Monday, April 25, 2016

Katanya, Karena Saya Sama Sekali Tidak Pernah Melihat Tuhan Secara Nyata

Nama Informan                      : Ketut Rada (50 tahun)  (1)
Pewawancara                         : Nyoman Wijaya, Ketua TSP
Tempat Wawancara               : Banjar Pasekan, Buduk, Badung
Tanggal                                   : 6 Januari 2002
Transkriptor                            : Dewa Ayu Satriawati, Staf Admin Tsp
Korektor                                  : Nyoman Wijaya, Ketua TSP


Pengantar
Saya diantarkan ke rumah Ketut Rada oleh Nyoman Bukel, asal Banjar Balangan, Desa Sembung, Mengwi yang masih merupakan salah satu cucu Pan Loting, anak dari seorang keponakannya (Made Jerug). Dia sering ikut memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan kepada Ketut Rada. Sama dengan Nyoman Bukel, Ketut Rada masih satu paibon (tempat pemujaan leluhur dari keluarga yang masih jelas pertalian kekerabatannya dengan Pan Loting. Pan Loting  (nama aslinya Made Gepek) adalah  seorang dukun sakti  masuk ke agama Kristen karena ingin melihat Tuhan secara kasat mata. Dan disebut-sebut pernah dikalahkan oleh Tsang To Hang (zending) yang penyebarkan agama Kristen di Bali tahun 1930-an. Supaya lebih jelas, silakan file “Kesabaran Orang-Orang Kristen Itu Membuat Saya Tertarik” dan “Meskipun Secara Kristen Saya Ucapkan tetapi dalam Hati Saya Lain.
            Dalam perjalanan menuju ke rumah Ketut Rada, saya sempat bercakap-cakap dengan Nyoman Bukel sebagai berikut:

Dapat surat edaran saja untuk menonoton, perang api  mebarungan di kuburan Penarungan. Dapat surat edaran gitu?
Ya edaran langsung.


Dikasi tahu semuanya gitu?
Ya, pokoknya siapa yang mau menonton leak bertarung di kuburan Penarungannya.

Kalau  Pak De tidak sakit, mungkin bapak juga ikut kan gitu?
Bisa juga menonton. Leak Badung melawan Leak Penebel. Kakeknya karena tahu dengan dirinya sakti kan ikut jadinya, dan memang ada aturan begitu.

Badung melawan Penebel gitu?
Ya.

Kakeknya kan kalah di situ jadinya?
Ya.

Karena sudah saking tuanya?
Ya, karena umurnya juga sudah 100 an. “nah biar nyen bapa kalah, bapa anak tusing mekaengan, suba satus bapa ngelah becundang, jani mula ya bapa dadi bukur, kaplokina ngajak garudane,” (biar bapak kalah, bapak tidak menyesal karena sudah 100 bapak punya pecundang, sekarang memang bapak jadi bukur dan dikalahkan sama garudanya). Lalu datang lantas kakeknya pagi-pagi buta, lalu dilihat sama lalu dilihat sama Guru Ceteb, “teka uli dija busan?” (datang darimana tadi).   

Guru Ceteb?
Ya.
Darimana guru Ceteb ini?

Dari Buduk, disebelah rumahnya Ketut Rada “aduh bapa kalah jani, bapa anak tusing nyidang jani metempo, bapa mesiat mara di seman Penarungane, bapa dadi bukur kalahange baan garudane.” (aduh! Bapak sekarang sudah kalah, Bapak sekarang tidak bisa bertahan, bapak tadi bertarung di kuburan Penarungannya, bapak menjadi Bukur dan dikalahkan oleh Garuda). Katanya dia itu datang kebasahan. Memang lagi tiga harinya disambung.

Mengaku dia kalah?
Ya memang mengaku. Datang dia pagi-pagi buta, dan basah kuyup kena embun (damuh).

Kalau orang-orang yang di sini, apa ada yang m pernah menonton?
Tidak, hanya orang-orang Buduk, dan Pan Gede dapat menonton. Nanti Pan Gede Candra, ajak wawancara baru dia tahu. Memang kakeknya selalu bilang jika akan bertarung. “delokinnya yan kak mesiat apang tawang kalah menangne” (lihat nanti kalau kakek lagi bertarung, biar kamu tahu menang dan kalahnya). Memang kalau dulu itu kan biasa mengadakan pertarungan dan siapa yang sakti maka dia yang akan menang dan itu sama halnya dengan bermain Tinju.

Kalau tempat orang mengadu kesaktian jaman dulu itu memang di Kuburan Penarungan ya Pak?
Ya memang di Kuburan Penarungannya.

Seram sekali kuburannya itu ya?
Ya.

Katanya sudah Kristen tapi kok masih dia mengadu leak ya?
Kalau pelajarannya kemana larinya, kan sudah masuk ke raganya.

Meskipun agamanya berlainan kan gitu jadinya?
Ya. Kalau pelajarannya (ilmunya) kan tidak bisa dilepas.

Katanya keponakan Bapak, Made Suarda, kakeknya pernah bilang: “de ba milu pindah agama.” (jangan dah ikut Pindah agama), artinya dia itu pernah mendengar?
Kalau Kakek Loting kan sudah lebih dulu, dia sudah lebih dulu mengambil pekerjaan itu, kalau memang bagus agar bisa semua orang-orang didorong untuk itu. lalu karena tidak cocok, karena sama-sama tidak menemukan apa-apa. Kalau kakeknya memang sudah andal dengan dirinya, dan berani dia ke sana.

Kan tidak masuk akal.................?
Entah apa yang tidak dilihatnya lagi, semua makhluk siluman seperti kambing, anjing besar, monyet ekornya panjang, api sudah dilihatnya.

Kan tidak ada lampu saat itu?
Ya memang tidak ada lampu.

Kan begitu semua orang?
Ya.
Bagaimana itu?
Kalau orang metotoran (memunggal atau menebang), misalnya menebang kelapa, di sana kita terjun, karena tanah garu itu, maka manusiannya bisa jatuh.

Disebarkan dengan air kencing gitu?
Ya, karena air kencing itu kan meranen   (ampuh) juga.


(Akhirnya saya sampai di rumah Ketut Raa dan langsung bercakap-capap dengannya)

Kalau tunggal paibon itu bagaimana artinya?
Kalau itu artinya kita itu satu pura Ibu.

Kalau memanggil Pan Loting dulu dengan sebutan apa?
Kalau saya memanggil beliau itu dengan sebutan pekak (kakek). Kalau maksudnya Bapak menanyakan riwayat kakeknya ini saat meninggalnya.?

Ya..benar...kalau riwayat saat meninggalnya boleh dan kalau yang lengkap juga boleh. Kalau memang hanya tahu sedikit juga bisa? Apa Bapak pernah mendengar, apa yang menyebabkan Pan Loting dulu berganti agama?
Kalau ini saya dari mendengar cerita, kalau dari pengetahuan saya sendiri, dengan analisa saya sendiri karena umur saya masih kecil, kalau jelas ya memang jelas, tapi kalau saya bilang kurang jelas itu kan karena saya tidak pernah memantau dari permulaan.

Kalau dari cerita, bagaimana cerita yang pernah Bapak dengar?
Kalau bagaimana dia pindah agama itu, kalau dari ceritanya kakek, kalau itu secara lisan, dan ini tidak dicatat.  Kakek itu artinya orangnya di Buduk, kalau dia di sana itu termasuk orang yang berpengaruh (ditakuti) dan dia itu juga termasuk orang yang bisa membuat aksara dengan tulisan Bali itu, yang bisa maurip-urip (perhitungan nilai hari) karena memang agama Hindu itu dipelajari.

Nanti dulu, aksara maurip gitu?
Ya, beliau itu kan tahu membikin rerajahan (gambar-gambar mistis), mematikan dan  menghidupkan aksara. Membuat orang sakit beliau itu tahu dan membuat orang sembuh beliau itu juga tahu. Kalau itu beliau itu masih menyelami dalam keadaan agama Hindu saat itu. Jadi kalau orang-orang yang di Buduk itu merasa sangat segan dengan beliau dan kadang-kadang mereka itu juga takut.

Nyeh (takut) kalau ala Balinya ya?
Ya. Jadi karena beliau itu sudah merasa mampu menghidupkan dan mematikan sesuatu, dan merupakan sesuatu hal yang ajaib kan gitu jadinya, beliau itu kan merasa kekurangan, misalnya dari agama itu kita itu tidak bisa melihat wujud Tuhan itu seperti apa. Pokoknya bagaimana bentuknya beliau itu sama sekali tidak tahu, saat dia menjadi agama Hindu, meskipun ilmunya sudah tinggi. Bagaimana pun caranya beliau itu memanggil Tuhan iu sama sekali tidak tampak wujudnya. Lalu karena ada pengaruh dari luar, karena lama kelamaan jaman juga sudah semakin memanas, karena desakan-desakan dan gesekan itu, jadinya kakek ingin merubah agamanya. Darisana beliau itu mungkin bisa melihat Tuhan yang sebenarnya.

Dari pancaindranya kan gitu?
Ya. Dan itu memang keinginannya Kakek Loting itu. Dan setelah dia merubah agamanya, yaitu agama Katolik.

Nah sebentar dulu, kalau ceritanya ini Bapak pernah mendengar langsung dari Kakek Loting atau hanya cerita saja?
Kalau ini saya mendengar cerita dari orangtua saya. Dan saya juga lupa apa pernah kakek itu cerita sama saya, karena saya juga sering bergaul dengan dia waktu kecil itu. beliau itu memang senang dengan anak-anak kecil, kok bisa saya cerita seperti itu.

Itu dah yang dingat-ingat?
Mungkin bisa beliau memberikan petuah yang seperti itu, karena orang lain belum pernah memberikan cerita begitu.

Pernah jadinya mendengar dari beliau tapi sudah lupa kapan diberikan begitu ya?
Mungkin karena begitu, tapi kalau saya analisa mungkin kakek itu berubah agama, dan pernah beliau bercerita dengan kakek yang di Banjar Balangan (ayah dari Nyoman Bukel). “Kak e ento anak bingung, ulihan tusing taen nepukin widhi sekala, cara apa Widhine ento. Makane Kak ento kene nyatua kangin kauh, mekeneh Kak nepukin Widhi sekala, kak tusing nyidang. dadine makeneh kak to ngerubah agama” (kakek itu sedang bingung, karena kakek tidak pernah melihat Tuhan itu secara nyata, seperti apa Tuhan itu. Makanya kakek seperti ini ngomong tidak karuan-karuan, kan berkeinginan biar bisa melihat Tuhan secara nyata, makanya kakek itu mau merubah agama). Begitu dia bilang sama kakek yang di Banjar Balangan.

Biar bisa melihat Tuhan, kan gitu jadinya?
Ya, siapa tahu nanti bisa melihat Tuhan secara nyata. Lalu karena bentuk atau wujud Tuhan tidak bisa dilihat dari agama mana pun juga, akhirnya dia itu kan bingung, lalu dia itu kembali ke Hindu, setengah lagi ke Kristen dan lagi ke Hindu.

Berarti kan mendua dah jadinya?
Ya.

Nah setelah di Kristen itu, dia itu kan mendua jadinya dan dia itu kan masih mengobati jadinya?
Ya.

Pernah dapat berobat ke sana?
Kalau saya saat itu memang sehat walafiat,

Kalau kakak, ibu, atau saudara yang lain apa pernah dia berobat ke sana?
Kalau itu juga tidak.

Pernah menyaksikan beliau itu mengobati orang?
Kalau menyaksikan beliau mengobati orang itu saya pernah.

Bagaimana caranya beliau mengobati?
Caranya beliau mengobati secara langsung itu, kalau saya lihat dengan diberikan dengan mantra.

Padahal dia sudah Kristen ya?
Kalau pada waktu itu belum dia Kristen. Kalau dia itu menyembuhkan orang itu dengan mantra, dan bikin ramuan tapi ramuannya itu sangat rahasia dia pak.

Kan beliau itu masuk Kristen itu kan saat tahun tidak enak atau sekitar tahun 1930?
Kalau dia masuk Kristen, masuknya Kristen ke Bali.

Kan dia paling dulu jadinya?
Bukan begitu, kalau masuknya Kristen ke Bali itu kan sekitar tahun 1930an, tapi bukannya masuk Kristen ke Bali pertamakali itu dia terjerumus itu tidak begitu, dia itu masih dalam keadaan Hindu.  Lalu di Bali katanya ada agama lain...., lalu dia itu kan kena pengaruh, kalau dia itu masuk Kristen kan sekitar tahun 1960-an.


Nyoman Bukel ikut menambahkan: “kalau saya lihat tahun 1963 itu dia masih Hindu, kalau iu mungkin sekitar habis Gestok yaitu tahun 1965-1966 itu. Ya sekitar itu lah, katakanlah 1965. karena di Buduk, pada waktu itu kan dalam keadaan kiris, rakyat tidak bisa membiayai hidupnya, dan dari macam-macam unsur lain yang mendesak itu, mungkin ke sana pengaruhnya, saya kan kurang tahu. karena yang saya tahu kakek itu pindah tanpa sepengetahuan siapapun.

Berarti saat Bapak masih kecil, itu tidak pernah melihat beliau ke gereja kan gitu jadinya?
Kalau ke gereja saya memang tidak pernah melihatnya.

Padahal gereja itu kan dekat di sini?
Ya.

Gereja dimana ini?
Kalau gereja belum ada saat itu.

Belum ada gereja di Buduk?
Belum, yang ada hanya di Tuga saja.

Kapan kalau begitu ada gereja di sini?
Kalau gereja itu di Buduk, kan baru-baru. Kalau gereja yang ini berdirinya sekitar tahun 1970an.

Jadi dulu di sini tidak ada gereja gitu?
Ya.

Jadi beliau itu tetap mengobati gitu?
Ya, karena kakek itu bingung, seperti cerita tadi, sekarang saya lanjutkan ceritanya, karena dari agama itu dia kan sudah masuk agama Kristen, di sana juga tidak pernah melihat wujud Tuhan yang sebenarnya, entah bagaimana perasaan beliau itu, kembali lagi beliau itu ke Hindu tapi ke sana lagi gitu. Karena beliau itu sangat disegani oleh masyarakat yang di sini, pada waktu itu orang membuat sesajen (banten pangrorasan), beliau itu ikut ......, berarti itu kan nyata lagi Hindu dan dimana pun beliau itu tidak mencelakan satu dengan yang lain. Kalau Hindu dengan Kristen itu tidak dicelakan oleh beliau. Karena yang beliau inginkan itu melihat Tuhan dari agama mana saja dan beliau itu memang tidak mau mengadu domba satu dengan yang lainnya. Dia itu hanya berpikir, dari agama mana dia itu bisa melihat Tuhan, hanya itu saja yang menjadi kemauannya beliau itu. karena dari yang ini tidak dan yang itu juga tidak, akhirnya beliau itu kan bingung jadinya.

Kalau orang Kristen, kesini juga mencari beliau kemana?
Kerumahnya. Kalau itu anaknya yang Kristen, bahkan sampai sekarang dia itu tetap Kristen.

Siapa saja nama anaknya?
Kalau anaknya itu kan sudah meninggal saat Gestok. Mungkin juga kakek itu kena pengaruh, karena satu-satunya anaknya (buah hatinya) I Made Bacol ini.

Kalau Luh Loting itu siapa?
Kalau itu anaknya yang perempuan dan dia sudah menikah keluar. Kalau itu masih?
Rasa-rasanya masih itu. itu mungkin karena anak yang paling disayangi ini kena G 30 S
/PKI, itu yang menyebabkan beliau itu bingung, mungkin begitu, karena beliau itu memeluk agama Kristen itu kan habis G 30 S/PKI. Katakanlah aktifnya. Dan itu kakek kan bingung, saya itu kan tidak berani menebak, apa karena batinnya kena musibah, beliau itu ingin melihat bagaimana sebenarnya.
Anaknya kena garis (korban pembantaian) gitu?
Ya.

Kan tokoh PKI berarti?
Kalau dibilang tokoh PKI tidak begitu aktif, mungkin juga ada sentimen pribadi yang dari luar mungkin, sehingga dia itu kena.

Dimana dia dibantai?
Di kuburan sini.

Anak laki-laki satu-satunya?
Ya memang satu-satunya.

Sudah menikah atau belum?
Sudah dan dia itu sudah punya cucu.

Kalau cucunya sekarang ada?
Kalau itu ada. Kalau memang perlu nanti bisa saya hubungi.

Sudah dewasa cucunya?
Sudah semua menikah dan dia itu sudah punya buyut. Kalau cucu-cucunya itu semuanya sudah sukses-sukses.

Kalau saat dia meninggal, kata kakaknya ini. Tanyakan  katanya Bapak itu kan pernah dapat undangan menonton pertarungan Leak di kuburan Penarungannya?
Kalau cerita itu memang banyak yang dipanjang-panjangkan, kalau menonton leak bertarung (adu kesaktian) di Kuburan Penarungan-nya, kalau saya itu tidak melihat kakek ini dan itu, saya sama sekali tidak melihat kaknya itu ini dan itu. Hanya saja ceritanya, kakek saya bilang, ada yang melihatnya di jalan, waktu pagi hari mungkin teman-teman yang dekat dengan dia itu, dia menceritakan itu dan cerita itu disambung-sambung, katanya kalau kakek itu kalah bertarung.

Kalau begitu kan tidak riil itu ya?
Ya, kalau dengan kenyataan, mata kepala saya ini memang saya sama sekali tidak pernah melihat.

Kalau Bapak memang pernah melihat kakek ke Penarungan?
Kalau saya tidak pernah melihat itu.

Kalau yang dapat lihat siapa waktu itu?
Kalau itu saya kurang tahu. Kalau pada waktu itu, saya pernah dengar ada perang tanding leak di Penarungan, kalau kakek  yang di sini itu  (Pan Loting) saya tidak pernah melihat kalau dia itu turut ke sana, saya memang tidak pernah dengar itu, dan saya sangka beliau itu tidak turun (tidak ikut bertarung).

Tapi benar akhirnya kalau dia itu meninggal?
Dia itu bilang, “kakek menang?” “menang musuhnya.” Begitu katanya dia. Lalu dia pulang dan sampai di rumah dia itu bingung, mungkin karena perjanjian dan memang tidak bisa dipungkiri, akhirnya mulai disanalah kakek itu bingung dan akhirnya dia itu meninggal. Kalau saya mengira itu kita bisa lihat dari sekala (nyata)-nya kita itu bisa lihat dia bertarung secara nyata atau bagaimana dia bertarung seperti petinju itu tidak bisa kita lihat seperti itu.

Berarti kan hanya suara (isyu) saja begitu?
Ya hanya katanya saja begitu. tapi kalau saya mengetahui kakek itu memang betul-betul dia itu bisa.... Kalau dia itu mengobati orang sakit bisa dia dan kalau mau kakek itu mebuat orang sakit dia juga bisa.

Apa Bapak pernah mendengar keajaiban-keajaiban yang pernah dilakukan sama kaknya?
Kalau yang saya kagumi, pada waktu dia itu mau mengobati orang, dan yang membuat saya kaget, dia itu banyak punya murid di Bukit Kutuh.

Dimana itu?
Di  daerah naik,  di daerah Bukit (Jimbaran) dah kira-kira itu. Kalau misalnya saat musim, juwet (Syzygium cumini), waluh (labu) dan kedelai itu, maka rumahnya itu penuh dengan itu, dan memang banyak sekali dibawakan itu.

Bagaimana maksudnya membawakan itu?
Kalau itu saya kan kurang tahu dan setelah saya tanya-tanya sama orangtua dan saat itu masih ibunya saya, “anak pekak caine ngelah nyama di Bukit, murid-muridne kak e.” (itu orang kakeknya kamu punya saudara di Bukit, dan itu adalah murid-muridnya). Begitu katanya. Karena saya itu masih kecil, saya kan tidak begitu memperhatikan tapi saya itu kan ingat. Karena lama-lama setelah dewasa, ingin, “kok kakek punya saudara di Bukit, kok punya murid di Badung, kok punya kakeknya murid di sini dan di situ, dari barat sampai timur?” Hampir setiap hari beliau itu didatangi tamu, pada waktu beliau itu senang mengobati orang. Kalau secara nyata, saya tidak pernah melihat beliau itu berubah wujud atau bagaimana.

Tapi kan pernah bertanya, bagaimana dia itu bisa sakti?
Kalau itu rahasianya tidak pernah dibuka.

Artinya Bapak itu pernah bertanya?
Memang saya sering bertanya. “kak dadi kak bisa keto?” (kakek kenapa kakek bisa begitu?) “ah cening enu cenik, sing dadi metakon keto.” (ah anak masih kecil, tidak boleh anak bertanya begitu).

Hanya segitu saja ceritanya?
Ya hanya segitu saja. “nguda sing dadi kak?” (kenapa tidak boleh kak?) “ah yen suba kelih mara dadi.” (ah kalau sudah besar baru boleh.). Kalau saya memang sering kurang ajar dulu sama kakek itu.

Bagaimana biasanya?
Kalau dulu jalan yang diutara ini, kan belum begini bersihnya, lalu dia kan ke sudut, “kak ngalih apa ke bucu kak?” (kakek nyari apa ke sudut?) “kak ngaukin myaman kak e” (kakek memanggil saudaranya kakek).

Apa maksudnya itu?
Kalau itu dah yang tidak saya mengerti, karena saya itu kan tidak mempelajarinya.

Membawa dia kurungan ayam gitu?
Ya, membawa kurungan ayam dan ada coblong (mangkuk kecil yang terbuat dari tanah liat) nya yang berisi api. Lalu itu ditutup dengan kurungan ayam. Lalu dia bersiul dari jauh gitu. Katanya memang saudara-saudaranya yang datang dan dilihat seperti kunang-kunang tapi kalau saya itu sama sekali tidak melihat apa-apa.

Kalau Bapak memang tidak takut dengan dia?
Kalau saya memang tidak merasa takut dengan dia, sama sekali saya tidak merasa takut. Mungkin karena saya bersaudara.

Jadi karena bersaudaranya ya?
Ya.

Kalau yang lain tidak berani dekat dengan dia?
Kalau orang lain, entah bagaimana, saya kurang tahu.  Begitu saya sudah dewasa, beliau itu sudah meninggal, jadinya antara sentuhan batin yang ingin mengerti pengetahuan kakek itu, jadinya kan sudah putus hubungannya.

Nah kalau murid beliau yang di sini siapa?
Kalau yang di sini tidak ada yang masih, kalau yang masih hanya yang diluar saja.

Kalau yang di sini habis?
Kalau yang di sini habis.

Kalau sekarang coba, carikan muridnya saya satu, yang pernah belajar langsung dengan beliau?
Bapa Rengkug. Saya ingat-ingat dulu, kalau kakek itu punya murid banyak sekali, kadang-kadang, kuncinya dia itu, sebagaimana pun akrabnya seseorang kunci (rahasia) nya dia itu sama sekali tidak dibuka, karena kunci itu merupakan jiwanya.


Kalau Gusti Putu Sanur itu siapa?
Kalau itu sudah tidak ada, dia itu rumahnya di selatan dibawah pohon Bengkel-nya.

Kalau kakek pernah mendengar tentang beliau?
Kalau itu saya tidak pernah mendengar. Kalau yang saya tahu hanya kakek Loting ini, karena saya dengan dia masih ada hubungan saudara.

Kalau sanggah (kuil keluarga)-nya Kakek Loting itu dibongkar?
Ini dan pura ibunya, kalau sanggah-nya tidak masih sekarang.

Tidak masih dia punya sanggah?
Tidak.

Dibongkar sanggah-nya?
Ya.

Yang tidak dibongkar paibon-nya gitu?
Ya, ini juga kalau tidak karena saya dan orangtuanya saya kakek di Banjar Balangan, maka pura ibunya ini pasti sudah dibongkar.

Siapa yang membongkar?
Ya Kakek Lonting-nya. Penyengker (tembok) pelinggih (altar pemujaan) atau pura-nya itu sudah mulai dibuka-buka, oleh kakek, karena kakek kan sudah lain agama.

Lalu siapa yang tidak memberikan?
Karena dari luar penyungsung (penjujung) nya itu banyak, lalu kan tidak diberikan jadinya. Akhirnya mungkin orang yang dari luar merasa kesakitan, maka akhirnya ini diperkuat. Saya juga kesakitan, bahkan saya itu hampir mati di sini.

Jadi waktu tahun 1965 ini dibongkar gitu?
Tidak, sebelum tahun 1965. sekitar tahun 1950 keatas itu. saat itu kan pura-nya tidak begitu dirawat, kan hancur jadinya. Kalau seandainya beliau itu kuat kan tidak dikasi membongkar sanggah-nya, karena mungkin beliau itu sudah tidak kuat ...
.
Kan setelah anaknya meninggal berarti ya?
Ya. Pura itu keadaannya terbengkelai, semasih ada anaknya dan anaknya semasih dia itu hidup, dia sudah memeluk agama lain, dan anaknya itu rasanya duluan beragama Kristen.

Berarti kalau yang membongkar sanggah itu anaknya?
Artinya, biar tidak salah paham, beliau itu dengan perjanjian begini, itu hasil rapat Bapaknya saya yang di Banjar Balangan dengan kakeknya dan orangtua-orangtua saya yang patut, “karena pekak sekarang beragama Kristen, ada waris purane merupa tanah karang dengan tanah carik, karange bapa dadi ngenehang, dadine carike lakar serahang ke Paibuan” (karena kakek sekarang sudah beragama Kristen, ada warisan berupa tanah pekarangan rumah dan tanah sawah, sekarang tanah karang perumahannya kakek yang menjaga (memegang) sedangkan ada tanah sawah itu akan kakek serahkan kepada Paibon-nya), begitu bunyi perjanjiannya.

Dimana rapatnya, di Balangan atau di sini?
Nyoman  Bukel menjawab” “Kalau tidak salah rasanya di rumah di Banjar Balangan. Kalau tempatnya saat ini memang belum bisa saya pastikan. Kalau yang ini saya dengar dari ayah saya (namanya I Jerug, keponakan Pan Loting) yang di Balangan.

Jadi yang cerita-cerita itu kakeknya yang di Balangan gitu?
Ya.

Mencerikan kalau beliau itu berdamai dengan Kakek Loting begitu?
Ya. “nah jadi karang bapa ane ngelahang, carik serahang bapa ke Ibu.” (tanah pekarangan rumah saya yang punya, sedangkan sawahnya akan diserahkan ke pura paibon)

Itu kan kata Kakek Loting itu?
Ya. Karena serah terima dan memang sudah sepakat, dan antara yang satu dengan yang lain tidak merasa keberatan, karena Kakek Loting itu merasa karang (tanah pekarangan)-nya sudah merupakan haknya, jadinya pura itu kan sudah tidak dihiraukan lagi jadinya, itulah salahnya. Jadi kalau saya bilang dia itu merusak, kan salah juga saya.

Tidak dihiraukan berarti ya?
Ya tidak dihiraukan dan tidak difungsikan. Jadinya kan begini, karena pemaksan pura itu banyak dari luar, akhirnya pura itu dipugar dan mau diperluas, tidak dikasi.

Oleh siapa, yang mau memperluas?
Oleh pemaksan pura yang dari Banjar Balangan, pokoknya pura itu terbuka hanya untuk orang Balangan saja.

Siapa saja yang memakai paibon di sini?
Orang-orang dari Banjar Gulingan, Balangan, Soko, Antasari, Pedungan, Tanguntiti, Bukit, dan Plaga.

Kalau Carangsari ada?
Ya dari daerah itu dah ke utara ada.

Kalau dari Anggungan, Carangsari?
Ya dari Anggungan ada. Kalau yang dari Seseh juga ada.

Kalau yang dari Tumbak Bayuh ada?
Tidak. Pedungan ada, Pagan ada.

Lalu semuanya ini ikut rapat?
Nyoman Bukel menjawab: “Tidak, yang saya ajak memaksan (orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang diajak bertanggungjawab atas keberadan suatu pura) ini, yang memutuskan cerita ini, yang berfungsi dalam cerita ini, pamannya saya yang di Soko (Mangku Puseh di Soko), dengan ayah saya yang di Balangan.”

Hanya dua saja berarti?
Nyoman Bukel menjawab: “Ya hanya itu yang berfungsi.”

Yang rapat dengan Kak Loting kan gitu jadinya?
Nyoman Bukel menjawab: “Ya.”

Akhirnya beliau itu mengalah jadinya?
Nyoman Bukel menjawab: “Ya karena kesepakatan begitu, kan gitu jadinya, karena merasa karangnya itu hak beliau jadi boleh tidak difungsikan lagi, jadinya kan timbul perdebatan di sana. Masalah antara Kakek Loting dengan ayahnya saya.

Bagaimana isi perdebatannya itu?
Nyoman Bukel menjawab: “Bagaimana ya, kalau ayah saya menantang pernah waktu itu.”

Kesaktian?
Nyoman Bukel menjawab: “Bukan, ayahnya saya kan tahu kalau dirina itu tidak memakai apa-apa (tidak memiliki ilmu kesatian), kalau Kakek Loting  tahu kalau dirinya sakti. “cai nantang ka, awak cai mara ibi, pupuk cekuh tonden empet, kenken keneh caine.” (kamu menantang aku, masih pakai popok, apa keinginan kamu)

Oh kakeknya yang di sini bilang gitu?
Nyoman  Bukel menjawab: “Ya. Kejadian ini pada waktu ada acara di Soko, artinya sampai ada undangan, kan karena sama-sama malu dengan orang yang disekitar (saudara), lalu kan mengadakan pertemuan. ‘nah anak mula panak ngidih penyupatan teken rerama, dija buin ngalih suarga, dija tusing lakar ada buin’ (ya memang anak yang meminta peleburan dosa kepada orangtuanya, di mana lagi mencari sorga, di mana pun tidak akan ada lagi), begitu kata ayah saya.”

Di Soko ya?
Nyoman Bukel menjawab: “Kalau saya kan tinggal di Banjar Balangan dan kejadiannya itu di Soko. “yen suba keto edengina conto teken reramene, yan suba karuan elung, tusing ja lakar tuut, anak ane beneh lakar gae tiange.” (kalau memang seperti yang diberikan contoh oleh orang tua, kalau memang benar-benar patah [menyakitkan], tentu tak perlu diikuti, jalan yang benar yang akan saya lakukan). Begitu kata ayah saya di Balangan, mungkin karena orangtua dan merasa diri salah, bahwa dia itu merasa sudah pintar, bisa menghidupkan dan mematikan orang, dan anaknya yang bisa mengatakan kalau dia itu menunjukkan contoh yang tidak baik, dan itu mungkin sendiri dikoreksi, dan di sana baru lantas Kekek Loting-nya meminta maaf, sama ayah saya yang di Balangan.”

Bagaimana dia minta maaf?
Nyoman Bukel menjawab: “Kalau yang ini cerita ayahnya saya ya.

Ya ceritakan dah sedikit?
Nyoman Bukel menjawab “Ya, nah kadung pelih nyen baan tiang teken panak, lan teken nyaman tian ajak onyangan, da nyen ento lantangange, bapa anak tusing nyen ada keneh kene keto, nah anak suba kadung pejalan bapane pelih, da nyen ane sengkok tuutanga, anak to ulihan bapa bingung, bingungne ulihan bapa tusing nepukin widhi sekala.” ( nah memang sudah terlanjur salah saya dengan anak, dan saudara-saudara semuanya, jangan itu dipanjangkan lagi, kalau saya memang tidak ada keinginan ini dan itu, nah karena memang sudah karena jalannya saya yang salah, jangan yang bengkok itu yang diikuti, itu karena saya itu merasa bingung, bingungnya itu karena saya sama sekali tidak pernah melihat Tuhan secara nyata). Begitu ceritanya, dan saya menceritakannya tidak berarturan. Jadi dia itu merasa dengan dirinya salah.”

Jadi itu karena ditantang itu kan gitu jadinya?
Nyoman Bukel menjawab: Ya. Lantas Kakek Loting  sama sekali lantas tidak berani dengan ayah saya di Balangan. Mungkin karena dia berpikir, “kok berani orang kecil melawan, kan gitu jadinya?” Ya. jadinya dia kan merasa karena dirinya salah, makanya dia dilawan kan gitu jadinya. Kalau dari segi kesaktian, Bapak saya itu memang sama sekali tidak punya kesaktian apa-apa, tapi omongannya memang benar, dan karena dia itu jujur. Kalau memang sudah benar, bagaimanapun pasti akan dilawan, biarpun dia itu orangtua. Sampai lantas kakeknya yang dia gitukan, dan sampai akhirnya dia itu merasa bersalah, lalu dia itu minta maaf kepada anaknya. Setelah itu baru lantas puranya di pugar tapi tidak dikasi keselatan lagi. karena sudah sah artinya karang pura dan karangnya dia diserahkan dan sawah sudah menjadi milik pura ibu (paibon) (bersambung)





No comments:

Post a Comment