanya ini ikut rapat?
Nyoman Bukel
menjawab: “Tidak, yang saya ajak memaksan
(orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang diajak bertanggungjawab
atas keberadan suatu pura) ini, yang memutuskan cerita ini, yang berfungsi
dalam cerita ini, pamannya saya yang di Soko (Mangku Puseh di Soko), dengan
ayah saya yang di Balangan.”
Hanya dua saja berarti?
Nyoman
Bukel menjawab: “Ya hanya itu yang berfungsi.”
Yang rapat dengan Kak Loting kan gitu
jadinya?
Nyoman
Bukel menjawab: “Ya.”
Akhirnya beliau itu mengalah jadinya?
Nyoman
Bukel menjawab: “Ya karena kesepakatan begitu, kan gitu jadinya, karena merasa
karangnya itu hak beliau jadi boleh tidak difungsikan lagi, jadinya kan timbul
perdebatan di sana. Masalah antara Kakek Loting dengan ayahnya saya.
Bagaimana isi perdebatannya itu?
Nyoman Bukel
menjawab: “Bagaimana ya, kalau ayah saya menantang pernah waktu itu.”
Kesaktian?
Nyoman
Bukel menjawab: “Bukan, ayahnya saya kan tahu kalau dirina itu tidak memakai
apa-apa (tidak memiliki ilmu kesatian), kalau Kakek Loting tahu kalau dirinya sakti. “cai nantang ka,
awak cai mara ibi, pupuk cekuh tonden empet, kenken keneh caine.” (kamu
menantang aku, masih pakai popok, apa keinginan kamu)
Oh kakeknya yang di sini bilang gitu?
Nyoman Bukel menjawab: “Ya. Kejadian ini pada waktu
ada acara di Soko, artinya sampai ada undangan, kan karena sama-sama malu
dengan orang yang disekitar (saudara), lalu kan mengadakan pertemuan. ‘nah anak mula panak ngidih
penyupatan teken rerama, dija buin ngalih suarga, dija tusing lakar ada buin’ (ya
memang anak yang meminta peleburan dosa kepada orangtuanya, di mana lagi
mencari sorga, di mana pun tidak akan ada lagi), begitu
kata ayah saya.”
Di Soko ya?
Nyoman
Bukel menjawab: “Kalau saya kan tinggal di Banjar Balangan dan kejadiannya itu
di Soko. “yen suba keto edengina conto teken reramene, yan suba karuan elung,
tusing ja lakar tuut, anak ane beneh lakar gae tiange.” (kalau memang seperti
yang diberikan contoh oleh orang tua, kalau memang benar-benar patah
[menyakitkan], tentu tak perlu diikuti, jalan yang benar yang akan saya
lakukan). Begitu kata ayah saya di Balangan, mungkin karena orangtua dan merasa
diri salah, bahwa dia itu merasa sudah pintar, bisa menghidupkan dan mematikan
orang, dan anaknya yang bisa mengatakan kalau dia itu menunjukkan contoh yang
tidak baik, dan itu mungkin sendiri dikoreksi, dan di sana baru lantas Kekek
Loting-nya meminta maaf, sama ayah saya yang di Balangan.”
Bagaimana dia minta maaf?
Nyoman Bukel
menjawab: “Kalau yang ini cerita ayahnya saya ya.
Ya ceritakan dah sedikit?
Nyoman
Bukel menjawab “Ya, nah kadung pelih
nyen baan tiang teken panak, lan teken nyaman tian ajak onyangan, da nyen ento
lantangange, bapa anak tusing nyen ada keneh kene keto, nah anak suba kadung
pejalan bapane pelih, da nyen ane sengkok tuutanga, anak to ulihan bapa
bingung, bingungne ulihan bapa tusing nepukin widhi sekala.” ( nah memang sudah terlanjur salah saya dengan anak, dan
saudara-saudara semuanya, jangan itu dipanjangkan lagi, kalau saya memang tidak
ada keinginan ini dan itu, nah karena memang sudah karena jalannya saya yang
salah, jangan yang bengkok itu yang diikuti, itu karena saya itu merasa
bingung, bingungnya itu karena saya sama sekali tidak pernah melihat Tuhan
secara nyata). Begitu ceritanya, dan saya menceritakannya tidak berarturan.
Jadi dia itu merasa dengan dirinya salah.”
Jadi itu karena ditantang itu kan gitu
jadinya?
Nyoman
Bukel menjawab: Ya. Lantas Kakek Loting sama sekali lantas tidak berani dengan ayah
saya di Balangan. Mungkin karena dia berpikir, “kok berani orang kecil melawan,
kan gitu jadinya?” Ya. jadinya dia kan merasa karena dirinya salah, makanya dia
dilawan kan gitu jadinya. Kalau dari segi kesaktian, Bapak saya itu memang sama
sekali tidak punya kesaktian apa-apa, tapi omongannya memang benar, dan karena
dia itu jujur. Kalau memang sudah benar, bagaimanapun pasti akan dilawan,
biarpun dia itu orangtua. Sampai lantas kakeknya yang dia gitukan, dan sampai
akhirnya dia itu merasa bersalah, lalu dia itu minta maaf kepada anaknya. Setelah
itu baru lantas puranya di pugar tapi tidak dikasi keselatan lagi. karena sudah
sah artinya karang pura dan karangnya dia diserahkan dan sawah sudah menjadi
milik pura ibu (paibon) (bersambung)
No comments:
Post a Comment